"Nur, jangan lupa mandi," suara Bu Dina terdengar pelan, seperti sebuah bisikan yang datang dari arah dapur. Aku spontan menoleh ke sana, namun yang kutemui hanyalah kekosongan. Tidak ada siapa-siapa. Dapur tampak gelap, hanya diterangi lampu kecil di sudut ruangan. Pintu ke halaman belakang yang biasanya tertutup pun tetap terkunci rapat. Aku berdiri terpaku di lorong itu, bulu kudukku perlahan berdiri. "Bu Dina?" panggilku ragu. Tidak ada jawaban. Kakiku mundur selangkah, tetapi rasa penasaran yang bercampur dengan kecemasan mendorongku untuk mendekat. "Bu Dina, apa Ibu di dapur?" tanyaku lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Namun, yang kudengar hanyalah suara detik jam dinding di ruang tengah, ritmenya kembali teratur, tetapi entah kenapa terdengar seperti gema yang menekan dadaku. Aku memutuskan untuk mendekati dapur, meski langkahku terasa berat. Saat tiba di ambang pintu dapur, pandanganku menyapu ruangan. Masih kosong. Hanya ada panci dan wajan yang tergantung di d
Setelah hampir tiga tahun bekerja di rumah Bu Dina, aku akhirnya merasakan sedikit kebahagiaan yang sempat hilang dari hidupku. Kehidupan di rumah ini memang penuh tantangan, terutama dengan semua kejadian yang tidak bisa dijelaskan, tapi aku mencoba bertahan.Pria itu bernama Aji. Aku mengenalnya lewat media sosial, awalnya hanya percakapan ringan yang lambat laun menjadi lebih intens. Dia bukan tipe pria yang sering pamer atau berbicara besar. Kesederhanaannya membuatku nyaman, dan perlahan-lahan aku merasa ada harapan untuk memulai hidup baru dengannya.Setiap malam, kami berbincang lewat telepon. Suaranya yang tenang selalu membuatku merasa aman. Dia tahu tentang masa laluku, tentang pernikahanku yang gagal dan rasa trauma yang masih menghantuiku. Tapi Aji tidak pernah menghakimi, sebaliknya dia selalu memberikan dukungan dan kata-kata yang menenangkan.“Aku cuma mau kamu bahagia, Nur,” katanya suatu malam. Kata-kata itu terus terngiang di pikiranku, m
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat