Hazen berkerut kening ketika melihat Arthur datang bersama Catherine. Dia hendak bertanya, namun Arthur memberi isyarat agar partnernya itu diam.Saat ini mereka sedang berada di rumah presiden. Pria itu juga nampak mengangkat alis melihat putrinya bersama dengan pria yang ditugaskan menjadi pengawal.Tapi sebelum dia bicara Catherine sudah menyelanya."Batalkan pengawal yang ayah rekrut! Aku ingin dia menjadi pengawalku?" tunjuk Catherine pada Arthur.Hazen membuka mulutnya kaget, lalu terlihat menahan tawa. Kini dia paham dengan yang dimaksud oleh Arthur. Presiden pun tampaknya menangkap maksud dari Arthur."Baiklah, jika itu yang kau mau," sahut Tuan Presiden. Lalu menoleh pada Hazen."Hazen, kamu yang bertanggung jawab, sampaikan padanya jika kerjasama kita gagal. Beri dia hadiah dan pulangkan dia kembali ke negara asalnya!" perintahnya."Baik, Tuan!" sahut Hazen.Arthur menunduk menahan tawa, rasanya seperti tengah bermain dengan anak kecil. Sementara Catherine sepertinya tidak c
Arthur terlonjak bangun saat ponselnya berdering. Dilihatnya layar menunjukkan nama Catherine."Oh, sial!" gerutunya sambil beranjak bangun bertelanjang dada. Menyambar kemeja dan jasnya lalu segera berpakaian. "Kenapa?" tanya Hazen dengan nafas masih terengah-engah. Gaun panjangnya sudah luruh di lantai, menyisakan sepasang pakaian dalam berenda dan stoking yang sudah robek karena ditarik oleh Arthur."Kita harus pergi sekarang," kata Arthur memungut gaun Hazen dan menyerahkannya pada gadis itu. "Kita lanjutkan lain kali!" ujarnya seraya mencium kening Hazen sekilas lalu keluar dari kamar.Hazen mendengus dan melempar belati ke arah pintu dengan dongkol. Gairah yang beberapa saat lalu begitu panas langsung padam seketika. "Sialan kau, Kapten!" pekiknya kesal.***Arthur tersenyum simpul melihat Hazen datang dan naik ke mobil. Wajah gadis itu terlihat masam. Dan Arthur tak akan bertanya alasannya apa.Tapi untuk saat ini mereka harus segera pergi bertugas. Arthur pun segera menjala
Arthur menarik bahu pria asing, tepat ketika satu senti lagi dia hendak mencium Hazen. "Hei!" pria itu menoleh dengan wajah berang. Merasa kesenangannya terganggu. Hazen sendiri hanya diam mengulum senyum."Maaf, dia bersamaku, Bung!" kata Arthur memberinya tatapan dingin. Wajah Arthur yang terbilang kokoh dengan rahang tegas, dan penampilan yang mahal membuat pria itu memilih untuk mengalah. Dengan wajah berkerut dongkol dia turun dari kursi dan merelakan tempatnya diambil alih oleh Arthur."I'm sorry, Poor Guy!" ujar Hazen berkedip genit dan melempar cium jauh. Pria itu mendengus seraya mengibaskan tangannya dengan gusar. Hazen tertawa melihat pria itu pergi dengan wajah masam. Ia lalu menoleh ke arah Arthur."Apa?" kekehnya.Arthur menggelengkan kepalanya tak menjawab. Dia lalu duduk dan kembali fokus mengawasi Catherine dari jauh. "Sayangku, jika kau seperti itu, penyamaranmu akan terbongkar hanya dalam waktu beberapa menit saja!" komentar Hazen.Arthur meliriknya, "Benarkah?"
Arthur mendorong Hazen di kursi belakang, merebahkan tubuh gadis itu dengan lembut sementara bibir mereka berpagutan. Menautkan jemari mereka dan Arthur menarik tungkai ramping itu ke atas dan menahannya dengan satu tangan. Sementara bibirnya beralih menyusuri leher jenjang itu, Hazen mendongak memberi ruang sepenuhnya pada Arthur. Jemari lentiknya menyelusup di rambut Arthur yang kini sudah mulai memanjang, tak lagi bertahan dengan potongan rambut satu senti ala militernya.Malam larut dengan hembusan angin darat melaju melewati setiap benda, menggerakkan mereka dan membuatnya melambai mengikuti setiap hembusannya. Udara semakin dingin, namun tak mampu menembus suhu panas di kursi belakang mobil itu. Dimana kacanya sudah berembun menangkap nafas hangat yang berhembus dari setiap desahan kedua sejoli itu. Arthur memeluk Hazen dari belakang, melingkarkan tangannya menutupi dada gadis itu, yang duduk di pangkuannya menyandarkan kepalanya di dada bidang Sang Kapten. Mereka sama-sama te
Kabar kehamilan Lintang juga sampai ke telinga Wira, dia yang sudah bebas dari penjara, dengan jaminan tentunya. Dan hari ini dia datang ke kediaman keluarga Adiwilaga menemui Candra."Aku kesini ingin menanyakan tentang Lintang," ucapnya tersenyum, "dia sedang hamil, bukan?" tanyanya menatap mantan mertuanya itu.Candra dan Yasmin saling pandang. "Apa maksud kamu datang kesini?" tanya Candra, bagaimanapun Wira adalah orang yang terbukti menjadi dalang atas percobaan pembunuhan pada Lintang. Dan entah kenapa dia hanya ditahan beberapa bulan dengan putusan akhir 'tidak terbukti bersalah'."Sebagai mantan suaminya, sepertinya wajar saja jika aku kesini dan menanyakan itu, ... Pah!" jawab Wira mengunci pandangannya."Aku ingin memastikan jika anak yang dikandung Lintang adalah darah dagingku!" ucapnya lagi.Candra mengeraskan rahangnya, "Kita belum tahu, kita harus menunggu sampai bayi itu lahir dan melakukan tes," katanya. Wira berdecih, "Apa yang akan terjadi jika ternyata anak yang
Lintang tengah berjalan-jalan menyusuri pagar balkon luar kamarnya. Menikmati udara pagi dan menyerap sinar matahari dengan kulitnya yang pucat. Tersenyum tipis membalas lambaian para pelayan yang menyapanya di bawah sana.Satu-satunya interaksi yang dia dapatkan selama hampir 9 bulan ini, menjadi hiburan di sela kepenatan dan kelelahannya menjalani kehamilan."Nona," Mira muncul dari dalam dengan membawa sarapan dan juga vitamin.Lintang hanya menatapnya dengan malas, ia sudah muak dengan vitamin. Bahkan rasanya ia tak ingin makan jika tak mengingat saat ini ada nyawa yang harus ia beri nutrisi. "Apa masih harus makan vitamin?" keluhnya, Mira membantunya duduk di kursi. "Kaki Nona bengkak," kata Mira melihat ke kedua kaki Lintang. Lalu matanya naik menatap wajah Nona-nya itu, yang kini tampak kurus dan sayu.Lintang tersenyum tipis, "Nanti juga kempes," ujarnya terkekeh pelan.Mira terdiam. Tawa itu terdengar menyayat hati di telinganya. "Aku sudah mau punya anak, kamu masih meman
Lintang tak mengira jika dia akan melahirkan bayi kembar. Selama ini, dia menolak untuk melakukan USG walaupun Yasmin selalu rutin mendatangkan dokter ke rumah untuk memeriksa kehamilannya.Dan ini menjadi sebuah kejutan untuknya. Kedua putra-putrinya itu seolah menjadi semangat baru dan gairahnya untuk menjalani hidup. Mira tersenyum haru, melihat wajah Lintang yang kini kembali bersinar. Mata cantik itu kini berbinar menatap kedua putra-putrinya. "Mereka cantik dan tampan, Nona, seperti ayah dan ibunya!" pujinya.Lintang terdiam tersenyum sendu."Ya, dia tampan seperti ayahnya," ucapnya tersendat menahan tangis."Nona ....""Mereka putra-putri Arthur, mereka adalah darah dagingnya, mereka buah cinta kami, Mira!" tangisnya pedih."Ayahnya bahkan tidak tahu jika mereka ada!"Mira terpaku mendengarnya, "Nona tidak memberitahu dia?!" tanyanya tak percaya. Lintang menggeleng, "Biarlah, aku tidak ingin mengganggunya, aku tidak mau membebani pikirannya!" ucapnya lirih."Nona ...," desah
Lintang berteriak histeris ketika bayi-bayinya dibawa pergi oleh suster atas perintah Yasmin. "Kalian tidak punya hati! Biadab! Kembalikan anak-anakku!" jeritnya menangis kencang.Mira juga ikut menangis dan merasa ngilu dengan kondisi Lintang. Perempuan itu bahkan baru beberapa hari mendapat tindakan kedua untuk luka sesarnya. Namun Yasmin sendiri seolah tak peduli dengan semua itu. Wanita itu terobsesi memastikan keturunan asli dari bayi-bayi merah itu. "Sabar, Nona! Luka Anda masih berdarah!" ucap Mira memeluk Lintang yang memberontak ingin turun dan mengejar keluar dari kamar."Kenapa mereka jahat sekali, Mira? Kenapa?!" ratap Lintang di bahu Mira. Air matanya jatuh berderai.Mira hanya mampu terdiam, memeluk wanita itu. Hanya bahunya saja yang mampu dia berikan, sekedar menjadi tempat Lintang bersandar dan menangis. Di saat tidak ada seorangpun yang menemaninya melewati derita dari keluarganya sendiri."Arthur ... Kapten-ku! Dimana kamu?" raung Lintang.Semua luka dan kesakitan
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari