Setelah percakapan penuh emosi itu, Arjun memutuskan untuk tinggal sementara di kota kecil itu, mencoba membuktikan niat baiknya. Ia tidak memaksa Olivia, tetapi berusaha hadir dalam hidupnya dengan cara yang pelan-pelan menyentuh hatinya kembali. Hari itu, Arjun mengundang Olivia untuk makan malam. Olivia ragu pada awalnya, namun akhirnya setuju. Mereka duduk di restoran kecil di tepi pantai, suasana tenang dengan lampu-lampu temaram yang membuat segalanya terasa hangat. Arjun tidak bisa menyembunyikan tatapan lembutnya setiap kali melihat Olivia. “Aku ingat waktu pertama kita bertemu,” kata Arjun, memulai percakapan dengan senyum tipis. "Aku masih ingat bagaimana kau memandangku dengan tatapan tajam, tapi di saat yang sama kau begitu memikat." Olivia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaannya. “Dan kau begitu arogan waktu itu,” jawabnya, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap biasa saja. Arjun tertawa kecil, lalu mengangguk. “Ya, aku tahu. Aku menyesal telah menya
Arjun menggenggam tangan Olivia erat, menatap matanya penuh keyakinan. “Aku sudah memikirkan ini, Liv. Aku ingin kita segera menikah. Aku tidak ingin menunda lagi.” Olivia tersentak, ekspresi tak percaya tergambar jelas di wajahnya. "Arjun, kamu serius?" Arjun mengangguk mantap. "Aku sangat serius. Aku ingin memberitahukan rencana pernikahan kita pada keluargaku secepatnya. Aku ingin mereka tahu bahwa kamu adalah pilihanku, satu-satunya." Olivia terdiam sejenak, menatap Arjun dengan campuran perasaan haru dan bahagia. “Aku... aku tidak pernah menyangka kamu akan benar-benar ingin membawa hubungan ini ke pernikahan, Arjun. Setelah semua yang terjadi…” Arjun tersenyum lembut, jari-jarinya mengusap pipi Olivia dengan penuh kasih. “Yang penting adalah apa yang kita inginkan sekarang, bukan masa lalu. Kamu dan anak kita adalah masa depanku, Liv. Aku ingin kita resmi menjadi keluarga.” Olivia terisak kecil, matanya mulai berkaca-kaca. “Kamu tidak tahu betapa bahagianya aku mendeng
Olivia meneguk jus buahnya perlahan, menikmati kesegaran yang membasahi tenggorokannya. Di sekelilingnya, suasana semakin akrab. Arjun duduk di sampingnya, sesekali meremas tangan Olivia dengan lembut, seolah memastikan kehadiran wanita yang dicintainya itu nyata. Papa Arjun yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Olivia, aku mengerti banyak hal telah terjadi di antara kita. Tapi aku berharap, mulai sekarang semuanya bisa berubah menjadi lebih baik. Demi Arjun, dirimu, dan... cucu kami." Olivia terdiam sejenak, menatap Papa Arjun dengan mata yang berkaca-kaca. "Saya mengerti, Pa. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik untuk keluarga ini dan untuk masa depan anak kami." Mama Arjun menyentuh lengan Olivia dengan lembut, memperkuat pesan suaminya. "Kami hanya ingin melihat Arjun bahagia, dan dari apa yang kami lihat sekarang, kamu juga membawanya kebahagiaan itu. Jangan pikirkan yang sudah-sudah, mari kita mulai lembaran baru." Arjun mengangguk pelan, menatap kedua orang
Olivia duduk di sofa ruang tamu, tangannya mengusap lembut perut buncitnya yang semakin terlihat. Arjun duduk di sampingnya, merangkul pundaknya dengan penuh perhatian. Di seberang ruangan, mama Arjun tampak sibuk berdiskusi dengan para staf rumah tentang dekorasi, makanan, dan musik untuk pesta pernikahan yang akan digelar. “Aku tidak percaya, hanya tinggal beberapa hari lagi,” bisik Arjun sambil menatap Olivia dengan tatapan lembut. Matanya berbinar penuh kasih dan rasa syukur. Olivia tersenyum, meski ada sedikit kelelahan di wajahnya. “Ya, rasanya semua berjalan begitu cepat. Aku bahkan tak menyangka akan berada di sini, merencanakan pernikahan denganmu,” ujarnya, suaranya bergetar pelan. Arjun menggenggam tangan Olivia erat. “Ini nyata, Liv. Dan aku ingin memastikan semuanya sempurna untukmu dan bayi kita,” katanya tegas. Olivia tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. “Asal kita bersama, aku yakin semua akan baik-baik saja, Jun.” Mama Arjun melirik ke arah mereka b
Upacara berlangsung dengan khidmat, diiringi oleh alunan musik lembut yang mengisi seluruh ruangan. Beberapa tamu sudah menitikkan air mata haru, termasuk mama Arjun yang sesekali menghapus sudut matanya dengan saputangan putih. Arjun berdiri tegap di sisi Olivia, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari wanita itu. Dia menyampaikan setiap kata dengan ketulusan yang mencerminkan cinta dan komitmennya. “Olivia, sejak hari pertama kita bertemu, aku tak pernah menyangka akan sampai di titik ini. Kau mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya, kau membuatku berani melawan rasa takut dan keraguan. Mulai hari ini, aku berjanji akan selalu melindungimu, menjagamu, dan mencintaimu tanpa syarat,” ucap Arjun dengan suara bergetar, matanya lurus menatap Olivia yang tampak menahan air mata. Olivia menghela napas, merasakan detak jantungnya berdegup cepat. Dia menatap Arjun dengan mata yang berbinar penuh emosi. “Arjun, kau adalah satu-satunya yang mengerti luka dan perihku, kau yang teta
Arjun menatap Olivia yang berdiri di sampingnya. Wajahnya terlihat lelah namun berseri-seri. Sentuhan angin lembut menggoyangkan helai rambutnya yang jatuh di sekitar wajah. Arjun mendekat dan membenarkan rambut itu di belakang telinga Olivia. "Terima kasih sudah ada di sisiku, Olivia," ucap Arjun dengan suara dalam yang dipenuhi perasaan. Dia menggenggam tangan Olivia dengan erat. "Aku tahu perjalanan kita tidak mudah. Tapi, aku berjanji akan selalu ada untukmu dan anak kita." Olivia menatap Arjun dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan hangat yang menjalar di dalam dadanya. Selama ini, ia pikir kekuatan dan keteguhan hati yang ia miliki cukup untuk melindungi dirinya sendiri, namun bersama Arjun, ia merasa aman dengan cara yang tak pernah ia duga. “Aku juga berterima kasih, Arjun,” jawab Olivia dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku tahu awalnya aku salah, banyak hal yang kulakukan karena rasa sakit dan kemarahan. Tapi, kau tetap di sini, mencintaiku dengan segala keburukanku
Namun, di tempat lain, Elvira duduk di ruang tamu apartemennya yang suram. Wajahnya dipenuhi amarah yang mendidih di dalam hatinya. Ia memandangi foto Arjun di ponselnya, senyum mantan suaminya terasa seperti ejekan yang tak henti-henti mengganggu pikirannya. Di tangannya, secarik kertas dengan informasi yang baru saja ia dapatkan dari seseorang yang ia bayar mahal. “Olivia... kau pikir kau menang?” gumamnya, nada suaranya penuh kebencian. Ia menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah, menggenggam kertas itu erat seolah bisa menghancurkan lawannya hanya dengan kekuatan genggamannya. Ponselnya berbunyi, menampilkan nama seorang pria yang telah lama menjadi sekutunya dalam bayang-bayang. Dengan senyum miring, Elvira mengangkat panggilan itu. “Sudah kudapatkan semua yang kau minta, Elvira,” kata suara pria itu dari seberang. “Ini akan menghancurkan reputasinya habis-habisan.” “Bagus,” Elvira menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang melaju cepat. “Kirimkan
Setelah beberapa saat terdiam, Olivia mengatur napasnya, berusaha mengontrol emosinya yang meluap setelah mendengar pernyataan Elvira. Suasana di ruang kerjanya terasa berat, dan pikirannya mulai mengembara pada segala hal yang telah terjadi. “Aku tahu kamu marah, Arjun,” kata Olivia dengan suara lebih tenang namun penuh makna. “Tapi kita tidak bisa membiarkan semua ini merusak apa yang sudah kita bangun bersama. Kita harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.” Arjun, yang berada di sisi lain telepon, terdiam sejenak. Bisa terdengar bagaimana nafasnya tertahan, seolah berat untuk mengatakan apa-apa lebih lanjut. “Aku tidak pernah menyangka akan sampai seperti ini,” ucapnya, suara penuh penyesalan. “Dia… dia yang dulu aku anggap sebagai pasangan hidupku, kini semua ini hancur karena wanita itu.” Olivia bisa merasakan emosi Arjun yang meluap, dan meskipun dia tahu betapa sulitnya keadaan ini, dia tetap berusaha memberikan dukungan. “Kamu tidak sendirian, Arjun. Aku ada di
Arjun berdiri di balkon kamarnya, matanya menatap gelapnya malam. Pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan amarah. Ia tidak bisa membiarkan ancaman dari Elvira terus menghantui keluarganya. Olivia, yang sedang berada di kamar bayi bersama Regan, berjalan mendekat setelah melihat suaminya belum tidur. “Arjun,” panggil Olivia lembut sambil mendekati suaminya. “Kamu belum tidur?” Arjun menoleh, menarik Olivia ke dalam pelukannya. “Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan semua ini, Olivia. Ancaman dari Elvira dan bagaimana aku harus memastikan kamu dan Regan aman.” Olivia mendongak menatapnya. “Kamu tidak sendirian. Aku di sini bersamamu. Jangan bebani dirimu sendiri terlalu berat.” Arjun mengusap pipi Olivia, senyumnya tipis namun penuh rasa sayang. “Aku tidak akan tenang sampai semuanya selesai. Aku sudah memutuskan untuk bertindak lebih tegas. Aku akan menggunakan semua koneksi dan kekuatanku untuk menghentikan Elvira. Kali ini, tidak ada ruang untuk kompromi.” Olivia mengangguk,
Beberapa hari kemudian, suasana di mansion Arjun perlahan kembali tenang setelah Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Arjun sangat protektif terhadap istrinya yang masih dalam masa pemulihan. Ia bahkan langsung memanggil seorang pengasuh berpengalaman untuk membantu Olivia merawat bayi mereka, Regan. "Bu Nia, saya percaya pada Anda untuk membantu Olivia," ucap Arjun tegas saat berbicara dengan pengasuh yang baru tiba di ruang keluarga. "Tugas Anda bukan hanya mengurus Regan, tetapi juga memastikan Olivia tidak terlalu lelah." Bu Nia mengangguk hormat. "Baik, Pak Arjun. Saya akan lakukan yang terbaik." Olivia yang duduk di sofa dengan Regan dalam pelukannya menghela napas panjang. "Aku masih bisa mengurusnya sendiri, Arjun. Aku hanya butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Arjun mendekat, menatapnya lembut sambil berlutut di hadapan istrinya. "Kamu baru saja melalui banyak hal, sayang. Biarkan aku meringankan bebanmu. Regan butuh ibunya sehat, dan aku butuh istriku kembal
Keesokan harinya, Olivia sudah diperbolehkan duduk di sofa kamar rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi senyum kecil di wajahnya mulai kembali. Di meja kecil di hadapannya, ada sepiring buah segar yang sudah dikupas rapi oleh Mama Arjun. Arjun masuk ke kamar dengan membawa Regan yang terlihat ceria. Si kecil tampak menggeliat di gendongan ayahnya, matanya yang bulat menatap ke arah Olivia. “Lihat siapa yang kangen sama mamanya,” kata Arjun dengan senyum lebar, mendekatkan Regan ke Olivia. Olivia langsung mengulurkan tangan, meski perlahan. “Sini, Mama mau peluk.” Arjun duduk di samping Olivia dan menyerahkan Regan ke pangkuannya. Si kecil langsung menggeliat nyaman di dekapan Olivia. Tatapan Olivia melembut, dan air matanya hampir jatuh lagi. “Mama kangen sekali, Nak,” bisiknya sambil mencium kening Regan. “Pelan-pelan, Liv,” ujar Arjun, tangannya menahan punggung Olivia agar tidak terlalu condong. “Kamu masih perlu istirahat.” “Aku baik-baik saja, Jun. Melihat Regan su
Arjun masih setia duduk di samping tempat tidur Olivia. Di luar jendela, cahaya pagi mulai menyelinap masuk, menandakan dimulainya hari baru. Olivia masih tertidur dengan tenang, napasnya teratur, sementara Arjun tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari jemari sang istri. Setiap detik ia menghabiskan waktu memandangi wajah pucat Olivia, semakin kuat tekadnya untuk melindungi perempuan itu. Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Mama Arjun muncul dengan membawa sebuah keranjang berisi makanan dan beberapa buah tangan. Di belakangnya, Papa Arjun mengikuti dengan langkah tenang. “Jun?” Mama Arjun memanggil pelan. “Kamu sudah sarapan?” Arjun menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Ma. Saya nggak mau jauh dari Olivia.” Mama Arjun menghela napas panjang, mendekat ke sisi Arjun lalu menepuk pundaknya lembut. “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang jaga Olivia dan Regan?” “Aku tahu, Ma, tapi…” Arjun menggantungkan kalimatnya. Matanya kembali menatap wajah
Beberapa jam setelah Olivia sadar, kabar baik itu langsung menyebar di keluarga Arjun. Mama dan papa Arjun datang lebih dulu dengan wajah penuh kekhawatiran, namun raut lega terpancar jelas begitu melihat Olivia sudah mulai bisa berbicara meski masih lemah. Regan digendong oleh mama Arjun, bayi mungil itu tampak tenang sekarang, seakan tahu bahwa ibunya sudah kembali. “Olivia, nak…” suara lembut mama Arjun memecah keheningan. Ia mendekat sambil membawa Regan dalam gendongannya. “Syukurlah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir sekali.” Olivia menatap mama Arjun dengan mata berkaca-kaca. “Maaf… membuat semuanya khawatir…” suaranya masih serak, namun penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Nak,” sahut papa Arjun dari belakang dengan suara berat. “Yang penting kamu sudah sadar. Kamu harus cepat pulih demi bayi kecil ini.” Arjun, yang sejak tadi tak lepas dari sisi tempat tidur, mengelus lembut rambut istrinya. “Regan sudah menunggu lama, Liv. Lihat dia…” ujarnya sambil menatap putra mereka
Arjun duduk di samping ranjang rumah sakit, jemarinya menggenggam erat tangan Olivia yang terbaring lemah. Wajahnya tampak pucat, pandangannya terpaku pada wajah istrinya yang masih terpejam. Napasnya terasa berat, seolah beban di dadanya tak kunjung reda. "Olivia..." bisik Arjun pelan, suaranya serak menahan emosi. Ia meremas tangan itu lebih lembut, seakan berharap Olivia bisa merasakan sentuhannya. "Bangunlah, sayang. Jangan diam seperti ini... Aku ada di sini." Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Arjun mengusap wajahnya dengan tangan yang bebas, frustrasi. "Kenapa ini harus terjadi padamu?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tatapan matanya kini berkabut, menyimpan kemarahan yang ia pendam. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Mama Arjun masuk bersama seorang dokter. Wanita paruh baya itu mendekat, air mata tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Arjun... bagaimana keadaan Olivia?" tanyanya sambil mendekati sisi ranjang.
Olivia menatap wajah Arjun yang dipenuhi kecemasan. Pandangan matanya mulai kabur, tubuhnya terasa semakin lemah, dan suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh. Detak jantungnya terasa berat, nafasnya mulai tersengal-sengal. “Arjun...” suaranya hampir seperti bisikan, tangannya berusaha meraih lengan pria itu, tetapi kekuatannya mulai menghilang. “Regan... jaga Regan...” “Tidak, Olivia! Tetap bersamaku!” Arjun menggenggam tangan Olivia erat, suaranya bergetar penuh kepanikan. “Kamu harus bertahan! Ambulans akan segera datang. Tolong, jangan tinggalkan aku!” Olivia tersenyum tipis, meskipun wajahnya sudah mulai pucat. “Aku... aku minta maaf, Arjun... untuk semuanya...” Suara itu semakin pelan, nyaris tenggelam oleh suara tangisan Regan yang terus menggema di udara. Matanya perlahan-lahan tertutup, kelopak matanya terasa begitu berat. “Olivia!” Arjun berteriak, mengguncang tubuh istrinya dengan panik. “Tolong, buka matamu! Jangan seperti ini...! Olivia!” Orang-orang di
Siang berganti sore, kehangatan di rumah Arjun masih terasa. Semua orang menikmati kebersamaan, bercerita, tertawa, dan menikmati camilan yang telah disiapkan. Regan yang telah cukup lama bergilir di pelukan semua orang akhirnya kembali ke pelukan Olivia, tidur dengan nyenyak di dekapan ibunya. Di sudut ruangan, Arjun duduk bersama ayahnya, berbincang sambil sesekali melirik ke arah Olivia. Sorot matanya penuh cinta, seperti tak percaya bahwa mereka akhirnya sampai di titik ini—bersama, bahagia, dan lengkap sebagai sebuah keluarga. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” kata ayah Arjun, suaranya penuh kebanggaan. “Aku tahu perjalananmu bersama Olivia tidak mudah, tapi lihatlah sekarang. Kalian berhasil melewati semuanya.” Arjun tersenyum kecil, mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan Olivia dan Regan bahagia, Ayah. Aku sadar, banyak kesalahan yang terjadi di masa lalu, tapi aku benar-benar mencintai mereka.” Ayahnya menepuk bahu Arjun, matanya berkaca-kaca. “Itulah yang pen
Satu bulan kemudian, udara pagi yang cerah menyelimuti rumah Arjun dan Olivia. Pagi itu terasa berbeda, penuh harapan dan kebahagiaan yang mengisi setiap sudut rumah. Olivia, yang kini telah memasuki fase terakhir kehamilannya, duduk di tepi ranjang dengan tangan memegang perut buncitnya, menatap Arjun yang sedang bersiap untuk pergi ke kantor. “Kamu benar-benar yakin bisa pergi hari ini?” tanya Olivia, suara lembutnya terdengar penuh kekhawatiran. “Aku merasa perut ini semakin sering sakit.” Arjun tersenyum sambil menatap Olivia, menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Tenang saja, sayang. Aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan di rumah tepat waktu. Jika sesuatu terjadi, kamu bisa menghubungiku kapan saja.” Olivia menggenggam tangan Arjun, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya merasa begitu... cemas.” “Jangan khawatir,” jawab Arjun lembut. “Kamu akan baik-baik saja. Kita akan bersama-sama melewati ini, Olivia. Kita sudah mel