Aku terdiam di kamar, mendengarkan percakapan ayah, ibu, dan tetangga dari teras. Suara ayah terdengar pelan namun jelas.
"Nur ini, sepertinya sensitif. Dia bisa merasakan kehadiran mereka," kata ayah dengan nada serius.Tetangga kami, Bu Rina, menimpali, "Memang begitu, Pak. Ada beberapa orang yang memang lebih peka. Mungkin Nur memang salah satunya."Ibu terdengar menarik napas panjang sebelum berkata, "Kasihan anakku. Sejak pisah dengan Naufal, dia makin sering merasa ada sesuatu yang nggak beres di sekitarnya."Aku menggenggam selimut erat-erat, mencoba menenangkan perasaanku. Apa benar aku terlalu sensitif? Ataukah semua ini hanya kebetulan?"Ini pasti turunan," kata ayah lagi, suaranya terdengar lebih tegas sekarang. "Dari kakeknya, kamu juga dulu pernah begitu waktu muda."Ibu terdiam, lalu akhirnya menjawab pelan, "Iya, mungkin benar. Waktu kecil, aku juga sering merasa diganggu... tapi tidak separah Nur."Bu Rina mengangguk pelan, "Bisa jadi memSeiring berjalannya waktu, kejadian-kejadian aneh itu mulai berangsur-angsur menghilang. Meskipun rasa takut masih sesekali menyelinap dalam pikiranku, aku berusaha keras untuk menghadapi dan melawannya..Ada hari-hari di mana aku merasa begitu kuat, seolah semua yang pernah kutakutkan tak lagi punya kuasa atas diriku. Namun, ada pula malam-malam di mana kegelapan masih terasa terlalu pekat, dan aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa aku tidak sendirian.Ibu dan Ayah pun terus mendukungku, meski mereka tak selalu tahu apa yang sebenarnya kualami. Kehadiran mereka di sampingku memberiku rasa aman yang tak tergantikan. Namun, aku tak ingin membuat mereka khawatir dan lebih memilih untuk memendam rasa takutku sendirian.“Ayah yakin kamu bisa melewati ini, Nur,” kata Ayah suatu malam, ketika kami duduk di ruang tamu. “Ketakutan itu cuma sementara. Asal kamu percaya, semua akan baik-baik saja.”Aku hanya bisa mengangguk, menguatkan diri. Meski tid
Setelah pengalaman kerjaku di Jakarta sebelumnya yang penuh liku dan meninggalkan kenangan pahit, aku akhirnya memutuskan untuk kembali mencoba peruntungan di luar kota. Aku tahu, keputusan ini tidak mudah bagi ayah dan ibu. Mereka mungkin khawatir melepas anak perempuannya lagi ke tempat yang jauh, apalagi setelah apa yang sudah kulalui. Tapi aku tak bisa terus-menerus bergantung pada hasil tani mereka yang pas-pasan."Yakin kamu mau kerja lagi di luar kota?" tanya ayah dengan nada berat, tatapannya lekat seolah ingin memastikan keputusanku sudah bulat.Aku mengangguk, mencoba menahan rasa takut dan ragu yang sebenarnya masih ada. "Aku yakin, Yah. Di sini mungkin aman, tapi aku ingin mandiri. Aku ingin bantu ayah sama ibu juga."Ibu tersenyum kecil, meski di balik senyumnya aku bisa melihat ada kecemasan. "Kalau itu keputusanmu, nak, kami akan dukung. Tapi hati-hati, ya. Ingat yang kemarin..."Aku meraih tangan ibu, menguatkan diri dan mencoba me
Aku terus bertarung dengan perasaan takut yang menguasai pikiranku, berusaha melawan kecemasan yang menghantui tiap malam. Namun, tiang jemuran di samping kamarku sering kali menciptakan bayangan yang bergerak pelan di jendela. Bentuknya samar, tapi cukup membuatku merinding, seperti sosok asing yang mengawasi dari kegelapan.Setiap malam, aku terpaksa menyalakan lampu kamar. Kegelapan yang biasa aku abaikan kini terasa begitu menakutkan. Bayangan-bayangan itu selalu ada di sana, bergoyang seiring angin malam, dan aku tak berani menutup mataku lebih lama dari beberapa detik. Setiap kali mencoba memejamkan mata, bayangan itu seakan semakin jelas, semakin nyata.Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya ilusi. "Hanya tiang jemuran," bisikku berulang-ulang, berusaha mengusir ketakutan.Namun, pikiranku terus berbisik bahwa mungkin ada sesuatu di balik bayangan itu, sesuatu yang mengintai dengan sabar, menunggu aku lengah. Malam-malam terasa panjang, dan aku pun semakin
Siang itu, udara di dalam rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Suasana yang biasanya ramai dengan suara Isabelle yang ceria kini terasa lengang dan sedikit mencekam.Aku duduk di ruang tamu, mengingat kembali saat-saat pertama kali bekerja di sini. Entah kenapa, waktu itu aku merasa begitu berani, sering kali bicara sembarangan untuk mengusir rasa takutku.“Hei, Mbak! Ngapain bengong di situ?” suara Isabelle yang tiba-tiba muncul membuatku tersentak.“Oh, enggak apa-apa, cuma lagi mikir aja,” jawabku sambil tersenyum kaku.Namun, pikiranku terus melayang ke masa lalu. Aku ingat betul, betapa aku dulu suka menantang rasa takutku dengan cara yang mungkin sedikit sembrono. Aku mulai bercerita pada Isabelle, yang duduk bersila di hadapanku sambil memegang ponselnya.“Kamu tahu enggak, dulu pas Mbak baru kerja di sini, sering banget nonton film horor malam-malam. Biar enggak takut gitu…” Aku terkekeh sedikit, meski dalam hati merasa ada yang ganjil mengingat semua
Malamnya, setelah seharian sibuk bekerja, aku kembali ke kamar. Langit di luar sudah gelap, dan seluruh rumah sunyi. Isabelle dan kedua orang tuanya sudah tertidur, sementara aku masih terjaga dengan pikiran yang berputar.“Kenapa kamu nggak cerita aja sama Bu Dina?” gumamku pada diri sendiri, berusaha menguatkan hati.Namun, aku tahu bahwa mengungkapkan semuanya tidaklah semudah itu. Selama ini, aku sudah berusaha keras menyembunyikan kegelisahanku, takut dianggap aneh atau malah menyusahkan mereka.Tiba-tiba, angin dingin menerobos masuk dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Aku bergidik, segera menutup jendela dan kembali ke tempat tidur. Namun, rasa tak nyaman itu masih ada, perasaan bahwa ada sesuatu yang terus mengamatiku.Sambil berbaring, aku berusaha menenangkan diri dengan doa-doa yang diajarkan ibu sejak kecil. Tapi setiap kali aku hampir tertidur, bayangan tangan pucat yang muncul dari tembok tempo hari terlintas di benakku. Membuat
Malam itu, seperti biasa, aku terlelap dengan pikiran penuh kehati-hatian, berharap terhindar dari ketindihan yang sudah terlalu sering menghantuiku. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk melawan rasa takutku, meskipun tubuhku kaku dan napasku terasa sesak.Aku memaksakan pikiranku untuk berani, dan dalam hati, aku bertanya, "Apakah di kamarku memang ada penunggunya? Kalau memang iya, tolong beri aku petunjuk."Tidak lama setelah itu, di tengah mimpi yang samar, sosok putih tiba-tiba muncul di samping tempat tidurku. Perlahan, sosok itu bergerak halus, nyaris melayang, menatapku dengan pandangan hampa dan tenang. Aku merasa dingin yang menusuk, tetapi aku tetap menahan diri, menolak untuk membiarkan rasa takut menguasai pikiranku."Baiklah," bisikku dalam hati, mencoba bicara padanya, "aku percaya kamu ada di sini. Jangan mengganggu, ya?"Sejak saat itu, entah kenapa, ketindihan itu sedikit demi sedikit mulai mereda. Meski masih ada rasa tidak nyama
Aku duduk sendirian di pinggir jalan, di belakangku hanya deretan pohon kamboja yang menjulang gelap di bawah langit malam. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di sini. Rasanya barusan aku masih beristirahat, tapi sekarang aku duduk di tempat asing ini, dikelilingi sepi yang mencekam.Tak ada suara, tak ada kehidupan. Seolah-olah aku sedang berada di dunia lain, dunia di mana hanya ada kegelapan. Perlahan, aku mulai merasa ada sesuatu yang salah. Suasana di sekitarku terlalu sunyi, hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki, pelan namun mendekat.Aku menoleh, dan di bawah cahaya redup, seorang perempuan muncul dari balik bayangan. Dia berjalan pelan ke arahku dan duduk di sampingku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sosoknya terlihat samar, mengenakan gaun putih panjang dengan rambut terurai yang menutupi sebagian wajahnya.Aku menelan ludah, merasa kaku. Semakin aku memperhatikannya, semakin aku sadar, perempuan ini... dia sangat mirip denganku. Hanya saja, wajahnya
Setiap malam, aku mulai terbiasa berbincang dengan Aji melalui pesan singkat. Seseorang yang baru aku temui beberapa waktu lalu dari sosial media. Rasanya menyenangkan memiliki teman bicara yang bisa membuatku melupakan kejadian-kejadian aneh di rumah ini.Kami berbagi cerita, dari hal-hal sepele sampai pengalaman hidup masing-masing. Entah bagaimana, Aji selalu tahu cara membuatku tertawa, meskipun lewat kata-kata di layar ponsel.Suatu malam, saat aku bercerita tentang pengalaman yang mengganggu tidurku, Aji mengirim pesan yang membuatku tertegun sejenak.“Nur, kamu nggak pernah berpikir buat pindah kerja?” tanyanya.Aku mengetik balasan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul di hatiku. “Aku sudah terlalu nyaman di sini, Ji. Lagipula, nggak mudah cari pekerjaan baru. Tapi kalau ngobrol sama kamu gini, aku jadi lupa kalau ada yang menyeramkan di sini.”Aji membalas dengan cepat, “Kalau gitu, aku akan terus nemenin kamu biar nggak takut.”Ada sesuatu dalam caranya berkata-kata
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Hubunganku dengan Aji mulai memasuki fase yang tidak menyenangkan. Kami sering bertengkar akhir-akhir ini, dan penyebabnya terdengar sepele: K-pop. Issabelle, anak Bu Dina yang awalnya memperkenalkanku pada dunia boy group Korea, kini justru menjadi alasan perselisihan antara aku dan Aji. Awalnya, Issabelle hanya menunjukkan beberapa video dari boy group kesukaannya untuk menghiburku, tetapi siapa sangka aku malah jatuh hati pada grup lain. Namun, yang membuat Aji semakin kesal adalah ketertarikanku yang mendalam terhadap salah satu member grup itu, seseorang bernama Bin. Awalnya, aku bahkan tidak terlalu memperhatikannya. Dia tidak begitu mencolok di antara para member lainnya, dan aku pun tidak terlalu peduli. Tetapi, semuanya berubah setelah malam itu. Malam itu, aku bermimpi sesuatu yang membuatku terkejut sekaligus bahagia. Dalam mimpi itu, aku terbangun di tempat tidurku, namun ada yang berbeda. Di sebelahku, Bin, idola yang akhir-a
Pagi itu, hari pertama aku bekerja di kantor Pak Frank, Ainun, asisten baru di rumah Bu Dina, mengantarku menggunakan sepeda motor.Setibanya di kantor, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah hawa yang sulit dijelaskan. Apakah aku akan betah bekerja di sini? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku sepanjang perjalanan menuju pintu masuk.Saat aku membuka pintu utama, pandanganku langsung tertuju pada ruang tamu kecil yang sederhana namun mencolok. Sebuah sofa hitam dengan meja kecil di depannya menjadi tempat biasa Pak Frank menerima tamu atau klien. Di samping sofa itu, sebuah rak besar berisi kosmetik dari berbagai jenis dan merek, semuanya adalah produk unggulan dari perusahaannya.Namun yang paling menarik perhatian adalah cermin besar yang hampir memenuhi satu sisi dinding. Letaknya strategis, sehingga memantulkan hampir seluruh isi ruangan. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari cermin itu. Ada sesuatu yang membuatnya terasa... aneh.
Setelah asisten penggantiku datang, aku merasa sedikit lega. Setidaknya, kini aku punya teman untuk berbagi tugas. Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya: mengapa Bu Dina mencarinya begitu cepat? Padahal, pernikahanku masih beberapa bulan lagi. Rasanya seperti dia tidak sabar untuk segera melepas tanggung jawabku di rumah ini.Tak lama setelah penggantiku mulai bekerja, Bu Dina memberikan tawaran yang tak terduga. Dia menyarankan agar aku bekerja di kantor Pak Frank, suaminya. Katanya, posisinya lebih baik, gajinya jauh lebih besar, dan jam kerjanya pun tidak sepadat pekerjaan rumah. Bu Dina bahkan meyakinkanku bahwa bekerja di kantor akan memberi pengalamanku nilai tambah di masa depan.Awalnya, aku ragu. Aku tidak pernah membayangkan bekerja di lingkungan kantor yang penuh aturan. Namun, setelah dipikirkan matang-matang, aku menerima tawaran itu. Pekerjaan di kantor memang terasa seperti peluang yang baik, dan gajinya yang lebih besar tentu akan sangat