Olivia duduk di sofa ruang tamu, tangannya mengusap lembut perut buncitnya yang semakin terlihat. Arjun duduk di sampingnya, merangkul pundaknya dengan penuh perhatian. Di seberang ruangan, mama Arjun tampak sibuk berdiskusi dengan para staf rumah tentang dekorasi, makanan, dan musik untuk pesta pernikahan yang akan digelar. “Aku tidak percaya, hanya tinggal beberapa hari lagi,” bisik Arjun sambil menatap Olivia dengan tatapan lembut. Matanya berbinar penuh kasih dan rasa syukur. Olivia tersenyum, meski ada sedikit kelelahan di wajahnya. “Ya, rasanya semua berjalan begitu cepat. Aku bahkan tak menyangka akan berada di sini, merencanakan pernikahan denganmu,” ujarnya, suaranya bergetar pelan. Arjun menggenggam tangan Olivia erat. “Ini nyata, Liv. Dan aku ingin memastikan semuanya sempurna untukmu dan bayi kita,” katanya tegas. Olivia tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. “Asal kita bersama, aku yakin semua akan baik-baik saja, Jun.” Mama Arjun melirik ke arah mereka b
Upacara berlangsung dengan khidmat, diiringi oleh alunan musik lembut yang mengisi seluruh ruangan. Beberapa tamu sudah menitikkan air mata haru, termasuk mama Arjun yang sesekali menghapus sudut matanya dengan saputangan putih. Arjun berdiri tegap di sisi Olivia, tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari wanita itu. Dia menyampaikan setiap kata dengan ketulusan yang mencerminkan cinta dan komitmennya. “Olivia, sejak hari pertama kita bertemu, aku tak pernah menyangka akan sampai di titik ini. Kau mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya, kau membuatku berani melawan rasa takut dan keraguan. Mulai hari ini, aku berjanji akan selalu melindungimu, menjagamu, dan mencintaimu tanpa syarat,” ucap Arjun dengan suara bergetar, matanya lurus menatap Olivia yang tampak menahan air mata. Olivia menghela napas, merasakan detak jantungnya berdegup cepat. Dia menatap Arjun dengan mata yang berbinar penuh emosi. “Arjun, kau adalah satu-satunya yang mengerti luka dan perihku, kau yang teta
Arjun menatap Olivia yang berdiri di sampingnya. Wajahnya terlihat lelah namun berseri-seri. Sentuhan angin lembut menggoyangkan helai rambutnya yang jatuh di sekitar wajah. Arjun mendekat dan membenarkan rambut itu di belakang telinga Olivia. "Terima kasih sudah ada di sisiku, Olivia," ucap Arjun dengan suara dalam yang dipenuhi perasaan. Dia menggenggam tangan Olivia dengan erat. "Aku tahu perjalanan kita tidak mudah. Tapi, aku berjanji akan selalu ada untukmu dan anak kita." Olivia menatap Arjun dengan mata berkaca-kaca. Ada perasaan hangat yang menjalar di dalam dadanya. Selama ini, ia pikir kekuatan dan keteguhan hati yang ia miliki cukup untuk melindungi dirinya sendiri, namun bersama Arjun, ia merasa aman dengan cara yang tak pernah ia duga. “Aku juga berterima kasih, Arjun,” jawab Olivia dengan suara yang sedikit bergetar. “Aku tahu awalnya aku salah, banyak hal yang kulakukan karena rasa sakit dan kemarahan. Tapi, kau tetap di sini, mencintaiku dengan segala keburukanku
Namun, di tempat lain, Elvira duduk di ruang tamu apartemennya yang suram. Wajahnya dipenuhi amarah yang mendidih di dalam hatinya. Ia memandangi foto Arjun di ponselnya, senyum mantan suaminya terasa seperti ejekan yang tak henti-henti mengganggu pikirannya. Di tangannya, secarik kertas dengan informasi yang baru saja ia dapatkan dari seseorang yang ia bayar mahal. “Olivia... kau pikir kau menang?” gumamnya, nada suaranya penuh kebencian. Ia menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah, menggenggam kertas itu erat seolah bisa menghancurkan lawannya hanya dengan kekuatan genggamannya. Ponselnya berbunyi, menampilkan nama seorang pria yang telah lama menjadi sekutunya dalam bayang-bayang. Dengan senyum miring, Elvira mengangkat panggilan itu. “Sudah kudapatkan semua yang kau minta, Elvira,” kata suara pria itu dari seberang. “Ini akan menghancurkan reputasinya habis-habisan.” “Bagus,” Elvira menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang melaju cepat. “Kirimkan
Setelah beberapa saat terdiam, Olivia mengatur napasnya, berusaha mengontrol emosinya yang meluap setelah mendengar pernyataan Elvira. Suasana di ruang kerjanya terasa berat, dan pikirannya mulai mengembara pada segala hal yang telah terjadi. “Aku tahu kamu marah, Arjun,” kata Olivia dengan suara lebih tenang namun penuh makna. “Tapi kita tidak bisa membiarkan semua ini merusak apa yang sudah kita bangun bersama. Kita harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.” Arjun, yang berada di sisi lain telepon, terdiam sejenak. Bisa terdengar bagaimana nafasnya tertahan, seolah berat untuk mengatakan apa-apa lebih lanjut. “Aku tidak pernah menyangka akan sampai seperti ini,” ucapnya, suara penuh penyesalan. “Dia… dia yang dulu aku anggap sebagai pasangan hidupku, kini semua ini hancur karena wanita itu.” Olivia bisa merasakan emosi Arjun yang meluap, dan meskipun dia tahu betapa sulitnya keadaan ini, dia tetap berusaha memberikan dukungan. “Kamu tidak sendirian, Arjun. Aku ada di
Di sisi lain, Elvira menonton video klarifikasi Arjun dengan wajah tegang. Tangannya gemetar saat memegang ponselnya, dan mata tajamnya menyipit penuh amarah. Suara Arjun yang tegas dalam video itu terasa seperti tamparan keras baginya, menegaskan bahwa ia telah kehilangan kendali atas narasi yang selama ini ia kuasai. “Beraninya dia,” desis Elvira dengan suara rendah namun penuh kemarahan. Ia melemparkan ponselnya ke atas sofa dan berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang luas dan mewah. Di sekitarnya, segala sesuatu terlihat sempurna, tetapi hatinya penuh kekacauan. “Arjun tak bisa lolos begitu saja, dan Olivia...” Elvira mengepalkan tangannya, ingatan tentang penghinaan yang ia terima di depan semua orang membuat darahnya mendidih. “Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia. Kalian pikir kalian sudah menang? Tidak semudah itu.” Ia segera meraih telepon lain di meja dan menekan nomor yang sudah dihafalnya. Suara seorang pria menjawab dari seberang sana. “Kau masih
Arjun menatap Olivia dengan intensitas yang dalam, matanya seolah ingin menyampaikan semua yang ada di hatinya tanpa kata. Dia mengangkat tangan, menyentuh wajah Olivia yang sembab, ibu jarinya menyapu lembut sisa air mata yang masih mengalir di pipinya. "Olivia," suaranya terdengar rendah, namun sarat emosi. "Kamu adalah istriku. Wanita yang kupilih untuk hidup bersamaku, untuk menjadi ibu dari anakku. Aku tahu masa lalu kita tidak sempurna, tapi aku juga tahu kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik ke depan." Olivia menggigit bibirnya, merasa hati kecilnya mencelos mendengar kata-kata itu. "Tapi, Arjun... aku menyakitimu. Aku... aku memanfaatkanmu. Bagaimana bisa kau tetap mencintaiku setelah semua itu?" Arjun tersenyum tipis, senyuman yang penuh luka namun juga kejujuran. "Karena aku tahu kamu lebih dari sekadar kesalahan itu. Aku tahu, Olivia, bahwa di balik dendammu, ada hati yang terluka. Dan di balik semuanya, aku melihat kebaikanmu. Kamu mencintai dengan cara yang
Di sisi lain, Elvira duduk di meja kerja kecil di apartemennya yang kini jauh dari kemewahan mansion yang dulu ia tinggali bersama Arjun. Pandangannya tajam menatap layar laptop di depannya, sementara tangannya sibuk mengetik pesan-pesan singkat yang ia kirim ke beberapa kenalannya. Elvira bukan tipe wanita yang menyerah begitu saja. “Arjun mungkin mengira dia sudah menang,” gumamnya dengan senyum sinis. “Tapi dia lupa siapa aku. Aku nggak akan berhenti sampai semuanya hancur, termasuk dia dan Olivia.” Dia membuka folder di laptopnya, di mana ada beberapa dokumen lama tentang bisnis keluarga Arjun. Di sana terdapat beberapa laporan yang belum pernah ia gunakan sebagai senjata. Senyumnya semakin melebar. “Semua ini akan aku manfaatkan.” Telepon di mejanya berbunyi, mengalihkan perhatian Elvira. Dia menjawab dengan nada dingin, "Halo?" "Elvira, apa kau yakin dengan rencanamu ini?" suara seorang pria di ujung telepon terdengar ragu. "Jika ketahuan, ini bisa menghancurkanmu." El
Setelah berbincang dengan Olivia, Nayla merasa lebih tenang. Namun, begitu ia berbalik untuk pergi ke kamarnya, langkahnya terhenti saat melihat sosok Regan berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Tatapan pria itu begitu lembut, penuh ketulusan yang membuat Nayla hampir kehilangan kata-kata. Regan melangkah mendekat, lalu menyentuh pipi Nayla dengan jemarinya. "Aku mendengar semuanya," ucapnya pelan. "Apa yang kamu katakan pada Mom tadi… itu benar-benar berarti untukku, Nayla." Nayla menundukkan kepala, wajahnya memanas. "Aku hanya mengatakan yang sejujurnya." Regan tersenyum, lalu meraih kedua tangan Nayla dan menggenggamnya erat. "Kalau begitu, aku ingin kamu juga mendengar sesuatu dariku." Nayla mengangkat wajahnya, menatap mata pria itu dengan rasa penasaran. "Aku mencintaimu, Nayla. Dari dulu, sejak pertama kali aku melihatmu dalam kesedihanmu, aku tahu aku ingin melindungi dan membahagiakanmu. Aku tidak peduli dengan masa lalu atau siapa pun yang mencoba menghalangi
Regan menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Nama sang ibu, Olivia, tertera di sana. Ia tahu, cepat atau lambat, pembicaraan ini akan terjadi. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat panggilan itu. "Regan, Nak. Bisakah kamu datang ke mansion sekarang?" Suara Olivia terdengar lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. Regan melirik sekilas ke arah Nayla, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil. Wanita itu masih tampak lelah setelah sidang, tetapi tetap tenang. "Ada apa, Mom?" tanya Regan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya. "Kamu tahu ini tentang apa," jawab Olivia. "Ayahmu juga ingin bicara denganmu. Dan bawalah Nayla bersamamu." Regan menghela napas dalam. "Baiklah. Kami akan segera ke sana." Setelah menutup panggilan, ia menoleh pada Nayla. "Mom dan Dad ingin kita datang ke mansion." Nayla menegang sejenak. "Aku sudah bisa menebak," katanya lirih. "Mereka pasti ingin membahas semuanya, terutama soal kita." Regan menggenggam tangannya dengan lembut. "Kita ha
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Nayla melangkah memasuki ruang sidang dengan kepala tegak, meskipun dadanya berdebar kencang. Regan berdiri di belakangnya, memberikan dukungan tanpa suara. Ia tahu betapa pentingnya hari ini bagi Nayla. Darren sudah duduk di kursi penggugat, wajahnya dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka. Ia menatap Nayla dengan sorot mata tajam, seolah menantang wanita itu untuk mundur. Namun, Nayla tidak goyah. Ia sudah siap. Hakim mengetuk palunya, membuka sidang perceraian mereka. "Saudari Nayla, Anda mengajukan gugatan cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga dan perselingkuhan dari pihak suami. Apakah benar demikian?" Nayla mengangguk mantap. "Benar, Yang Mulia." Darren mendengus sinis. "Itu semua kebohongan. Dia hanya ingin meninggalkanku demi pria lain!" Hakim menatap Darren tajam. "Saudara Darren, harap jaga sikap Anda di persidangan." Nayla menghela napas panjang sebelum berbicara, suaranya jernih dan mantap. "Selama bertahun-tahun saya
Darren Bersiap Menyerang, Regan Tidak Tinggal Diam Di vila rahasia, Regan duduk di depan layar komputer besar dengan ekspresi tegang. Seorang pengawalnya baru saja memberi laporan tentang Darren yang mulai bergerak. Melalui kamera pengintai dan beberapa informan, ia bisa melihat Darren sedang mengumpulkan anak buahnya. "Dia sudah menemukan lokasi kita," kata Regan dengan suara dingin, matanya tajam menatap layar. Nayla yang duduk di sofa menegang mendengar itu. "Apa? Bagaimana bisa?" Regan menutup laptopnya dengan tenang, lalu bangkit dan menghampiri Nayla. "Darren memang licik, tapi aku sudah mengantisipasi ini. Aku sengaja membiarkan sedikit petunjuk agar dia berpikir dia lebih unggul. Tapi sebenarnya, ini jebakan." Nayla menatap Regan dengan bingung. "Jebakan?" Regan tersenyum tipis. "Ya. Aku ingin memastikan dia membuat kesalahan fatal kali ini. Jika dia datang dengan niat buruk, aku akan memastikan dia tidak bisa lolos dari hukum lagi." Tiba-tiba, salah satu pengawa
Regan Tak Tinggal Diam Regan menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Berita tentang dirinya menyebar seperti api, dan media terus menggiring opini bahwa ia telah menculik Nayla. Tak ingin tinggal diam, Regan segera menghubungi kepala tim PR-nya. "Aku ingin konferensi pers. Segera." Suara di ujung telepon terdengar ragu. "Tuan Regan, situasinya cukup sensitif. Jika Anda bicara sekarang tanpa bukti kuat, justru bisa memperburuk keadaan." Regan mengepalkan tangan. "Aku tidak peduli. Siapkan semuanya. Aku akan membalikkan keadaan." Sementara itu, Nayla duduk di sofa dengan tatapan kosong. Ia merasa bersalah karena Regan harus menghadapi semua ini gara-gara dirinya. Regan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya. "Jangan khawatir. Aku akan membuat dunia tahu siapa yang sebenarnya bersalah." Nayla menghela napas dalam. "Tapi Regan… jika Darren semakin marah, dia bisa melakukan hal yang lebih buruk." Regan menatapnya tajam. "Dia boleh mencoba, tapi aku tidak akan memb
Kemurkaan Darren dan Kesiapan Regan Di kediaman keluarga Anderson, Darren menggebrak meja dengan keras, matanya memerah penuh amarah. "Di mana dia menyembunyikan istriku?!" bentaknya tajam ke arah Olivia dan Arjun. Olivia yang duduk di sofa tampak berusaha mempertahankan ketenangannya meski jelas ia sangat syok dengan tindakan putranya. "Darren, aku tahu kau marah, tapi menggebrak meja di rumah orang lain bukan tindakan yang pantas." "Jangan bicara soal pantas atau tidak, Nyonya Olivia," dengus Darren sinis. "Aku tahu putramu yang membawa kabur Nayla! Dia pikir siapa dia bisa mencampuri rumah tanggaku?! Aku mau dia mengembalikan istriku sekarang juga!" Arjun yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau Nayla benar-benar ingin kembali padamu, Darren, dia pasti sudah melakukannya. Nyatanya, dia tidak ingin kembali padamu, kan?" Darren mengertakkan gigi, wajahnya merah padam. "Itu karena Regan yang menculiknya!" Olivia menatap Darren tajam. "Sebut itu penculikan atau a
Ketegangan di Vila Setelah panggilan dengan orang tuanya berakhir, Regan bersandar di kursinya, menghembuskan napas panjang. Ia tahu keluarganya tidak akan tinggal diam, tetapi saat ini yang paling penting baginya adalah menjaga Nayla tetap aman. Di sisi lain, Nayla duduk di ruang tamu vila, menatap kosong ke arah camilan yang disajikan pelayan. Pikirannya kacau. Sejak tiba di tempat ini, ia terus memikirkan perbedaan sikap antara Regan dan Darren. Darren selalu memperlakukannya dengan dingin, penuh tuntutan, dan sering menyalahkannya. Sementara Regan... pria itu selalu ada untuknya. Memberikan perlindungan tanpa meminta balasan, membuatnya merasa berharga meskipun ia sendiri masih bingung dengan perasaannya. "Kenapa kau melamun?" Suara Regan membuyarkan pikirannya. Nayla menoleh dan melihat pria itu sudah berdiri di belakang sofa, menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku hanya..." Nayla menggigit bibirnya, ragu untuk jujur. "Aku memikirkan semuanya." Regan duduk di sofa seberan
Di sisi lain, Darren benar-benar kehilangan kendali setelah menyadari bahwa Nayla telah kabur. Ia menghancurkan segala benda yang ada di kamarnya, membanting vas bunga ke dinding hingga pecah berantakan. Nafasnya memburu, matanya merah dipenuhi amarah. "Regan! Dasar brengsek!" teriaknya sambil meninju meja di depannya. Ia tahu, hanya satu orang yang berani melakukan ini—Regan Anderson. Tanpa pikir panjang, Darren meraih kunci mobil dan segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju kediaman keluarga Anderson. Jika Regan pikir bisa merebut istrinya begitu saja, maka pria itu salah besar. --- Setibanya di mansion keluarga Anderson, Darren keluar dari mobil dengan langkah tergesa. Tanpa basa-basi, ia mendorong pintu utama hingga terbuka lebar. Beberapa pelayan yang melihat kedatangannya terkejut dan langsung memberi tahu tuan dan nyonya rumah. Tak butuh waktu lama, Olivia dan Arjun muncul di ruang tamu, wajah mereka menunjukkan keterkejutan saat melihat Darren yan
Nayla berjalan keluar dari kamar dan mendapati Regan tengah duduk di ruang kerja, matanya serius menatap layar laptop. Ia tahu pria itu sedang berusaha memastikan keamanannya. "Regan…" panggil Nayla pelan. Regan segera mengalihkan perhatiannya, menatap Nayla dengan sorot lembut. "Ada apa? Kau butuh sesuatu?" Nayla ragu sejenak, lalu menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau nekat membawaku ke sini? Aku masih istri Darren… meskipun aku tahu dia tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai istrinya." Regan menghela napas panjang, menutup laptopnya lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati Nayla, berdiri tepat di hadapannya. "Karena aku tidak bisa melihatmu terus menderita. Nayla, aku tahu kau terluka… Aku tahu kau butuh seseorang yang benar-benar peduli padamu, dan aku ingin menjadi orang itu." Nayla terdiam, hatinya bergetar mendengar ketulusan Regan. "Tapi, Regan… Jika Darren tahu, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan