Mira terkejut begitu melihat siapa wanita itu, tak lain adalah temannya dulu sesama pelayan di rumah Adiwilaga. Hanya saja sekarang dia berubah, kelihatan sedikit lebih tua dengan pakaian yang lusuh dan seadanya."Mira!" ucap Rani tak kalah terkejut dan dia terlihat gugup dan menarik anaknya untuk mendekat padanya. Seolah melindunginya dari pandangan Mira. Mira memperhatikan temannya itu, sepertinya dia sudah menikah dan punya anak. "Dia anak kamu?" tanya Mira, sedikit canggung. Padahal dia ingin sekali memeluk temannya itu melepas rindu karena sejak 5 tahun lalu Rani tiba-tiba saja menghilang dari rumah Adiwilaga.Rani mengangguk tanpa berani melihat ke arah Mira, dia terlihat tidak tenang. "Dia siapa, Ibu?" tanya anak itu mengintip dari balik tubuh Rani.Mira menunduk dan melihatnya, dia mencondongkan tubuhnya dan tersenyum."Halo, aku teman lama ibu kamu, namanya siapa?" tanya ramah. Namun dia tertegun ketika melihat mata anak itu."Aku-""Namanya Tari!" potong Rani cepat, anak
Mira kembali pada Candra yang menunggunya di dalam mobil, lelaki tua itu tampak sumringah begitu melihat Mira datang."Sudah kamu kasih?" tanyanya terlihat tak sabar, ketika gadis itu masuk ke dalam mobil.Mira mengangguk, "Sudah, Tuan, dia mengucapkan terimakasih!" jawabnya tersenyum.Candra terlihat lega mendengarnya, "Syukurlah! Aku terbayang terus wajah sedih anak itu," kekehnya pelan.Mira sendiri tertegun, dia juga merasakan hal yang sama. Dia bisa saja berspekulasi sembarangan, tapi masa sih?!Sudah jelas-jelas jika Layla dimakamkan di halaman belakang rumah Adiwilaga, bukan?Candra pun memerintahkan sopir untuk membawa mereka pergi dari situ dan pulang ke rumah. Wajahnya terlihat bersemangat sekali, tak peduli berapa uang yang dia habiskan barusan hanya untuk membeli keperluan Arta dan mainan saja. Dia benar-benar ingin menyambut cucunya itu dengan sebaik-baiknya, bahkan seandainya Arta menginginkan mainan lain, sepertinya dia tidak akan segan memborong semua isi toko tadi."K
Rani merasa dia tengah bermimpi saat ini, bisa kembali ke rumah Adiwilaga. Dipeluknya Layla dengan penuh haru tapi dia tidak boleh menangis dan membuat semua orang curiga."Ini kamar kalian, aku sudah menyiapkan semuanya termasuk kasur untuk Tari," kata Mira tersenyum, tak sabar menunggu reaksi Rani dan juga Tari.Dan benar saja ketika dia membuka pintu kamar itu, Tari memekik gembira melihat kamar yang akan dia tempati dengan ibunya, bernuansa lembut dengan warna cat pink dan biru muda favoritnya."Lihat! Itu Putri Sofia!" teriaknya gembira menunjuk lemari pakaian khusus untuk dia sendiri.Tari melepaskan diri dari Rani dan berlari memasuki kamar dengan riang. Anak itu melompat-lompat dengan gembira di atas tempat tidur.Rani tersenyum sendu melihatnya, merasa miris dan juga hatinya terasa sakit karena seharusnya Layla mendapatkan semua fasilitas yang lebih mewah itu dari kakeknya."Hati-hati, Tari, nanti kamu jatuh!" tegur Rani.Tari terkekeh, dia lalu menjatuhkan diri dan berbaring
Candra terlihat gelisah menerima kabar dari Lintang jika mereka mendapat teror dari Wira. Dan mereka secepatnya akan pulang lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan."Ada apa, Tuan?" tanya Mira melihat Candra begitu tidak tenang."Mereka akan pulang secepatnya, ada kejadian teror dari Wira!" jawab Candra dengan dahi berkerut dalam.Saat itu Rani yang sedang melakukan tugasnya di dekat mereka, seketika tertegun dan menoleh cepat ke arah Candra."Maksud Anda, Tuan Wira?" tanya Mira terlihat sekali jika temannya itu pun memasang wajah penuh kekhawatiran.Candra mengangguk, "Ya, aku harus menyiapkan semuanya dan memastikan semuanya aman begitu mereka tiba di sini!"Mira pun mengangguk lalu mengikuti Candra secepatnya menuju ke ruang kerjanya.Sementara itu, Rani yang mendengar pembicaraan itu pucat seketika. Jantungnya serasa berhenti dan tubuhnya terasa lemas."Apa dia benar-benar masih mengincar kami? Bahkan dia mengejar Nona Lintang ke luar negeri!" Rani pun teringat pada Layla, d
Oleh karena memikirkan Arta, Candra tidak bisa tenang selagi menunggu kedatangan cucunya itu. Dia mengerahkan semua anak buahnya demi keamanan mereka sejak dari bandara nanti sampai ke rumah. Dan semua kesibukan itu membuatnya abai akan kesehatan dan jam istirahatnya.Seperti sore itu, Candra hendak berdiri dari kursinya namun mendadak kepalanya pusing serta dadanya terasa sakit. Dia pun limbung dan kembali jatuh terduduk di kursinya."Tuan Candra!" seru Layla yang kaget melihat pria tua itu tampak menahan sakit.Candra yang tengah mengatur nafas sembari memegangi dadanya membuka mata dan mendapati Layla berdiri di hadapannya dengan wajah khawatir."Tari," ucap Candra dengan nafas terengah."Tuan kenapa? Apa Tuan sakit? Apa perlu aku panggilkan Ibu?" tanya Layla.Antara menahan sakit dan juga merasa lucu melihat wajah Layla, Candra pun tersenyum."Ya, tolong panggilkan entah itu ibumu ataupun pelayan yang lain," pinta Candra.Layla pun mengangguk, dia melesat ke ruangan belakang menca
Hari ini adalah kedatangan Arthur dan Lintang, Candra pun terlihat sibuk dan bersiap untuk menyambut anak cucu dan menantunya itu."Aku akan ke bandara menjemput mereka, kalian bersiaplah di sini!" perintah Candra pada Rani dan juga pelayan yang lainnya."Baik, Tuan!" sahut mereka semua.Candra pun segera pergi, Mira sejenak menoleh pada Rani sebelum kemudian mengikuti majikannya itu.Rani terdiam menatap kepergian mereka, dia lalu menoleh pada Layla yang berdiri di sampingnya.Orang tuamu akan segera datang, ucap Rani dalam hati.Hatinya terasa sedih mengingat jika Layla akan bertemu dengan Arthur dan Lintang dan dia memikirkan apa mereka akan mengenali putrinya itu atau tidak."Ibu kenapa sedih?" tanya Layla mengguncang tangan Rani.Rani lalu merendahkan tubuhnya sejajar dengan Layla."Tidak, Sayang. Sekarang mari kita siap-siap, sebentar lagi Tuan Arta kecil akan datang!" katanya.Mata Layla pun membulat sempurna, membuat Rani tertegun melihatnya. Dia pernah melihat foto masa kecil
Lintang tidak bisa memalingkan pandangannya dari wajah Layla, ada sesuatu yang tidak bisa dia mengerti yang bergumul dan menyesakkan dada.Layla mendongak menatap mereka."Selamat datang Tuan dan Nyonya," ucap Layla sambil mengangguk hormat pada Lintang dan juga Arthur.Semua yang ada di situ sejenak terdiam seolah terpukau dengan kesopanan Layla. "Ya, terima kasih, Nak. Kamu sangat sopan!" kata Arthur tersenyum sembari mengusap kepala Layla yang tersenyum membalasnya.Layla kemudian menoleh ke arah Lintang dan wanita itu seolah tersadar dari lamunan lalu tersenyum dengan gugup."Kamu manis sekali, Sayang!" puji Lintang."Terima kasih banyak, Nyonya!" balas Layla."Baiklah, mungkin sebaiknya kalian berkenalan," kata Candra melambai ke arah Arta."Arg--ah! Maksudku Raffa!" Candra hampir kelepasan bicara memanggil Raffa dengan nama aslinya.Lintang dan Arthur pun menelan saliva mendengarnya."Ini Tari, kalian mungkin bisa menjadi teman bermain selama di sini!" kata Candra tersenyum.Ar
Mira menatap Rani lekat-lekat, berharap dia mendapatkan jawaban sesuai keinginannya."Apa yang kamu mau dengar, Mira? Tari adalah anakku!" kata Rani."Kamu pikir aku tuli, Ran?" geram Mira."Aku dengar dengan jelas Tari menyebut namanya sendiri dengan nama Layla!" katanya mengguncang bahu Rani."Bukankah ini tidak kebetulan jika usia Tari pun bahkan sama dengan Tuan Arta, sementara saat kelahiran mereka, kamu bahkan masih bersamaku dan memegang mereka saat bayi!" tegas Mira menekan suaranya."Tolong jangan menyangkal, Rani! Ini semua menyangkut masa depan Layla juga, dia harus tahu orang tuanya Tuan Arthur dan Nona Lintang, juga tuan Candra harus tahu jika Layla masih hidup!"Mendengar itu Rani pun tergugu dia membekap mulutnya menahan tangis."Aku menyayangi dia, Mira, dia sudah seperti anakku sendiri!" ungkapnya menangis.Mira pun terjajar ke belakang, jantungnya seolah berhenti mendengar pengakuan Rani, dia menatap temannya itu dengan rasa tak percaya."Jadi benar dia adalah Layla
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari