“Aku akan buat rumah tangga dia juga hancur, Sar. Aku masih nggak ikhlas rasanya dibuat seperti ini.”
Aku menghela napas. Bagaimanapun, aku juga tak bisa menyalahkan Bang Roni kalau memiliki kebencian yang teramat sangat dengan Riya. Karena jangankan dia, aku sendiri pun sebenarnya sangat marah dan tak terima dengan apa yang sudah dilakukan Riya terhadap rumah tangga kami.Namun bagiku, membalas dendam hanya akan membuang waktu dan energi. Aku lebih memilih menyerahkan semuanya pada yang di atas. Aku tak mau rasa marah dan dendam membuatku terus terjebak dalam sakitnya pengalaman di masa lalu. Lebih baik aku fokus mencari uang dan membahagiakan diri serta anak-anakku.“Aku sekarang nggak bisa melarang apa pun yang mau kamu lakukan, Roni. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi dalam hidupmu. Hanya saja, aku berharap agar kau memikirkan kembali masak-masak apa yang akan kau lakukan ke depannya. Jangan sampai menjadi penyesalan lagi seperti sekarang.”Bang Roni diaSuara salam terdengar dari depan pintu rumah. Aku yang sedang berbaring sambil bermain-main dengan kucing, memilih untuk tak menghiraukannya. Karena kupikir pasti tamu Ibuku. Dan beliau juga kebetulan sedang berada di ruang tamu.Namun ternyata tak lama kemudian kudengar suara Ibu memanggil.“Sartika, keluar sebentar. Ini ada Rusdi, teman sekolahmu.” Jujur saja aku agak kaget. Karena Rusdi adalah temanku sejak SD dan kami sudah tak pernah lagi berjumpa sejak aku menikah dengan Bang Roni.Aku langsung keluar kamar karena terlalu antusias bertemu dengan teman lama. Begitu sampai di ruang tamu, kulihat dia sedang duduk di sofa. Ibu memilih untuk meninggalkan kami, katanya mau menonton acara TV kesayangannya.“Eh Rusdi, apa kabar?” Tanyaku sambil menyalami Rusdi yang langsung berdiri melihat aku datang.“Baik-baik aja. Kamu gimana? Udah lama ya nggak pulang kampung.” Katanya sambil kembali duduk. Aku pun ikut duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
“Ayaah....!”Erin dan Erlan berlari mengejar Bang Roni. Kelihatan sekali kalau mereka sangat merindukan ayahnya. Sekilas kulihat ke arah Azmil, wajahnya tampak mendung melihat pemandangan antara ayah dan anak itu.Bang Roni berjongkok dan memeluk anaknya bergantian. Ia tampak ingin menangis. Tapi dapat kulihat ia seperti sedang berusaha menguatkan dirinya.Aku tertegun melihat kedatangan Bang Roni yang tiba-tiba seperti ini. Ada rasa tak enak dalam hatiku, karena sekarang sedang bersama Azmil. Memang kami sudah bercerai, namun aku masih berada dalam masa Iddah. Aku khawatir Bang Roni akan berpikir macam-macam dan justru balik merendahkan aku.Bang Roni berdiri dan mendekatiku yang masih berdiri mematung. Tatapan matanya terasa menusuk, terutama saat ia melihat ke arah Azmil. Berbanding terbalik dengan Azmil, ia justru tak tampak sedikit pun merasa takut atau khawatir melihat kedatangan Bang Roni. Azmil terlihat santai, seolah tak akan mungkin terjadi apa-apa. Aku yang justru mer
“Say, Ada Erin nggak di situ?” Suara Riya yang menanyakan keberadaan anak sulungku terdengar, begitu aku mengangkat panggilan telepon darinya. Riya memang memanggilku dengan sebutan ‘Say’. Dan aku pun memanggilnya dengan panggilan yang sama.“Ada tuh lagi main sama adiknya. Kenapa? Mau disuruh jemput Hilda sama Ola? Biar diajak main ke sini?” Tanyaku sambil terus mengetik tuts keyboard laptop. Aku memang sedang mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel online. Dan naskahku baru saja diterima beberapa hari yang lalu. Jadi sekarang, aku memang sedang lagi semangat-semangatnya menulis.Sementara Hilda dan Ola adalah dua anak perempuan Riya yang hampir setiap hari main ke rumah. Boleh dibilang, aku seperti pengasuh tak resmi yang selalu diminta untuk menjaga anak-anak itu selagi ibu mereka sedang sibuk... Bermain ponsel.“Nggak. Suruh ke sini ya si Erin. Aku ada ikan Sembilang. Tolong masakin asam pedas ya, Say.”Aku menghela napas. Dan kulirik jam dinding. Sudah hampir setengah s
“Eh Say, tolonglah... Jangan bilang, aku takut..!” suara Riya semakin terdengar panik di seberang sana. Aku hanya tertawa kecil. Entah karena menutupi rasa sakit hati atau karena mendengar Riya brengsek itu ketakutan. Bang Roni yang baru saja masuk, melihatku sedang menelepon seseorang sambil tertawa jadi curiga.“Sayank lagi ngomong sama siapa?” tanyanya. Kami memang saling memanggil dengan panggilan ‘Sayank’. Karena usia kami yang hanya terpaut beberapa bulan saja, membuatku merasa enggan memanggilnya dengan sebutan Abang ataupun Mas. Jadi sejak awal pacaran, kami sudah membiasakan diri memanggil dengan panggilan Sayank sampai sekarang, sampai kami sudah punya dua anak.“Oh, ini Riya yang nelfon,” kataku sambil tertawa tawar.“Ngomong apa dia?!” Bang Roni tampak gusar dan sedikit panik. Dia pasti menyangka kalau Riya mengatakan hal yang sebenarnya.“Eh Say, tolonglah jangan bilang. Nanti Roni ngamuk.” Riya masih memohon, dan demi kebaikannya padaku selama ini, aku tak akan menyu
“Dia bilang, kamu itu nggak pandai berdandan. Dia males lama-lama di rumah, soalnya setiap dia pulang ngeliat bininya layu. Katanya, lebih segar mandangin muka aku. Kalau aku, awal pagi dan sore udah dandan Say, udah rapi. Sementara kamu, dari dia bangun tidur sampai dia pulang kerja, katanya ngeliat kamu selalu dalam keadaan acak-acakan. Nggak berbedak, nggak bergincu, pucet, nggak ada cahaya sama sekali di muka kamu. Makanya sejak dia berhubungan sama aku, setiap abis Maghrib dan Isya dia pasti keluar kan? Itu dia datang ke rumah aku Say. Cuma mau ketemu sama aku. Dia bilang muka aku nyenengin.” Tanganku mengepal. Sungguh sangat geram dan sakit hati ini. Mataku mulai terasa panas, tapi belum ada air mata yang jatuh. Aku tak mau anak-anakku melihat ibunya menangis.Dan Bang Roni, bisa-bisanya dia bilang seperti itu. Kok tega dia menjatuhkan harga diriku di hadapan perempuan lain. Membuka aibku, menceritakan keburukanku. Padahal selama ini, tak pernah sekalipun aku menceritakan seg
“Nggak ada. Siapa yang aku datangi? Emang Sayank curiganya sama siapa?” “Ya sebut aja siapa perempuan yang sedang Sayank dekatin.”“Detrin?” ia menyebut nama perempuan yang pernah ia kenal lewat chat dan dulu ia ceritakan padaku. Ia pasti sengaja menyebut nama yang tak ada hubungannya sama sekali. “Nggak tahu. Tapi bukan. Dia orang dekat kok.” Sindirku, kupikir ia akan sadar kalau yang dimaksud adalah Riya.“Siapa ya?” tanyanya berlagak pilon. Sambil memandang ke langit-langit rumah, seolah jawabannya ada di sana.“Sayank akrab sama dia, suka bercanda dan godain dia.”“Siapa? Riya?”DHESSS... Akhirnya ia sebut juga nama itu. “Oh jadi Riya orangnya?”“Nggak. Bukan. Aku nggak ngerti apa maksud Sayank. Katanya yang suka bergurau dengan aku, orang dekat. Aku Cuma asal sebut aja nama Riya.”Aku mengurut pelipis. Tidak bisa seperti ini! Selagi aku tak punya bukti akurat yang bisa membuatnya mati kutu dan mengaku sendiri, selagi itu pula ia akan mati-matian menutupi sampai akhir
“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”“Tumben...”“Kok tumben?”“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis. Aku tahu, kalau
Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian. Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku. Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riy
“Ayaah....!”Erin dan Erlan berlari mengejar Bang Roni. Kelihatan sekali kalau mereka sangat merindukan ayahnya. Sekilas kulihat ke arah Azmil, wajahnya tampak mendung melihat pemandangan antara ayah dan anak itu.Bang Roni berjongkok dan memeluk anaknya bergantian. Ia tampak ingin menangis. Tapi dapat kulihat ia seperti sedang berusaha menguatkan dirinya.Aku tertegun melihat kedatangan Bang Roni yang tiba-tiba seperti ini. Ada rasa tak enak dalam hatiku, karena sekarang sedang bersama Azmil. Memang kami sudah bercerai, namun aku masih berada dalam masa Iddah. Aku khawatir Bang Roni akan berpikir macam-macam dan justru balik merendahkan aku.Bang Roni berdiri dan mendekatiku yang masih berdiri mematung. Tatapan matanya terasa menusuk, terutama saat ia melihat ke arah Azmil. Berbanding terbalik dengan Azmil, ia justru tak tampak sedikit pun merasa takut atau khawatir melihat kedatangan Bang Roni. Azmil terlihat santai, seolah tak akan mungkin terjadi apa-apa. Aku yang justru mer
Suara salam terdengar dari depan pintu rumah. Aku yang sedang berbaring sambil bermain-main dengan kucing, memilih untuk tak menghiraukannya. Karena kupikir pasti tamu Ibuku. Dan beliau juga kebetulan sedang berada di ruang tamu.Namun ternyata tak lama kemudian kudengar suara Ibu memanggil.“Sartika, keluar sebentar. Ini ada Rusdi, teman sekolahmu.” Jujur saja aku agak kaget. Karena Rusdi adalah temanku sejak SD dan kami sudah tak pernah lagi berjumpa sejak aku menikah dengan Bang Roni.Aku langsung keluar kamar karena terlalu antusias bertemu dengan teman lama. Begitu sampai di ruang tamu, kulihat dia sedang duduk di sofa. Ibu memilih untuk meninggalkan kami, katanya mau menonton acara TV kesayangannya.“Eh Rusdi, apa kabar?” Tanyaku sambil menyalami Rusdi yang langsung berdiri melihat aku datang.“Baik-baik aja. Kamu gimana? Udah lama ya nggak pulang kampung.” Katanya sambil kembali duduk. Aku pun ikut duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
“Aku akan buat rumah tangga dia juga hancur, Sar. Aku masih nggak ikhlas rasanya dibuat seperti ini.”Aku menghela napas. Bagaimanapun, aku juga tak bisa menyalahkan Bang Roni kalau memiliki kebencian yang teramat sangat dengan Riya. Karena jangankan dia, aku sendiri pun sebenarnya sangat marah dan tak terima dengan apa yang sudah dilakukan Riya terhadap rumah tangga kami.Namun bagiku, membalas dendam hanya akan membuang waktu dan energi. Aku lebih memilih menyerahkan semuanya pada yang di atas. Aku tak mau rasa marah dan dendam membuatku terus terjebak dalam sakitnya pengalaman di masa lalu. Lebih baik aku fokus mencari uang dan membahagiakan diri serta anak-anakku.“Aku sekarang nggak bisa melarang apa pun yang mau kamu lakukan, Roni. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi dalam hidupmu. Hanya saja, aku berharap agar kau memikirkan kembali masak-masak apa yang akan kau lakukan ke depannya. Jangan sampai menjadi penyesalan lagi seperti sekarang.”Bang Roni dia
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Emangnya apa yang udah pernah kamu kasih ke dia? Kalau dia iya, banyak belikan kamu makanan enak!”“Oh mau mengungkit?! Oke, sekarang bayar upahku merawat dan mengasuh Hilda sama Ola selama ini! Kalau kalian bayar Baby Sitter, sebulan seenggaknya satu setengah juta. Hilda dan Ola dititipkan di rumah ini dari pagi sampai malam, udah hampir setahun. Jadi bayar upah baby sitter buatku. Trus upah masak. Riya tiap nyuruh masak Cuma ngasih bahan. Tapi rempah, minyak, bumbu, dan gas nggak pernah ngasih. Dan terakhir, aku minta kembalikan ciuman suamiku. Kembalikan keutuhan rumah tanggaku, kembalikan rasa percaya dan cintaku untuk suamiku. Bisa nggak dia mengganti itu semua?! Bisa?! Sini bayar sama aku! Kalau sampai aku bercerai sama Roni gara-gara dia, aku minta ganti rugi karena udah membuat masa depan anak-anakku jadi suram. Jadi, jangan sok-sokan mengungkit pemberian Riya. Apa yang anak kamu berikan ke aku itu nggak ada apa-apanya Bi. Masih bisa diganti semua. Tapi apa yang udah dia lak
“Sartika, sini dulu....” Bi Rabiah memanggilku yang sedang menimba air sumur di depan rumah. Sementara ia melambaikan tangan dari jendela dapurnya.Aku mendekat dan bertanya,” kenapa Bi?”“Roni mana?” tanyanya setengah berbisik.“Masih tidur kali, di kamar depan.” Jawabku malas. Aku sungguh tak mau tahu lagi soal lelaki itu. “Eh sini deh...” ia melambai lagi, menyuruhku untuk lebih mendekat. Sepertinya transfer data akan dimulai. Dia mulai menggosip. “Ada apa lagi Bi? Apa ini tentang semalam?” tebakku.“Iya. Kamu tahu nggak, tadi pagi Riya dilabrak sama Bibinya sendiri.”Aku mengerutkan kening. “Bibi yang mana?” tanyaku lagi. Karena Bang Roni memang punya banyak Bibi. Mama mertuaku punya empat saudara perempuan.“Si Yati yang ngelabrak.”“Ngapain Bi Yati ngelabrak Riya?”“Semalam habis dari rumah kalian, mertua kamu tuh singgah ke tempat Yati. Mungkin ngomongin soal ini. Jadi tadi sekitar jam enam, Yati datang ke rumah Riya. Nanyai
Kuputar rekaman suara Riya dengan volume suara paling besar. Tampak sekali keterkejutan di wajah semua orang yang ada dalam ruangan ini. Hanya Bang Roni yang tertunduk sambil menutupi wajah. Ia pasti sangat malu, karena pengakuan Riya yang ada di dalam rekaman suara itu benar-benar menceritakan tentang semua kelakuan mesumnya.“Ini pengakuan Riya. Apa Ayah dan Mama juga mau baca isi chat mesra mereka?” tanyaku dingin. Sekarang mereka sudah tahu kelakuan anaknya.Ayah, Bi Rabiah dan kedua Paman yang lain hanya menggelengkan kepala. Sementara Mama sudah menangis.“Nggak perlu, Sar. Kami percaya aja sama kamu. Lagi pula itu adalah aib suami kamu, yang kalau bisa ditutupi hingga akhir. Cuma Ayah mau tahu aja, mereka sudah sejauh mana?” tanya Ayah padaku.“Ayah tanya aja sendiri sama Roni. Dia yang melakukannya.” Kataku datar sambil melirik Bang Roni.“Roni....??” Ayah memanggil Bang Roni, memaksa untuk mengaku.“Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas
“Sartika, tolong jangan keras kepala! Kalau dibiarkan, Roni bisa membunuh orang!” Teriak Paman Fauzi, masih berusaha membujukku untuk mengambil pisau di tangan Bang Roni. Mereka sungguh tampak kewalahan.“Lepasin aja Paman. Biarkan apa maunya. Aku nggak yakin dia akan benar-benar mendatangi rumah Riya. Percayalah, Roni itu Cuma menggertak. Dia nggak mungkin berani membunuh orang.” Kataku sambil meninggalkan mereka ke dapur. Tenggorokanku kering, ingin minum.Benar dugaanku, Bang Roni tak lagi mencak-mencak seperti tadi. Kudengar suasana sudah agak tenang. Dan begitu aku kembali, kulihat Paman Ardi dan Paman Fauzi sudah melonggarkan pegangannya pada Bang Roni. Meski mereka masih tampak waspada.Aku yang melihatnya hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepala. Ternyata Bang Roni hanya gertak sambal. Jangankan membunuh, mendatangi Riya ke rumahnya pun tak berani. Laki-laki seperti apa dia?“Duduk dulu sama-sama Sar. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin.” B