Amarahku serasa mendidih sampai ubun-ubun saat kubaca percakapan mereka. Memang tidak ada ungkapan cinta atau kalimat mesra, tetapi komunikasi mereka ternyata seintens itu tanpa aku ketahui.Selama ini aku pontang-panting mengurus Mas Reno dan Cilla dalam kondisi tubuh yang sebenarnya tidak baik-baik saja, tetapi yang Mas Reno lakukan di belakangku sungguh tidak berperasaan. Dia tahu aku tidak suka dengan Bulan, dia tahu aku selalu cemburu dengan Bulan, tetapi dia masih saja berkomunikasi dengan perempuan jahanam itu."Waow." Rasa-rasanya aku sampai tidak bisa berkata-kata. Hanya kata waow yang terus menerus keluar dari bibirku. Dan aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Mas Reno. Ataukah sebenarnya dia ingin berpisah denganku, itu sebabnya dia pernah bilang kalau tak ingin menahanku jika aku ingin meninggalkannya?Tuhan, hidupku bahkan sudah secarut-marut ini, tetapi Mas Reno masih menambah dengan kisah roman picisannya yang ternyata belum berakhir. Inikah yang disebut sekali s
"Ren, sudah, sudah!" lerai Mami. "Kalian ini masih dalam suasana berduka. Jangan bertengkar seperti ini! Kasian Cilla. Dia butuh kiriman doa dari kalian, bukan pertengkaran seperti ini!""Tapi apa mereka pantas berpelukan seperti itu, Mi? Di rumah ini! Di depan Mami sama Papi!" Mas Reno tidak mau kalah."Kamu yang sudah keterlaluan, Ren. Kamu!" tunjuk Mami pada putranya sendiri. "Mi," protes Mas Reno tanpa berani meninggikan suaranya pada Mami."Mata kamu sudah benar-benar buta, Ren. Berbulan-bulan Sisil pontang-panting ngurusin kamu yang koma, ngurusin Mami yang struk, juga Cilla tanpa bantuan kamu sama sekali. Kondisinya juga enggak sehat, Ren. Sisil juga sakit. Kamu pikir siapa yang udah bikin Sisil sakit? Kamu enggak nyadar? Tapi yang kamu lakukan, Ren?" Mami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mami benar-benar kecewa sama kamu.""Tapi, Mi ....""Sudah! Mami enggak mau berdebat. Blokir nomor Bulan sekarang!" titah Mami dengan tegas.Mas Reno menatap Mami seolah-olah ingin protes. Na
Beberapa hari setelah peristiwa itu, aku terus memikirkan bagaimana pernikahanku dan Mas Reno selanjutnya. Mami berkali-kali berusaha menenangkanku dengan mengatakan kalau nomor Bulan sudah diblokir oleh Mas Reno. Meski hubunganku dengan Mas Reno belum membaik.Aku masih enggan untuk bertemu Mas Reno, dan Mas Reno juga tidak pernah berusaha menemuiku. Apalagi meminta maaf. Laki-laki itu masih asyik mengurung diri di kamar. Dan entah mengapa aku terus berpikir kalau dia masih menghubungi Bulan."Mau kemana, Sil?" tanya Mami saat memasuki kamarku dan aku sedang bermake up di depan cermin."Sisil mau keluar sebentar, Mi," jawabku. Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya kalau ingin menemui Bulan. Itu sebabnya aku sedikit bermake-up agar wanita yang telah menghancurkan hidupku itu tidak merasa menang melihat hidupku benar-benar hancur lebur."Oh." Mami mendekatiku dan tersenyum menatap pantulan wajahku di cermin. Mungkin Mami suka aku berhias diri seperti ini. Wajahku tampak sedikit se
Aku menatap Bulan yang terlihat percaya diri. Ia duduk di depanku dengan menyilangkan kaki dan dagu terangkat. Ia tampak acuh tak acuh, seolah-olah siap sekali untuk bertemu denganku."Ada apa?" tanya Bulan dengan nada tak bersahabat bahkan sebelum aku bersuara. "Mau nyuruh aku buat berhenti berhubungan dengan Reno?"Aku tersenyum sinis. Sengaja tak menyahutnya agar dia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan."Sekarang kamu tau, kan? Siapa sebenarnya yang Reno inginkan?" ucapnya dengan nada meremehkan. "Dia enggak akan bisa lepas dari aku. Ya, aku. Hanya aku satu-satunya yang bisa bikin dia nyaman. Bukan kamu!"Aku masih tidak merespon sama sekali. Sengaja aku memasang wajah tanpa reaksi. Biar dia puas menyampaikan apapun yang dimau.Bulan menatapku dengan wajah angkuh. "Jadi lebih baik kamu mundur! Seandainya kamu mau mundur dari dulu, mungkin kamu enggak akan ikut terkena HIV terkutuk ini." Dia tersenyum merendahkan. "Sayangnya, dari dulu kamu enggak tahu diri!""Kamu benar," sahut
Air mataku kembali berderai begitu melihat wajah itu. Dadaku kembali sebak dan aku kembali menangis tergugu. Saat ini hanya dia tempatku berkeluh-kesah atas segala ujian yang sedang menimpaku. Karena aku nyaris tidak punya teman yang benar-benar hanya temanku. Selama ini teman-temanku adalah teman-teman dari Mas Reno. Bisa dibilang aku memang menumpang hidup dan segalanya pada Mas Reno. Jadi, mereka bukanlah temanku, tetapi teman Mas Reno. Fani misalnya."Hei, buka!" Aku bisa tahu yang dikatakan Dokter Rahardian dari gerakan bibirnya. Karena mobilku nyaris kedap suara dan penuh dengan suara musik. Aku kemudian membuka kunci pintu mobil ini.Sorot mata Dokter Rahardian terlihat begitu khawatir melihatku. "Hei, kenapa? Ada apa?" tanyanya begitu masuk dan menutup pintu mobil.Aku menggeleng karena tidak bisa berkata-kata. Tenggorokanku tercekat dan dadaku sesak. Aku hanya bisa menangis di depan dokter baik hati itu.Dokter Rahardian menatapku kasihan. Ia membiarkanku menangis kemudian me
Aku tertegun mendengarkan pembicaraan Mas Reno dan juga Mami. Sengaja aku masih mematung untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut."Tapi caramu sangat menyakitkan, Ren. Mami yakin, saat ini Sisil sangat marah sama kamu. Dia pasti nyesel udah mau menuruti keinginan kita dulu untuk enggak cerai," ucap Mami.Aku menghela napas panjang. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Mas Reno punya pikiran seperti itu. Dia ingin membuatku membencinya agar aku mau pergi dari hidupnya. Hatiku nyeri memikirkan itu. Apakah itu artinya Mas Reno masih cinta sama aku?Tuhan, kenapa aku harus mendengar ini? Langkahku jadi tidak setegap tadi untuk meninggalkan semua ini. Aku harus bagaimana sekarang?"Reno tahu, Mi. Sisil pasti mikir kalau Reno udah enggak cinta sama dia, udah mengkhianati dia. Tapi enggak apa-apa, Mi. Lebih baik Sisil mikir gitu. Biar dia benci sama Reno dan mudah buat lupain Reno." Aku harus menajamkan pendengaran untuk mendengar perkataan Mas Reno yang ini dan hatiku hancur me
Mas Reno mengangguk lalu menatapku dengan tatapan hangat seolah-olah ia sedang mempersilakanku untuk berjalan terlebih dahulu. Laki-laki itu kemudian menyusul di belakangku.Ternyata Mas Reno bisa bersandiwara seperti ini. Kemarin dia marah-marah kepadaku, lalu tadi mengungkapkan alasannya pada Mami, dan sekarang bersikap seolah-olah di antara kamu berdua tidak pernah terjadi apa-apa. Aku jadi seperti tidak mengenal Mas Reno. Mana sisi dari Mas Reno yang harus aku percayai."Hei, Sil. Duduk sini!" ajak Mami dengan senyum lebar. Aku tahu senyum itu berusaha Mami paksakan agar kehangatan di rumah ini kembali tercipta. Aku mendekat dan duduk di samping ibu mertua yang sangat baik itu."Mami barusan minta Reno buat liat kamu, masih tidur apa udah bangun," ucap Mami lagi. Aku tahu, saat Mami bersikap seperti itu, dalam hatinya sedang berkecamuk berbagai rasa. Hanya saja wanita itu ingin terlihat tidak ada apa-apa dan semua baik-baik saja. Aku sudah sangat hafal dengan tabiatnya. Mami ker
"Tunggu, Sil," ucap Papi dengan tenang.Aku yang sebelumnya menatap Mas Reno, langsung menoleh ke arah Papi."Iya, Pi?" sahutku yang bingung dengan perintah Papi."Kamu tidak akan pergi kemana-mana," ucap Papi. "Rumah ini milik kamu. Apa kamu lupa kalau dulu Papi sudah balik nama atas nama kamu semua aset milik Reno?"Bibirku terbuka tetapi aku tidak berkata apa-apa."Papi enggak akan mengubahnya, Sil. Rumah ini, apartemen, dan semua aset yang dulu milik Reno, sejak Reno selingkuh, semua Papi berikan sama kamu," jelas Papi panjang lebar."Ta-tapi, Pi ....""Papi benar, Sil. Aku akan pulang ke rumah Papi. Kamu enggak usah kemana-mana. Tetaplah di rumah ini," pinta Mas Reno.Mami mengangguk, membenarkan perkataan putra dan suaminya. Sementara aku terdiam cukup lama. Aku bingung memilih kata-kata yang pas untuk disampaikan pada Papi."Kamu fokus sama kesehatan kamu, lakuin apapun yang kamu inginkan, selama bisnis Papi masih jalan, kamu akan terus dapat keuntungan dari saham milikmu di pe
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K