Mendengar penuturan Papi Viola, kontan membuat semua orang terperangah. Bahkan aku merasa jantungku nyaris copot.Kenapa Mas Randi sampai berbuat begitu? Apa salah Mas Reno?"Randi!" Kini Papi yang suaranya memenuhi ruangan. "Apa maksud Pak Sanjaya? Jelaskan sama Papi!""Pi, ini ... ini ... ini enggak se-seperti yang Papi pikir," jelas Mas Randi."Jelaskan!" seru Papi."Hah! Memang pengecut kamu, Ran!" ejek Papi Viola. "Pak Fabian, asal kamu tahu, anak sulungmu itu memintaku mendanainya, untuk menyingkirkan anak bungsumu," jelas Papi Viola sembari menyeringai.Wajah Papi merah padam. Menatap nyalang pada Mas Randi. "Randi!""Iya, Pi. Benar! Aku memang mau menyingkirkan anak kesayangan Papi itu," aku Mas Randi."Randi!" seru Papi."Kenapa, Pi? Papi harus tahu, di antara semua anak Papi, aku paling berhak menggantikan Papi. Aku, Pi!" seru Mas Randi. Lelaki itu bahkan seperti sudah tidak peduli apa-apa.Aku lihat, Mas Reno sangat marah. Napasnya memburu dengan tangan mengepal erat. Aku b
"Mama!" seru kedua anak Bulan bersamaan. Kemudian ibu dan anak tersebut saling menyambut dan berpelukan."Mama kenapa enggak pulang-pulang?" tanya anak yang lebih besar. "Naila kangen, Ma!""Iya, Sayang. Maafin Mama, Mama juga kangen banget sama kalian," ucap Bulan sambil terisak."Mama janan pelgi lagi!" pinta Najwa dengan logat cadel dan suara cempreng.Bulan mengangguk sambil menciumi rambut kedua anaknya. Terlihat wanita itu sangat merindukan anak-anaknya.Aku juga tak habis pikir, bagaimana bisa seorang ibu pergi meninggalkan anak-anaknya demi harta ataupun pria idaman lain? Tidakkah ia memikirkan nasib dan perasaan anak-anaknya? Bukankah banyak sekali wanita yang bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia demi anak? Namun, kenapa Bulan bisa seperti itu?Masih sambil memeluk kedua buah hatinya, Bulan menatap Mas Miko. Air matanya semakin deras mengalir saat menatap lelaki berpembawaan tenang tersebut."Pa, Mama minta maaf," ucapnya. "Mama menyesal, Pa! Maafin Mama!"Pak Miko ta
Di televisi terlihat dengan jelas wajah Viola. Ia mengenakan pakaian orange khas seorang pesakitan. Ia berjalan dikawal polisi dan didampingi orang tuanya serta Pak Ridwan, pengacara keluarganya. Tertera dengan jelas di berita itu kasus yang menjerat Viola. Yaitu penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Aku benar-benar tak menyangka, Viola mengkonsumsi obat-obatan tersebut. "Sejak kapan dia begitu, ya, Mas?" tanyaku pada Mas Reno tanpa mengalihkan pandangan dari televisi."Entah, Dek. Setahuku selama ini kehidupannya baik-baik aja. Mungkin dia salah pergaulan."Aku pun segera menelepon Dewita. Mencari tahu kebenarannya."Sil, kamu udah lihat Viola?" tanya Dewita langsung pada intinya."Ini, aku baru lihat beritanya. Kamu tahu sejak kapan?" tanyaku."Udah lumayan lama, Sil. Tapi aku enggak berani ngomong siapa-siapa," jawab Dewita di seberang sana."Kenapa dia sampai pakai gituan sih?" tanyaku lagi "Dia stress katanya, Sil.""Stress kenapa?""Hubungannya sama Mas Randi, kan, dingin. Me
Mami menatapku yang kini hanya bisa mematung. Masalah ini bahkan tak kalah mengerikan dari suami menikah lagi. Ini bahkan tentang hidup dan mati. Tak lepas juga reputasi kami.Bagaimana jika berita ini menyebar keluar? Tentu kami akan dikucilkan oleh kerabat dan kolega. Bagaimana kami harus menghadapinya?"Sil!" Mami memegang bahuku. "Berdoalah! Karena hanya doa yang bisa mengubah takdir."Buliran bening akhirnya lolos membasahi pipi. Dadaku rasanya sesak sekali. Masalah kemarin saja belum tuntas, sudah datang masalah lagi. Bahkan semengerikan ini.Aku menatap Mas Reno yang tak kalah terkejut. Mata lelaki itu juga tampak berkaca-kaca. Kemudian balas menatapku sembari menampakan senyum yang dipaksa."Semua pasti baik-baik aja," ucapnya sembari meraih jemariku."Benar. Semua pasti baik-baik saja," timpal Mami sembari menggenggam jemariku dan Mas Reno yang bertaut.Ya, semua pasti baik-baik saja. Kubesarkan hatiku sendiri. Aku tak boleh kalah oleh ujian yang sedang menempa kami. Bukankah
Mami menatap Mas Randi tak percaya. Wanita bertunik macan itu sampai memegangi dadanya. Sementara Mas Randi terlihat sangat pasrah."Bagaimana bisa kamu begitu, Ran?" hardik Mami. "Gimana bisa?" bentaknya.Mami berjalan mendekati anak sulungnya tersebut."Apa kamu enggak mikir? Itu usaha Papi kamu! Papi kamu, Ran! Gimana bisa kamu sampai berniat menghancurkannya?" geram Mami."Maafin aku, Mi," lirih Mas Randi."Gimana perasaan Papi kalau tahu soal ini, Ran? Apa yang kamu lakukan kemarin aja sudah fatal! Gimana perasaan Papi kali ini?" Mami meraung-raung. Wanita itu pasti tak menyangka, darah dagingnya bisa sejahat ini. Bahkan sampai berniat menghancurkan usaha orang tuanya sendiri."Maaf, Mi," lirih Mas Randi lagi."Tapi kenapa, Ran? Kenapa?" ratap Mami. "Kenapa kamu sampai melakukan hal ini?""Aku ... aku minta maaf, Mi," ulangnya lagi."Iya, tapi kenapa?" tanya Mami lagi sambil berderai air mata."Aku ... aku ... ingin menguasai perusahaan seorang diri, Mi," aku Mas Randi. "Dengan d
Mendengar ajakan Fani, tanganku seketika mengeluarkan keringat dingin. Dadaku berdebar-debar."Ayo!" ajaknya lagi."Kamu serius?" tanyaku."Iya, lah. Ayo!" ajak Fani lagi."Tapi, Fan, aku takut. Kalau dugaan kita salah, aku bakal kecewa lagi."Memang tak sekali dua kali aku kecewa menanti garis dua. Saat aku telat datang bulan sampai satu minggu lebih, sudah sangat berharap kalau itu pertanda hamil. Namun ternyata, hanya karena siklus datang bulanku yang tak teratur."Enggak, Sil. Kamu harus pastikan. Jangan sampai gara-gara kamu enggak tahu, kehamilanmu nanti kenapa-kenapa!""Tapi, Fan?""Tanggal berapa kamu terakhir datang bulan?" tanya Fani."Ehm, kapan, ya? Aku enggak ingat. Siklusku enggak teratur.""Udah, bismillah, ayo!" ajak wanita berdaster batik itu.Aku menghela napas panjang, akhirnya menurut. "Ya, udah." Fani berganti baju terlebih dahulu. Tak berselang lama, wanita itu keliar dari kamarnya dan kami menuju apotek terdekat."Yakin, kamu, Fan?" tanyaku pada Fani yang sedan
Mas Reno mengurai pelukannya. Dengan mata merah dan basah, lelaki itu menatapku sembari tersenyum. Senyum di dalam tangis. Namun, kali ini tangis bahagia.Berkali-kali lelaki itu mengecup keningku. Sampai akhirnya bibir kami tak berjarak lagi. Saling bertaut, meluapkan rasa cinta dan bahagia. Lembut, tak saling menuntut. Cukup lama. Sampai aku kehabisan udara. Perlahan Mas Reno memundurkan kepalanya, kemudian kembali mengecup keningku."Sayang, i love you, so much!" ucap Mas Reno sembari menatapku dalam."I too."Kamar mandi ini menjadi saksi kebahagiaan kami yang tak terkira. Kehidupan baru segera akan kami mulai.Mas Reno menggendongku ke kamar, kemudian membaringkanku dengan hati-hati di ranjang. Senyum tak lepas sedetik pun dari bibirnya."Kamu tunggu di sini aja, ya! Mas ambil sarapan. Kita sarapan di kamar aja. Jangan gerak, jangan kemana-mana!" pesan Mas Reno."Ih, lebay, deh!" protesku sembari mencebikkan bibir."Tuh, kan!" sungutnya. Mas Reno kemudian mengelus dan mencium pe
Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar berita yang Mami sampaikan. Lututku pun begitu lemas. Keringat dingin seketika membasahi kening.Lalu bagaimana dengan Mas Reno dan aku? Mungkinkah Mas Reno .... Ah, aku tak sanggup membayangkannya.Tuhan, tolong, jauhkan virus mengerikan itu dari kami! Aku tak sanggup. Aku takut. Apalagi ada janin di rahimku. Tolong, Tuhan! Tolong kami kali ini!"Kalian ... sebaiknya langsung periksa saja!" perintah Mami.Seketika tubuhku ambruk. Tenagaku seperti lenyap seketika. Sampai lututku tak mampu menopang lagi."Dek!" seru Mas Reno.Digendongnya segera tubuhku untuk didudukkan di sofa kamar rawat inap Mas Randi."Minum dulu, Sil!" Mami memberikan sebotol minuman yang masih utuh, Mas Reno menerimanya kemudian membuka tutupnya. Mami memasukkan sedotan ke dalamnya "Minum dulu, Sayang!" pinta Mas Reno.Aku hanya meneguk dua tegukan. Tenggorokanku seperti tercekat sehingga susah sekali untuk menelan."Semua pasti baik-baik saja! Kamu harus tenang, Dek!
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K