Fala menghela napas pelan dengan wajah gelisah tak menentu. Saat ini dia sedang berada dalam sebuah rapat mendadak dengan staf dokter ahli bedah lainnya, dimana mereka harus berunding untuk tindakan operasi salah satu pasien yang kecelakaan. Dengan kondisi yang genting dan dikejar waktu, antara hidup dan mati karena pasien itu tertancap sebuah besi di tubuhnya.Sementara sebentar lagi Kapten Arthur yang selalu dibicarakan oleh Raffa akan datang. Dia harus meyakinkan dugaannya, tentang ayah kandung Raffa dan sosok idola anaknya itu adalah satu orang karena memiliki nama yang sama."Apa yang harus kulakukan?" desah Fala. Dia merasa tidak tenang selama rapat. Sampai akhirnya rapat berakhir dan mereka berlanjut menindak pasien dengan segera membawanya ke meja operasi.Sebelum itu, Fala bergegas ke ruang perawatan Raffa. "Mas? Bukannya kamu ada jadwal?" tanya Alia heran ketika melihat suaminya muncul dari pintu."Hai, Papa!" sapa Raffa riang.Fala pun tersenyum seraya mendekat. "Papa ada
Lintang berjalan bolak-balik di depan perapian, dengan wajah bingung seolah sedang berpikir keras dan sesekali mendesah dengan gusar. Mira yang memperhatikannya sedari tadi hanya bisa terdiam, ikut panik namun dia tak tahu harus berbuat apa.Candra akan datang ke sini, dia dalam perjalanan di dalam pesawat komersial dan diperkirakan akan sampai nanti esok pagi. Lintang tak ingin papanya tahu tentang keretakan rumah tangganya bersama Arthur, apalagi sampai melihat anak dan menantunya itu sudah tak lagi tinggal bersama. Apa katanya nanti, dan Lintang tak mau membuat papanya kecewa dan kembali membenci Arthur. Dia tak mau kejadian buruk bertahun-tahun lalu terulang kembali."Apa yang akan Nona lakukan?" tanya Mira tak bisa berdiam diri lagi.Lintang berhenti dengan wajah kalut, ia tak segera menjawab. Tapi lalu matanya melebar."Tak ada jalan lain, Mira, aku harus meminta Arthur kembali kesini," putusnya.Mira mengerutkan kening heran, sepertinya itu terdengar riskan sementara kedua s
Lintang yang baru saja keluar dari bengkel Hazen, kembali menghentikan langkahnya saat melihat Arthur berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan."Kamu?" ucapnya terkejut.Arthur maju mendekat. "Apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya.Terdengar sedikit tajam di telinga Lintang, seolah Arthur terkejut dan marah dengan tindakannya yang mendatangi kediaman Hazen."Kamu khawatir aku melabrak wanita itu?" sindir Lintang seraya tersenyum sinis."Apa itu yang kamu lakukan?!" ucap Arthur balik bertanya.Lintang tertawa hambar, "Sepertinya kalian punya satu kesamaan soal balik bertanya!" cibirnya. "Tidak! Bukan begitu maksudku!" ralat Arthur, "aku mengkhawatirkanmu!" Lintang kembali tertawa karenanya."Tentu saja! Dibandingkan dengan dia, aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak punya kemampuan apa-apa, jadi kamu tidak usah cemas dia akan terluka hanya karena aku mendatanginya malam-malam begini!"Arthur menghela nafas, "Aku tahu kamu tidak akan mela
"Aku merindukanmu, Nona Lintang ...."Tubuh Lintang seketika menegang, kala telinganya mendengar bisikan itu. Ia mendongak dan mendapati kedua iris coklat itu tengah menatapnya. Sorot mata lembut itu seolah menghipnotisnya"Kapten ... Arthur ...." Arthur merendahkan tubuhnya, berlutut di lantai hingga akhirnya dialah yang mendongak memandangi wajah Lintang. Bersikap layaknya budak di hadapan tuannya. Lintang menahan nafas. Mengingat saat malam pertemuan pertama setelah kepulangan Arthur ke Indonesia, setelah mereka berpisah 5 tahun lamanya dan Lintang kehilangan kedua anak mereka. Bagaimana Arthur menyentuhnya, tak mempedulikan setiap bekas luka dan keloid yang melintang di perutnya. "Lintang ....""Arthur ... tidak ...."Lintang merintih lirih saat Arthur mendorongnya dengan lembut, hingga punggungnya menempel ke dinding dan Arthur menyatukan kedua tangannya dalam satu genggaman, menahannya di atas kepala. "Aku rindu aroma tubuhmu ...," bisik Arthur di leher Lintang. Memberikan
Mira hanya bisa membuka mulutnya tanpa bisa berkata apa-apa, ketika dia membukakan pintu. "Eh, Tu-Tuan ...!" Arthur masuk sambil membawa tubuh Lintang di kedua tangannya. Wanita itu masih tertidur pulas sejak dari mobil, dan ia tidak tega membangunkannya. Mira yang sempat melongo, menggelengkan kepala dan menepis rasa terkejutnya tadi. Lalu secepatnya bergerak melewati Arthur, menuju kamar Lintang untuk menyiapkan tempat tidur."Mari masuk saja, Tuan!" ucapnya mempersilahkan Arthur untuk masuk. Sedetik lalu ia menggumam mengutuk dirinya sendiri, sedikit menggigit lidah mengingat, bukankah kedua orang itu masih suami istri?! Arthur pun masuk ke kamar tersebut, berjalan pelan seolah setengah melayang di atas permukaan lantai, saking takut jika gerakannya membuat Lintang terbangun. Lalu dengan lembut dan hati-hati menurunkan tubuh Lintang ke atas kasur. Saat itulah, wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter saja di atas Lintang, bahkan bisa dirasakannya hembus hangat nafas wanita
Arthur keluar dari ruangan pimpinan dengan wajah muram. Permintaannya untuk berhenti dari tugas tak disetujui. Karena sejauh ini dia termasuk sebagai agen terbaik sejajar dengan Hazen, selaku partner."Apa yang membuatmu rendah diri seperti itu, Kapten? Kau adalah agen terbaik yang kami miliki, tidak ada alasan bagi kami untuk mengizinkan permintaan pengunduran diri darimu! Kenaikan pangkatmu sebentar lagi."Begitulah kira-kira jawaban atasannya itu. "Apa aku harus memotong kakiku dulu baru aku bisa pensiun?!" gumamnya setengah menggerutu. Belum selesai kalimatnya, Hazen muncul dari arah lain dengan wajah tegang. Melangkah lebar-lebar menghampiri Arthur."Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?" sembur Hazen, mengeratkan rahang menekan suaranya. Dia mendapat kabar jika Arthur mengajukan pengunduran diri.Arthur menghela nafas panjang, "Aku hanya ingin fokus mencari Arta!" hembusnya pelan. Hazen yang ingin marah pun akhirnya hanya bisa menutup kembali mulutnya, ia tampak ingin mengat
Suasana meriah yang sesaat lalu terlihat, berubah menjadi kepanikan, ketika mereka menyadari adanya ancaman bom dari seorang remaja. Yang kini tengah dihadapi oleh Arthur, mencoba bernegosiasi membujuknya memberikan ransel yang diduga berisi peledak di dalamnya."Come here, Kid! Berikan itu padaku!" pinta Arthur seraya perlahan melangkah maju mendekat.Justru remaja yang tampak putus asa itu melangkah mundur. "Mundur! Atau aku tekan!" teriaknya mengacungkan tangannya yang memegang semacam remot kontrol satu tombol, benda itu terhubung dengan kabel ke dalam ransel yang dipeluknya.Melihat itu Arthur semakin waspada, otaknya berpikir cepat. Mencari cara agar bisa melepaskan peledak itu tanpa melukai remaja itu."Oke, aku mundur!" kata Arthur mengacungkan senjatanya dan kemudian meletakkannya ke tanah. Dia lalu mundur dua langkah sembari mengangkat kedua tangannya ke udara."Namaku Arthur, kau bisa berbicara padaku! Siapa namamu?" tanya Arthur."Ri-Riley ...," jawab remaja itu, matanya m
Hazen mendobrak pintu ketika mendengar suara ribut dari kamar mandi. Dia baru saja masuk dan mendapati Arthur tak ada di ranjangnya. Ia berpikir pria itu mungkin sedang berada di kamar mandi, dan memang benar meski kedengarannya sedikit aneh. Maka ia tak berpikir lama saat mendengar suara umpatan dari dalam sana, dan segera menendang pintu itu dengan keras. Pintu terbuka sampai terlepas dari engselnya, dan pemandangan selanjutnya membuat ia melotot kaget. "Arthur!" Pria itu tengah terpojok dengan pisau menghunus lurus ke wajahnya.Gadis yang menyerang itu terkejut ketika pintu di belakangnya terlempar dengan keras. Merasa tenaga gadis itu berkurang, Arthur segera mendorongnya sampai terjengkang.Melihat situasi yang tidak menguntungkan lagi, gadis itu segera bangkit dan berlari secepatnya keluar dari ruangan itu. Hazen yang marah segera bergegas mengejarnya. Dan tanpa sengaja ia bertabrakan dengan Lintang di lorong rumah sakit, sepertinya wanita itu bermaksud menjenguk Arthur."Kau
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari