Mataku menatap Cilla yang tertidur pulas, tetapi pikiranku terus memikirkan kata-kata Mas Reno tadi."Tolong hormati keputusanku, Sil!""Tapi Mas, kondisi kamu bisa drop lagi kalau enggak minum ARV."Mas Reno tidak merespon."Mas ....""Aku ... enggak sanggup, Sil, kalau sampai suatu saat nanti ... harus liat kamu atau Cilla ... dalam kondisi seperti aku sekarang ini.""Maksud kamu?" Dadaku berdegup kencang menebak jalan pikiran Mas Reno."Mas, kamu enggak berpikir untuk ...."Mas Reno mengangguk. "Tolong, hargai keputusanku."Aku hanya bisa menatap Mas Reno tidak percaya. Sungguh, aku tidak pernah menyangka kalau Mas Reno akan mengambil jalan seperti itu. Namun, meski tidak rela, aku tidak bisa memaksanya. Aku paham seperti apa perasaan Mas Reno saat ini. Terlebih jika suatu saat, kondisiku atau Cilla akhirnya drop seperti Mas Reno sekarang ini."Sil, aku bicara seperti ini, aku enggak bermaksud mentalakmu."Kedua bola mataku langsung melebar mendengar perkataan Mas Reno."Mas!""Den
Sudah tiga hari Cilla berada di ruang PICU, tetapi belum ada tanda-tanda kondisinya membaik. Saat ini bahkan putri yang delapan tahun pernikahan aku nantikan kehadirannya, sedang dalam keadaan koma. Bayi berusia empat bulan itu tertidur tanpa bisa aku bangunkan. Dan saat ini aku hanya bisa duduk di samping tempat tidurnya sembari menatap monitor yang menunjukkan kondisi organ vitalnya."Sil!"Aku menoleh saat tiba-tiba terdengar suara yang sudah sangat aku hafal memanggilku bersamaan dengan sentuhan lembut di bahuku."Iya, Dok?" Aku menyahut tanpa semangat. Karena inginku hanya satu, Cilla bisa kembali pulang dengan kondisi baik-baik saja.Dokter Rahardian tersenyum hangat. "Kamu belum makan siang, kan?"Aku menoleh ke arah bayi malangku kemudian menggeleng. "Aku enggak lapar," ucapku lemah."Kamu pikir, kalau kamu enggak makan, Cilla akan langsung sembuh?"Selalu kalimat itu yang jadi andalan dokter dengan kesabaran setebal buku-buku yang ada di rak ruangannya. Dan apapun alasan yang
"Kenapa jadi badmood gitu?" tanya Dokter Rahardian sembari menatapku. Mungkin dia sekarang sedang berpikir kalau ada sesuatu antara diriku dan Bulan. Karena beberapa menit yang lalu aku terlihat begitu bersemangat.Aku menggeleng. Buku menu yang tadi begitu semangat aku buka pun kini tertutup di depanku. Bahkan aku mendorongnya ke arah Dokter Rahardian.Dokter Rahardian menoleh sekilas ke arah kasir rumah makan itu. Mungkin dia sedang melihat Bulan di sana. Kemudian dia kembali menatapku, lembut dan hangat. Seolah-olah ingin mengatakan, "Tenang saja, ada aku di sini."Ditatap seperti itu, justru aku ingin menangis. Bertemu kembali dengan Bulan seperti membuka luka lama. Luka yang mati-matian aku balut meski masih terus berdarah-darah. Luka yang aku tidak pernah tahu kapan sembuhnya."Hei, are you okay?" Mendengar pertanyaan itu membuat pertahananku jebol. Buliran bening satu per satu terjatuh dari pelupuk mata tanpa bisa aku cegah lagi. Aku tersedu-sedu. Sakitnya dikhianati, penyesal
Di bawah gumpalan awan yang menggelayut di langit, aku Sisilia, seseorang yang mungkin diciptakan Tuhan dengan punggung yang kuat, harus menyaksikan pemakaman untuk kedua kalinya. Yang pertama pemakaman laki-laki yang menjadi cinta pertamaku, Ayah. Dan sekarang bayi mungil yang menjadi buah hati dan belahan jiwaku, Cilla.Jika ada yang ingin melihat kehancuran yang sehancur-hancurnya, di sini tempatnya. Akulah kehancuran itu. Jika kehancuranku bisa dilihat dengan mata, mungkin sekarang diriku berupa serpihan-serpihan tubuh yang meledak oleh bom berkekuatan dahsyat.Lihat saja, aku harus kehilangan cinta pertama saat usiaku masih belia. Lalu ibuku memilih pria baru, pria yang hampir saja menjamahku. Dan lucunya ibu lebih memilih meninggalkanku tanpa siapapun di sisi. Lalu, di saat aku berpikir akhirnya bertemu sosok yang bisa melindungi dan menyuguhkan secangkir kebahagiaan, yang kudapat justru pengkhianatan dan kehancuran yang sehancur-hancurnya.Tuhan, kehidupan seperti apa yang tela
Kuurai pelukan Fani. Lalu menatapnya dengan serius. "Fan, tolong jujur sama aku."Mata Fani langsung berkaca-kaca."Sejak kita ketemu lagi, kenapa kamu selalu minta maaf sama aku? Selalu. Enggak sehari pun kamu melewatkan itu. Tolong jelasin, Fan!" Kupegang kedua lengan Fani agar dia yakin memberitahu semuanya kepadaku.Fani menatapku ragu-ragu. "Jangan sekarang, Sil.""Kenapa?" Aku menatapnya dengan kecewa."Kamu masih berduka. Aku enggak mau nambah beban pikiran kamu." Fani menunduk."Fan, lihat aku! Aku baik-baik aja, Fan. Aku udah melewati fase tersakit dalam hidupku. Sekarang, apapun masalahnya, enggak ada apa-apanya buatku." Aku terus meyakinkan Fani agar mau bicara denganku."Tapi, Sil ...." Fani menatapku dengan iba. Ia mungkin takut melukaiku."Please, Fan. Aku enggak mau sampai enggak bisa tidur gara-gara kamu bikin aku penasaran. Aku yakin ini bukan hal sepele sampai kamu setiap hari minta maaf sama aku." Aku menatap Fani penuh keyakinan. Aku sampai menggerak-gerakkan lenga
"Tahu dari Bulan?" Aku tidak mengerti maksud Fani.Fani mengangguk. "Waktu itu kami ketemu di rumah sakit.""Terus?" Aku semakin penasaran sampai sedikit mencondongkan tubuhku ke depan."Awalnya aku cuma tanya kabar aja karena kami ketemu di rumah sakit. Takutnya ada keluarganya yang sakit, kan? Terus dia cerita kalau sekarang dia harus rutin berobat, tiap bulan katanya. Dan bilang kalau dia positif HIV," jelas Fani panjang lebar."Jadi kamu langsung nebak kalau Mas Reno juga positif?" "Awalnya gitu, tapi aku enggak sampai hati buat tanya itu sama dia. Tapi, di luar dugaan, Bulan malah yang cerita kalau Reno positif juga."Aku mengernyit. "Dari mana Bulan tahu kalau Mas Reno positif? Dulu kamu pernah cek, loh. Dan hasilnya negatif."Fani tampak ragu-ragu. "Ehm, Bulan bilang, Reno sendiri yang cerita ke dia."Aku masih tidak mengerti. "Mas Reno? Cerita sama Bulan? Kapan?" Sementara Mas Reno sekian lama koma di rumah sakit. Menjalani perawatan dan pemulihan juga di rumah sakit tanpa m
Amarahku serasa mendidih sampai ubun-ubun saat kubaca percakapan mereka. Memang tidak ada ungkapan cinta atau kalimat mesra, tetapi komunikasi mereka ternyata seintens itu tanpa aku ketahui.Selama ini aku pontang-panting mengurus Mas Reno dan Cilla dalam kondisi tubuh yang sebenarnya tidak baik-baik saja, tetapi yang Mas Reno lakukan di belakangku sungguh tidak berperasaan. Dia tahu aku tidak suka dengan Bulan, dia tahu aku selalu cemburu dengan Bulan, tetapi dia masih saja berkomunikasi dengan perempuan jahanam itu."Waow." Rasa-rasanya aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya kata waow yang terus menerus keluar dari bibirku. Dan aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Mas Reno. Ataukah sebenarnya dia ingin berpisah denganku, itu sebabnya dia pernah bilang kalau tak ingin menahanku jika aku ingin meninggalkannya?Tuhan, hidupku bahkan sudah secarut-marut ini, tetapi Mas Reno masih menambah dengan kisah roman picisannya yang ternyata belum berakhir. Inikah yang disebut sekali s
"Ren, sudah, sudah!" lerai Mami. "Kalian ini masih dalam suasana berduka. Jangan bertengkar seperti ini! Kasian Cilla. Dia butuh kiriman doa dari kalian, bukan pertengkaran seperti ini!""Tapi apa mereka pantas berpelukan seperti itu, Mi? Di rumah ini! Di depan Mami sama Papi!" Mas Reno tidak mau kalah."Kamu yang sudah keterlaluan, Ren. Kamu!" tunjuk Mami pada putranya sendiri. "Mi," protes Mas Reno tanpa berani meninggikan suaranya pada Mami."Mata kamu sudah benar-benar buta, Ren. Berbulan-bulan Sisil pontang-panting ngurusin kamu yang koma, ngurusin Mami yang struk, juga Cilla tanpa bantuan kamu sama sekali. Kondisinya juga enggak sehat, Ren. Sisil juga sakit. Kamu pikir siapa yang udah bikin Sisil sakit? Kamu enggak nyadar? Tapi yang kamu lakukan, Ren?" Mami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mami benar-benar kecewa sama kamu.""Tapi, Mi ....""Sudah! Mami enggak mau berdebat. Blokir nomor Bulan sekarang!" titah Mami dengan tegas.Mas Reno menatap Mami seolah-olah ingin protes. Na
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K