"Kamu luar biasa, ya, Mas?" sindirku sembari menatapnya sinis. "Niat banget kamu buat selingkuh, ya?""Enggak, Dek! Bukan gitu!" bantahnya."Bukan gitu, gimana? Bahkan kamu sampai punya hape dua," ucapku kecewa."Dek, ini ....""Mana kuncinya?" Aku memotong kalimat Mas Reno."Sayang, please! Dengarkan Mas dulu!" pintanya."Dengar apa lagi? Kalau isi hape itu foto-foto mesra kalian? Obrolan mesra kalian? Iya?" bentakku.Entah, aku sendiri tak mengerti. Akhir-akhir ini aku begitu mudah emosi. Bahkan sampai membentak Mas Reno seperti ini."Dek, itu, kan, sudah berlalu.""Terus kenapa masih disimpan? Kamu masih ingin mengenangnya? Iya? Kamu sayang banget kenangan kalian terbuang?" cerocosku sembari menatap kecewa pada Mas Reno."Enggak, Dek! Enggak!" bantahnya. "Aku lupa sama hape ini. Kan, setelah peristiwa itu aku pakai mobil kamu.""Bohong!""Serius, Sayang! Ya, sudah, sini Mas buang sekarang," bujuknya."Enggak!" seruku sembari langsung mengambil kotak itu. "Yang ada enggak bakal kamu
"Negatif, Dok?" tanyaku dan Mami bersamaan.Dokter tersebut mengangguk sembari tersenyum. Sementara aku dan Mami saling berpandangan saking bahagianya. Mas Reno pun tanpa aba-aba langsung memelukku di depan dokter dan Mami."Kita negatif, Dek! Kita negatif!" serunya.Aku sampai menitikkan air mata saking bahagianya. Mami merengkuhku dan Mas Reno. Kami bertiga saling berpelukan, menangis karena kebahagiaan. Malam harinya di rumah Mami, Mami dan Papi mengadakan tasyakuran. Untuk kehamilanku dan hasil tes kami yang negatif. Walaupun aku tahu, Mami tak bisa seratus persen bahagia karena masalah yang sedang menimpa Mas Randi dan Viola. Namun, wanita itu terlihat berusaha menutupinya.Hari berganti dengan begitu cepat. Viola divonis hukuman lima tahun penjara dan Mas Randi atas kasus penggelapan dana perusahaan dan perzinahan mendapat vonis tujuh tahun. Papi Viola pun divonis tiga tahun. Keluarga besar Viola hancur. Maminya menjual rumah mereka dan membawa anak-anak Viola. Kata Mami merek
Usia bayi kami sudah tiga bulan saat aku mulai menyadari Mas Reno tampak lebih kurus dari sebelumnya. Padahal nafsu makan dan aktivitasnya tidak banyak berubah. Malam hari pun ia tak lagi ikut begadang menjaga Cilla karena aku tidak tega. Siang dia sudah cukup lelah bekerja untuk kesejahteraan kami, jadi biar malam hari aku yang mengurus bayi kami, Priscillia Salsabila. Bayi cantik yang biasa kami panggil Cilla. Namun, aku mengamati berat badan Mas Reno saat ini menyusut cukup jauh dari sebelum kami mempunyai anak."Mas, coba deh, kamu timbang!" saranku saat menemani Mas Reno sarapan sebelum ke kantor."Kenapa emangnya? Aku kegemukan, ya?" Mas Reno menyengir kuda mengajak bercanda.Aku menautkan kedua alis. Tak menanggapi candaannya. Aku memang paling khawatir kalau sudah menyangkut kesehatan orang-orang yang kucintai. "Emang kamu enggak merasa kalau badan kamu kurusan, Mas?""Kamu ngerasa gitu?"Aku mengangguk. "Tuh, kemeja kamu juga kayak kebesaran gitu.""Kayaknya emang iya, sih.
Kakiku laksana tidak menapak bumi saat mendengar berita Mas Reno pingsan. Rasa takut seperti awan hitam yang mengepul sangat besar dan tiba-tiba saja menyelimutiku. Kini seolah-olah aku bisa tahu bahwa ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan. Padahal bisa saja sebenarnya Mas Reno hanya kelelahan. Namun, hati kecilku berkata Mas Reno pingsan bukan karena itu."Mbak, tolong pesankan taksi online sekarang!" titahku pada Mbak Sum setelah menutup telepon dari Kinan."Baik, Bu. Tujuannya kemana?"Kukatakan rumah sakit dimana Mas Reno saat ini berada. Aku langsung mengambil tas dan gendongan Cilla kemudian setelah taksi online yang dipesan Mbak Sum datang, kami pergi bertiga.Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk bersikap tenang. Aku takut kalau aku terlalu cemas, akan mempengaruhi Cilla yang sudah tidak rewel lagi. Karena saat ini anak itu bahkan sudah mau digendong oleh Mbak Sum. Sehingga saat aku menemui Mas Reno, Cilla dibawa Mbak Sum jalan-jalan di luaran rumah sakit."Mas, kam
Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya setelah mendengar vonis dari dokter. Namun, Dokter Heru rupanya tak membiarkan aku untuk sedikit saja bisa bernapas. Dokter dengan kaca mata berbingkai hitam itu kembali berkata, "Sebaiknya Ibu dan anak Ibu, segera melakukan tes juga."Aku membuka mulut, tetapi yang keluar hanya udara tanpa suara."Kami tahu, Ibu pasti sangat syok, tapi demi kebaikan semua, kami sarankan Ibu dan anak-anak dari Pak Reno segera melakukan tes juga.""Ta-tapi, Dok. S-sebelumnya kami sudah pernah tes. Dan waktu itu kami berdua negatif. Kenapa sekarang jadi positif, Dok? Apa mungkin tes seperti itu bisa salah?" Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Mas Reno positif HIV. Enggak! Dokter Heru pasti salah! Kami pernah tes, dan kami berdua negatif! Aku akan minta Dokter Heru untuk tes ulang.Dokter Heru menghela napas. Raut lelaki dengan usia sekitar 50 itu cukup tenang. Sepertinya dokter itu telah sangat terbiasa menghadapi keluarga pasien yang bereaksi sepertiku."Be
"Kalau Reno enggak kenapa-kenapa, terus kenapa kamu nangis gini?" tanya Mami. Sepertinya wanita itu tidak mudah untuk aku bohongi."Mas Reno ... kena meningitis, Mi," jawabku akhirnya. "Sisil takut ...."Mami langsung memelukku. "Reno pasti sembuh, Sil. Nanti Mami akan minta biar Reno ditangani dokter terbaik di sini. Kamu tenang aja!"Namun, air mataku tak bisa begitu saja berhenti mengalir karena aku tahu sakit Mas Reno yang sebenarnya. Suamiku itu seumur hidupnya tidak akan pernah bisa sembuh. Bahkan ada kemungkinan aku dan Cilla ikut terkena juga."Sudah, Sil. Semua pasti baik-baik aja. Mami sama Papi akan pilihkan pengobatan yang terbaik untuk Reno." Mami terus mengelus punggungku dengan lembut."Ma ...." Mas Reno memanggilku tanpa membuka matanya."Iya, Mas. Gimana?" Mami mengurai pelukan dan kami langsung mendekati Mas Reno."Pusing ...." Mas Reno mencengkeram kepalanya. "Tolong, mintain obat," pintanya masih sambil memejamkan mata."Sebentar aku tanya perawat dulu, Mas." Karen
"Gimana kabarnya, Bu Sisil?" tanya Dokter Rahardian membuat aku terjaga dari lamunan."Ah, ba-baik, kok, Dok."Dokter Rahardian kemudian menghela napas panjang. Sementara aku menundukkan kepala. Aku malu bertemu kembali dengan dokter itu dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku seperti menjadi manusia kotor karena penyakit yang diderita Mas Reno, karena kemungkinan besar kalau Mas Reno benar-benar positif, maka aku juga positif."Aku baca rekam medis Pak Reno, beliau sebelumnya udah pernah cek, ya?" tanya Dokter Rahardian memulai pembicaraan.Aku mengangguk. "Iya, Dok.""Bu Sisil sendiri udah pernah cek juga?""Sudah." Sungguh, kalau bisa aku ingin masuk ke dalam bumi saat ini juga. Aku tidak pernah bermimpi sama sekali akan bergelut dengan penyakit kotor ini sebelumnya. Aku malu, aku merasa diriku kotor, menjijikan. Walaupun aku belum tes lagi dan belum tahu hasil tesku seperti apa."Jadi, waktu itu ada peristiwa yang membuat kalian berdua memutuskan untuk cek?"Aku mengangguk. Aku suda
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Mas Reno semakin membaik. Sakit kepalanya ia bilang sudah berkurang. Dalam pikiranku, besok pagi Mas Reno sudah diizinkan pulang. Dokter Rahardian pun mengatakan kalau hasil tesnya bisa diambil ke rumah sakit bersamaan dengan Mas Reno kontrol."Ma, aku mau ke toilet," ucap Mas Reno saat aku menekuri ponsel membaca-baca soal HIV."Ah, iya." Kuletakkan ponsel kemudian beranjak mendekati Mas Reno. Kubantu Mas Reno turun dari tempat tidur kemudian menuntunnya ke toilet sembari memegangi tiang infusnya."Bisa sendiri?" tanyaku saat Mas Reno hendak memasuki toilet."Bisa."Selama Mas Reno di toilet, aku berdiri di depan pintu."Sudah, Mas?" tanyaku saat Mas Reno keluar.Mas Reno mengangguk. Namun, ada yang beda dari saat ia masuk ke toilet. Laki-laki itu cegukan."Loh, Mas, kok, cegukan?" tanyaku khawatir. "Iya, nih. Enggak tahu."Aku kemudian kembali menuntun Mas Reno menuju tempat tidurnya.Aku memang sangat khawatir dengan kondisi Mas Reno. Wala
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K