"Aduh, Ren! Mami pusing. Kenapa segampang itu kamu memutuskan?" sesal Mami."Saat itu Reno sudah benar-benar terpojok, Mi. Reno bingung kalau warga nekat melakukan sesuatu yang buruk pada Reno atau Bulan."Heh, Bulan terus yang dipikirkan! Apa saat itu dia tidak ingat kalau sudah punya istri?Aku membuang muka, enggan melihat Mas Reno lagi. Hatiku sakit, perih, mendengar Mas Reno sepeduli itu pada Bulan.Mami menghela napas panjang. "Harusnya, kan, kamu bisa telpon Papi, telpon polisi, atau siapapun yang bisa bantuin kamu.""Reno panik, Mi.""Haduuh, gini amat kamu, sih, Ren!" sesal Mami. "Mami sama Papi ini sudah tua, Ren. Pinginnya lihat anak-anak hidup bahagia, bisa dengan baik meneruskan usaha. Kalau sudah gini, terus kamu mau ngapain?""Reno tetap mau pertahanin pernikahan Reno, lah, Mi!""Dengan?""Ya Sisil, lah, Mi. Siapa lagi?" protes Mas Reno tampak sekali lelaki ini tersinggung dengan pertanyaan Mami."Loh, kan, sekarang istri kamu dua!" ucap Mami tidak suka, kemudian memija
Aku terpaku menatap wajah Bulan. Wajah yang dulu sewaktu kuliah khas dengan pipi cubynya, kini tampak begitu tirus. Dagunya menjadi lebih lancip dari sebelumnya. Bibirnya kini terlihat lebih tebal, mungkin itu yang disebut bibir sensual. Badannya juga padat berisi. Seksi dan menggoda iman lelaki. Balutan dress ketat berwarna lemon, benar-benar mampu memperlihatkan lekukan tubuhnya yang menggoda.Pantas saja akhirnya Mas Reno jatuh dalam pelukannya. Mana ada kucing yang menolak ketika ditawari ikan yang lezat?Kulirik lelaki yang berdiri di sampingku ini tampak terkejut. Mas Reno pasti tak menyangka, Bulan datang ke rumah ini."Ngapain kamu ke sini?" tanya Mas Reno."Ngapain?" tanya Bulan terlihat murka oleh pertanyaan Mas Reno. "Kemana aja kamu?"Mas Reno melangkah mendekati Bulan. Dicekalnya lengan wanita itu. "Pergi!" geramnya."Lepas, Ren!" bentak Bulan tampak sangat tak suka dengan yang Mas Reno lakukan. "Aku sudah bilang, kan? Kalau sampai kamu berani menghindar, aku akan ke sin
Detak jam di dinding seolah mengolok hatiku yang gelisah. Sudah hampir tengah malam, tetapi Mas Reno belum juga pulang. Mungkinkah ia akan menginap di tempat Bulan?Berkali-kali kulihat layar ponsel, tetapi tak satu pun pesan masuk dari Mas Reno, apalagi meleponku. Saking asyiknya bersama Bulan, kah? Sampai tidak teringat padaku.Meskipun selama beberapa ini aku bersikap begitu dingin padanya, bahkan aku sampai berpikir telah mati rasa, tetapi nyatanya aku masih merasakan sakit juga memikirkan Mas Reno bersama Bulan. Apakah Bulan lebih istimewa dalam urusan ranjang? Memikirkan itu benar-benar membuat jantungku seperti terbakar.Heh, kenapa aku meminta Mas Reno menunda menceraikan Bulan? Kalau akhirnya hal itu menjadi boomerang untukku sendiri. Seandainya mereka sudah bercerai, tak perlu aku merasakan kesakitan ini?Namun, kalau Mas Reno kuminta menceraikan Bulan saat ini juga, bisa jadi setelahnya mereka tetap mencari celah untuk tetap bersama. Aku tahu, karakter Bulan tidak akan cepa
"Mami bertanya sama beberapa orang di sana," ucap Mami."Terus?" tanyaku penasaran."Sekitar dua minggu sebelum peristiwa itu ada yang lapor ke RW dan RT sana.""Lapor gimana, Mi?" Aku rasanya tak sabar ingin mendengar semua informasi yang Mami bawa. "Katanya rumah yang di kontrak Bulan sering sekali dikunjungi laki-laki saat malam.""Hanya karena itu?" kejarku. Tak percaya rasanya kalau hanya karena hal itu, warga sampai menggerebak seperti itu. Bahkan menuduh Mas Reno dan Bulan melakukan hal yang tidak-tidak, sampai memaksa mereka untuk menikah. Alasan yang terlalu dibuat-buat.Mami menggeleng. "Orang itu menunjukkan beberapa foto tak senonoh, latar belakangnya ada di dalam rumah itu.""Foto?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Foto siapa dengan siapa? Mungkinkah Bulan dengan Mas Reno? Aku menoleh pada lelaki di sampingku yang sejak tadi hanya menyimak. Wajah Mas Reno terlihat serius mendengarkan pembicaraan kami."Mami melihatnya?" tanyaku."Enggak, Sil. Mereka hanya dikasih lihat
Menjijikan! Maksud mereka apa? Pakaian dalam Bulan bahkan dibiarkan tercecer di ruang tamu seperti ini! Bantal-bantal sofa berserakan di lantai. Seolah telah terjadi gempa yang begitu dahsyat.Sengajakah mereka? Sekadar membereskan rumah yang baru ia tempati pun enggan. Atau jangan-jangan wanita tak tahu malu itu masih di rumah ini? Mungkinkah saat ini Mas Reno juga ada di sini? Dimana mereka bersembunyi?"Mas Reno! Bulan! Keluar kalian!" teriakku seperti orang kesetanan. Kalau sampai kutemukan dua manusia biad*b itu di sini, aku pastikan mereka tidak akan bisa bernafas lagi."Mas Reno! Bulan!" Kucari mereka di setiap sudut. Tampak baju yang Bulan kenakan kemarin teronggok di lantai dapur. Benar-benar menjijikan!"Bangs*t! Keluar kalian!" teriakku menggema di seluruh ruangan. "Lakn*t, kalian!" umpatku. "Keluar, pengecut!"Berbagai umpatan tak layak dengar keluar dari bibirku. Seumur hidup rasanya tak pernah aku memaki sekasar ini. Semarah-marahnya, biasanya aku masih bisa menyaring ka
"Pesan dari siapa?" tanya Mas Reno.Aku menatapnya beberapa saat, kemudian tersenyum sinis. "Bukan siapa-siapa."Raut wajah Mas Reno tampak tak suka. Selama ini, di antara kami memang tak pernah ada rahasia. Terkecuali, pengkhianatan Mas Reno tentunya. Meski akhirnya, lelaki itu menceritakannya juga."Oh, gitu, ya?" sahutnya."Ngapain mengalihkan pembicaraan?" ketusku."Ya, udah. Kamu maunya gimana? Aku nurut aja," ucap Mas Reno pasrah."Kamu berani ketemu petugas CCTV?" tantangku."Of course!" Mas Reno berdiri dengan semangat. "Ayo, kita samperin siapa yang ngomong seenaknya begitu!" ucapnya berapi-api.Aku mengedikkan bahu, kemudian mengikuti gerakannya. Kami berjalan menuju ruang monitor CCTV dengan mantap. Kita lihat siapa yang berbohong.Tiba di ruang monitor, kedua petugas yang sedang duduk di meja kerjanya tampak berbeda dengan yang kutemui tadi. Mungkin mereka sudah ganti shift. Namun, tak ada salahnya bertanya pada mereka juga. Siapa tahu mereka juga mengetahuinya."Malam, Pa
Aku berjalan gontai melewati lobi menuju ruang kerja. Nomor Tomi yang masih belum bisa dihubungi membuatku khawatir. Mau tak mau berbagai pikiran buruk berseliweran di kepala.Huft! Apa yang sebenarnya terjadi pada Tomi? Tak biasanya dia menghilang seperti ini.Kulihat Mas Reno berdiri menatap keluar melalui kaca lebar di depannya. Tangan kirinya menempelkan ponsel di telinga. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana.Dia tampak serius bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Sampai tak menyadari aku sudah berdiri di sebelahnya."Iya, bagus," ucapnya. Entah siapa yang sedang diteleponnya. Aku masih diam menunggunya selesai menelepon."Okey, pastikan semua aman!" lanjutnya. Kemudian terdiam, tampak sedang mendengarkan lawan bicaranya. "Bagus," ucapnya lagi. "Tunggu perintahku selanjutnya!" perintahnya. "Okey, kirim nomor rekeningnya! Habis ini aku transfer!"Ponsel diturunkan dari telinganya. Dipandanginya layar yang masih menyala terlihat foto pernikahan kami di sana. Bibir tipi
Kuremas kuat-kuat kertas berisi tulisan tangan Mas Reno. Rasa panas menjalar dari dadaku sampai kepala. Wajahku pun pasti sudah merah padam menahan amarah.Baru saja tadi Mas Reno bilang tidak akan pergi. Baru saja tadi dia bilang akan tetap bersamaku di sini. Namun, sekarang? Dasar lelaki!Kuputuskan untuk menghubungi Mas Reno. "Iya, Sayang," sapanya lembut."Pulang!" tegasku."T-t-tapi, Dek, ....""Pulang!" ulangku dengan mengeja tiap suku kata. Kali ini aku tak mau dibantah."Oke, oke, sebentar lagi Mas pu ....""Sekarang!" titahku."Oke, Mas pulang sekarang."Kuputus sambungan telepon. Aku benar-benar tak mau peduli dengan apapun yang terjadi pada Bulan. Siapa suruh dia hamil dengan laki-laki beristri? Dia pikir aku akan berbaik hati membagi suami?Kalau pun aku meminta Mas Reno menunda menceraikan Bulan, bukan berarti aku akan suka rela membiarkan Mas Reno menjalankan peran sebagai suaminya. Aku hanya ingin memberi dia pelajaran. Bahwa menikahi lelaki beristri, tanpa izin istri
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K