"Aku udah kasih tahu belum kalau nanti malam kita ada undangan makan malam di rumah Gina?" Amarahnya belum usai hingga pagi ini, tapi dia harus mendengar nama wanita yang jadi selingkuhan suamiku. Mungkin karena hati masih panas, hingga telinga Nasya menangkap nama Gina begitu lembut diucapkan Dika, padahal sih, biasa saja. Nasya tidak menjawab, terus menyelesaikan sarapannya. Hatinya begitu hancur dan sedih. Tapi, bukankah dia sudah berniat untuk mempertahankan rumah tangganya? Mengapa harus takut bertemu dengan Gina? Namun, tidak bisa dipungkiri kalau dalam keadaan bingung begini, dia pasti teringat Chris. "Nasya bego, memangnya Chris siapa kamu!" umpatnya dalam hati. "Sayang, kamu dengarkan?" "Dengar, Mas. Tapi, kayaknya aku dak bisa ikut. Mas aja, ya?" Dika berhenti mengoleskan kembali butter ke rotinya dan mendongak pada Nasya. "Jangan begitu, dong, Sayang. Kamu harus ikut. Kamu bilang ingin akrab dengan sahabat-sahabat ku. Lagi pula, kita belum kasih kado sama ana
"Kamu bilang apa, Mas? Anak Papa Dika? Gwen anak kamu?" dada Nasya naik turun, bola mata juga sudah mulai mengabur oleh cairan bening. Jadi, selama ini dugaannya bersama Airin benar. Dika sudah berselingkuh, bukan ... tapi Dika sudah punya hubungan dengan Gina jauh sebelum mereka menikah. Bukan Gina orang ke tiga, tapi dia, bukan Gina pelakor nya, tapi dirinya. Udara terasa sulit untuk diraih, sesak dan tenggorokan terasa tercekat. Nasya mencoba untuk tetap bisa berdiri di depan mereka tanpa jatuh pingsan. Nasya mengsugesti dirinya untuk tetap kuat di depan mereka. "Nasya ..." Dika kaget bukan main begitu pun dengan Gina. Keduanya asyik bermain dengan Gwen tanpa sadar kalau Nasya sudah berdiri di depan pintu kamar. "Nas, kita bisa jelaskan," ucap Gina ikut panik. Wajahnya pucat, seperti pencuri tertangkap basah. "Jelasin apa? Jelasin kalau kalian adalah pasangan bahagia? Jadi, benar ya, Mas. Dugaanku selama ini. Saat kamu bilang ke luar kota, sebenarnya kamu lagi sama wan
"Nas, ada Dika di bawah," ucap Anisa masuk ke kamar anak gadisnya. Sudah seminggu dia mengurung diri di kamarnya. "Bilang aku gak ada, Mi. Udah mati!" "Hush! Gak boleh begitu. Kamu itu masih istrinya. Lagi pula kalian punya masalah apa, sih?" Nasya diam. Dia malas untuk membahas, lagi pula nanti akan menambah beban pikiran orang tuanya. Tapi, untuk pulang ke rumah mertuanya, dia juga tidak mau. Lagi pula, kenapa setelah seminggu baru Dika muncul dan ingin menjemputnya? Ogah! "Nasya, dengar gak mami ngomong?" "Dengar, Mi. Belum budek juga, tapi Nasya memang gak mau ketemu Dika dulu." "Kasihan, loh dia. Mami lihat wajahnya pucat dan tubuhnya tampak kurus. Katanya udah empat hari di rawat di rumah sakit, ini aja baru keluar dari rumah sakit, terus kemari." Mendengar penjelasan ibunya, Nasya jadi ikut khawatir. Pantas saja, Dika tidak kunjung datang, ternyata pria itu masuk rumah sakit. Ah, nanti dia bohong. Sudah sulit bagi Nasya untuk percaya apapun yang dikatakan Dika.
Semakin lama memikirkan, Nasya sampai dibatas kesimpulannya. Dia akan memaafkan Dika dan memberikan satu kesempatan lagi. Bagaimanapun, mungkin hanya karena begitu cemburu hingga membuat emosi Nasya meledak. Kini, yang jadi pegangan Nasya, jika Dika berkata tidak ada hubungan spesial dengan Gina, maka dia akan percaya. "Udah rapi aja, mau kemana?" Tanya Anisa masuk.ke dalam kamar, memperhatikan putrinya yang sudah tampil cantik. "Mau ketemu Dika. Mami, kalau sampai sore aku gak pulang, berarti udah balik ke rumah ibu." Anisa senang mendengarnya. Nasya akhirnya mau membuka pintu maaf untuk Dika dan menjaga keutuhan rumah tangga mereka. "Putri mami memang baik hati dan pemaaf. Nasya-nya mami sudah dewasa. Mami bangga sama kamu," ucap Anisa memeluk Nasya dan mengakhiri dengan kecupan di kening. Nasya tidak memberitahu pada Dika kalau dia akan datang ke kantornya. Nasya ingin memberi kejutan. Pagi-pagi sekali, dia sudah masak dan menyiapkan makan siang untuk Dika. Nasya sudah
Nasya memasuki pagar dengan langkah malas. Langit sudah gelap, dan dia baru saja tiba di rumah. Kalau kata hatinya ditanya, dia tidak ingin pulang, tapi harus kemana lagi dia pergi? Berjam-jam lamanya Nasya menyendiri memikirkan permohonan Dika dan Bima, tapi masih belum bisa memutuskan. Sendiri di taman kota, menangis, merenungi nasibnya. Haruskah bercerai?"Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" batinnya merasa bingung. Tapi, bukankah semua yang terjadi adalah kehendak sang pencipta? Jadi, apapun yang terjadi kini dalam hidupnya, juga sudah menjadi kehendak sang kuasa? Terlalu berat beban pikirannya, ditanggung oleh anak manja seperti Nasya. Selama ini pergumulan hidupnya selalu diselesaikan oleh orang tuanya. Kini, jangankan minta tolong, untuk menceritakan yang sebenarnya saja dia enggan. "Ka- kamu pulang, Nas?" suara Anisa melemah. Nasya bisa menebak alasannya. Ibunya pikir kalau Nasya akan pulang ke rumah mertuanya. Siang tadi saat hendak pergi, dia begitu bersemangat se
Dika sudah diperbolehkan pulang ke rumah, dan Nasya diminta untuk menemani. Nasya tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin mengabaikan permohonan mertuanya. "Nas, terima kasih sudah mau pulang bersamaku," ujar Dika memandang haru penuh rasa terimakasih. Ia sebenarnya malu, karena sudah mencoba bunuh diri. Sejujurnya, Dika tidak ingin mati, dia sangat mencintai Bima dan anak mereka Gwen, tapi dosa yang besar pada orang tuanya membuat Dika memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dari pada harus mempermalukan orang tuanya. Sang pencipta berkata lain, dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Bersyukur lagi, Nasya tetap mau berada di sisinya berstatus sebagai istri. "Fokuslah pada kesembuhan mu, Mas," ucap Nasya dingin. Dia merawat Dika hanya karena masih berstatus suami istri. Lagi pula, Nasya tidak tega mengabaikannya. Selama menjadi suami istri, pria itu memperlakukan dengan lembut. Oh, Tuhan, setelah mengetahui kebenarannya, Nasya baru paham alasan Dika selalu memperhatikan kuli
"Aku kasih waktu enam bulan, Mas. Setelah itu kita bercerai." Itu keputusan final dari Nasya dua hari lalu, saat berbicara empat mata dengan Dika dan juga Bima. Saat itu, Gina datang kembali ke kantor menjemputnya dan membawa bertemu dengan Bima dan Dika. Keduanya sudah menunggu di salah satu restoran. Dika memutuskan untuk mengambil ruang VIP agar pembicara mereka tidak didengar oleh siapapun. "Terima kasih, Nas," ucap Dika penuh haru. Bima juga ikut mengucapkan terima kasihnya. Nasya luluh saat melihat wajah menggemaskan Gwen. Anak itu anteng tidur di stroller nya. Bagaimana jadinya nasih Gwen, kalau kemarin Dika benar-benar meregang nyawa karena percobaan bunuh diri itu. Bayi imut itu juga tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang diinginkan. Gwen yang malang, tapi Nasya berdoa semoga anak itu tumbuh sehat dan bisa membuat orang tuanya bangga. Nasya berusaha berdamai dengan keadaan. Meski belum sepenuhnya ikhlas, setidaknya dia mau mencoba menerima takdirnya da
"Kamu ngapain nyari abang ke sini?" Radit terpaksa keluar dari ruang meeting saat diberitahu ada keluarga mencarinya.Sedikitpun dia tidak menduga kalau keluarga yang dimaksud adalah Nasya. Sempat jantungnya berdetak kencang, takut kalau terjadi masalah baru di keluarga. Soal Raka dan ayahnya saya belum bisa diselesaikan, jangan sampai terbit masalah batu. "Abang, kok, kayak gak senang lihat aku datang?" Nasya segera berlari ke pelukan Radit. am qSudah lama mereka tidak jumpa. Selama ini Radit tugas di Papua, Kediri dan terakhir paling dekat di Surabaya. Dari Anisa lah, Nasya tahu kalau saat ini sang abang sudah kembali tugas di ibukota. "Mau pelukan sampai kapan, nih?" tanya Radit membelai lembut kepala adiknya. Dia juga rindu pada adik bontotnya itu. "Bang Radit gak kangen ya, sama aku?" Nasya melepas pelukannya dan memilih duduk di sofa. Radit sudah punya jabatan tinggi hingga punya ruang pribadi. "Bukan begitu. Ini kantor dan abang lagi kerja. Kamu ke sini mau ngapain?"
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid