Rintik hujan mulai menyentuh tubuhku. Saat ini, aku berbaring atas kursi kayu di roof top. Semua kamar yang bersih sudah terisi, ada beberapa kamar yang jarang ditempati di lantai dua. Aku lebih nyaman menikmati pekatnya malam seraya merenungi nasib yang tragis.Aku bukan lagi Nyonya Gilang Sentawibara. Tak ada lagi salam penghormatan,pujian, sanjungan atau hal lainnya dari banyak orang. Kebodohan membuat semua itu terlepas dariku.Hidupku dengan Mas Gilang aman dan damai. Hanya saja terasa datar dan monoton. Tidak ada improvisasi dan gaya. Ah! Macam mau menyanyi saja. Namun, itulah kenyataan. Mas Gilang cenderung pasif tanpa inovasi dalam membangkitkan gairah dalam berumah tangga. Bahkan, menambah kebosanan yang ada.Ini bukan sepenuhnya salahku, pembelaan satu sisi hati disaat yang satunya mengutuk perbuatanku. Merengkuh madu cinta yang bukan milikku. Apa daya, saat madu yang haram lebih menggoda dan menantang dari pada yang halal. Disaat itulah iblis datang membisikkan perbuatan ni
Rinai hujan semakin deras membuyarkan angan. Aku masih betah pada posisiku. Tubuh bermandikan air hujan yang dingin di tengah malam buta. Berharap gundah dan gelisah itu enyah dari dalam diri diikuti sampah yang menumpuk di hati.Namun, bukannya lupa. Malah kenangan itu seperti hidup kembali. Merutuki diri sendiri. Mahligai suci hancur tanpa bisa terganti. Gejolak napsu menghancurkan semua mimpiku. Aaaarrrrggggh!"Ya Allah! Bukankah semua yang terjadi pada hamba_Mu semuanya melalui campur tangan_Mu. Lalu ... kenapa Engkau membiarkanku larut dalam dosa. Kenapa ya Allah?!"Merintih dibawah guyuran hujan. Menumpahkan lara yang menyesaki jiwa. Tidak ada yang bisa dirubah, semua sudah terjadi tanpa bisa diperbaiki. Kesalahan terpusat padaku, tanpa ada yang mau membela. Aku sendiri, terkukung dalam rasa yang sulit dijabar satu persatu. "Bodoh! Kamu bodoh, Nia! Kamu bodoh!" makiku pada diri sendiri.Setiap bayang Mas Gilang muncul dalam memori. Seketika luka hati semakin bertambah. Aku men
Untuk terakhir kalinya, aku duduk di sofa rumah ini. Ah! Tidak ini, bukan terakhir kali. Aku akan kembali merebut semua yang telah wanita itu rebut. Enak saja dia menikmati yang seharusnya menjadi milikku."Mas harap, meskipun hubungan kalian berakhir. Hubungan kedua keluarga tetap terjalin dengan baik. Jangan sampai ini memutuskan silaturrahmi keluarga kita," ujar Mas Lukman bijak."Tentu. Hubunganku dengan keluarga Nia akan baik-baik saja. Namun, tidak dengan Nia," sahut Mas Gilang tenang. Dia sangat membenciku."Mas, kita tidak boleh dendam. Jadikan ini pelajaran untuk hidup kita ke depan. Bukan hanya untuk kalian berdua, tapi untuk kita semua," sambung istrinya Ali. Tentunya aku akan merindukannya."Tepat. Dalam hal ini kalian berdua bersalah. Kalian saling diam saat keretakan terjadi dalam rumah tangga. Kalian berdua membiarkan keretakan itu merenggangkan ikatan cinta kalian. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia tempat dosa dan khilaf. Namun, untuk kedepannya gunakan iman
[Hai, boleh kenalan?]Pesan yang kukirimkan pada seorang gadis bernama Nia Nirmala. Kontaknya aku temukan di status FBnya.[Siapa, ya?]Balasnya datar, tanpa basa-basi.[Gilang]Jawabku tak kala cuek.[Ada apa?]Mau lanjut ternyata. Aku meneruskan keisengan di sela jadwal kerja yang kosong.[Mau kenalan sama kamu. Aku tertarik lihat fotomu di FB.]Ungkapku tanpa malu.[Oooo]Gila. Hanya itu saja balasannya. Menyebalkan.[Aku pengen ketemuan. Bisa?]Langsung pada poinnya. Jujur, foto wajah polos Nia membuatku tergoda beberapa minggu ini.[Aku di Jogja, Lang. Kamu?][Jakarta. Kirimkan alamat lengkap. Besok aku ke kota tempat tinggalmu.]Itulah awal pertemuanku dengan Nia Nirmala. Wanita yang mengetarkan hati, baik di dunia maya dan nyata. Parasnya bak gadis desa belum tersentuh kejamnya dunia membuatku mabuk kepayang.Hanya butuh lima menit bersamanya. Aku mengambil keputusan besar dalam hidup. Meminang Nia menjadi istriku tanpa menunggu waktu. Sikap manjanya membuatku semakin tak ingin
Suatu hari, saat aku sampai ke rumah ke rumah lebih cepat. Tanda-tanda keberadaan Nia tidak aku temukan. Mencarinya ke seluruh penjuru rumah sudah kulakukan. Namun, Nia tidak terlihat. Segera melangkah ke kamar, masih berharap dia tertidur pulas seperti biasa. Nihil.Yang membuatku shock, kondisi ranjang yang berantakan. Seperti sesuatu telah terjadi. Lingerie hitam tergeletak di lantai. Sekelebat bayangan gila terlintas dalam pikiran. Namun, segera kutepis. Mungkin saja, Nia ada acara dadakan. Dua tahun ini, aktif mengisi acara di berbagai kegiatan.Tanpa pikir panjang, kuhempas tubuhku ke atas ranjang. Aroma aneh menyeruak, bau sperma. Bagaimana bisa sprei ini bisa terkena sperma? Pertanyaan melintas dalam pikiran.Aku mulai mengendus setiap sudut ranjang. Bau parfum yang tak asing di indera penciumanku. Bukan punya Nia dan bukan juga punyaku. Spekulasi-spekulasi negatif terus bermuculan. Lingerie, sprei kusut, sperma dan bau parfum.Aaaarrggh! Tidak mungkin.Kuremas erat sprei di t
Mobil berguling-guling atas aspal. Kudengungkan nama Allah. Meminta keselamatan untuk kami semua. Masih sempat kudengar rintihan Ibu dan Bapak yang mengucap nama Allah. Beberapa detik kemudian suara mereka menghilang. Tubuhku terlempar ke aspal. Sempat terlihat mobil yang kami tumpangi dalam posisi terbalik. Kumpulan asap putih membumbung tinggi. Seluruh tulangku rasanya patah, wajahku berdarah, pecahan kaca mobil masih menacap di pipi.Aku merangkak mendekat, berniat mencari keberadaan Bapak dan Ibu. Namun tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih melaju ke arahku dalam kecepatan tinggi.Aaaaaa!"Mbak, Awas!" Seorang lelaki menarik tubuh menjauh dari tengah jalan. Tubuhku tersungkur ke aspal. Kuabaikan sakit dan perih yang menyiksa. Bergegas menyeret langkah menuju mobil yang posisinya masih terbalik. Pikiranku hanya tertuju pada ayah dan ibu. Berbagai pikiran buruk menyerang dalam satu waktu. Kutepiskan kemungkinan terburuk yang melesat dalam pikiran."Tolong, Bapak dan Ibu saya ada di
"Bapak! Ibu! Jangan pergi, maafkan Nia!" Aku menjerit melihat tubuh kedua orangku hilang dalam gumpalan asap putih. Mereka semakin jauh. Semakin kukejar tubuh mereka semakin sulit kugapai.Aaaaaaa!Mataku terbuka dengan napas memburu. Dadaku naik turun dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Aku berada dalam ruangan serba putih. Didadaku dipasang kabel-kabel yang tak kumengerti. Sedangkan di tangan sebelah kiri menancap jarum yang dialiri cairan kehidupan.Ya Allah! Aku masih hidup. Kemana Bapak dan Ibu? Aku langsung berteriak histeris memanggil keduanya Namun, yang datang membuatku bungkam. Mantan mertuaku dan istrinya Ali. Kedua wanita itu berusaha menenangkanku."Mbak istirahat, Bapak dan Ibu sudah diurus sama Mas Gilang dan yang lain," ungkap istrinya Ali."Iya, tenang, Nia. Ini musibah. Istighfar, Nak," sambung Ibu seraya memapahku untuk kembali berbaring ke ranjang."Antarkan Nia jumpa orangtua, Nia," pintaku pada mereka."Sabar, Nak. Sabar, ini yang terbaik untuk semua," gumam Ib
Ibu menatap ke arahku. Aku hanya mampu diam tanpa kata. Satu sisi senang, bahwa pernikahan itu rekayasa. Sisi lain mempertanyakan apa yang sebenarnya Mas Gilang rencanakan."Sekali lagi saya mohon, Maaf kepada Bapak dan Ibu. Saya sama sekali belum mengerti duduk persoalannya. Ada baiknya, saya hubungi putra saya terlebih dahulu," ungkap ibu santun."Persoalannya jelas, Bu. Anak Ibu memperalat anak saya untuk merekayasa pernikahan untuk ditunjukkan pada istrinya yang siapa entah namanya ....""Nia, Bu. Ini orangnya." Telunjuk Ibu mengarah ke arahku. "Oh, ini istrinya Gilang. Pantesan dia tidak senang dan ingin cerai, modelnya ....""Maaf, Bu. Tujuan Ibu ke sini sebenarnya apa? Untuk menghina orang atau membicarakan perihal nasib anak Ibu?!" Ibu sangat tegas dalam berbicara. Pembelaannya membuat hatiku semakit digeluti penyesalan tiada ujung. "Biasa saja, Bu. Tak usah dibela lagi. Dia mantan mantu, 'kan? Ini anak saya mantu masa depan Ibu," ujar wanita di hadapanku. Mulutnya tajam bak
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n