"Kamu mau buat apa?" tanya Zack seakan tidak terjadi apa-apa. Ia melongok ke arah perlengkapan masak Nabila.
"Ah ... ini, aku ... mau buat sandwich," jawab Nabila semakin gugup.Zack mencebik. "Oke! Aku mau mandi dulu!" Lelaki itu pun berlalu meninggalkan ruang dapur tersebut dengan santai.Ketika bayangan pria itu sudah tidak tampak lagi, Nabila sontak menyandarkan pinggangnya ke meja dapur. Kakinya tiba-tiba saja terasa lemas bagai jelly. Ia menarik napas panjang-panjang, lantas mengembuskannya perlahan. "Ya Allah ... mengapa begini?" bisiknya pada diri sendiri.***Hari ini hari senin. Tampak Zack merapikan diri di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah. Rutinitas bekerja di kantor kembali menghampiri.Nabila berada di meja dapur. Ia tengah sibuk berkutat dengan tepung dan telur. Ia berniat membuat roti panggang untuk camilan. Beberapa hari ini dirinya sering merasa lapar. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, justru makanan banyak ditolaknya karena tidak berselera, hanya membuatnya mual ingin muntah."Aku buat nasi goreng. Apa kamu suka?" tanya Nabila kepada Zack yang baru saja memasuki ruang makan. Ruang tengah, ruang makan, dan dapur di rumah itu memang tidak bersekat."Nasi goreng?" ulang Zack merasa asing dengan nama masakan tersebut. Selama ini ia tidak pernah merasakan makanan seperti itu. Pria itu melihat sebuah mangkuk plastik food grade yang berisi setumpuk nasi berbumbu berwarna kecoklatan di atas meja makan."Iya, nasi goreng seafood. Aku kasih udang di dalamnya. Kamu mau coba?" Nabila melangkah ke arah wastafel kemudian mencuci tangannya yang berlumuran tepung, lantas mengelapnya pada apron yang dikenakan. Setelah itu ia mengambilkan sebuah piring untuk Zack yang sudah duduk menikmati kopi paginya. "Ini coba kamu cicipi," tawar wanita manis itu seraya menyodorkan piring yang sudah ia isi dengan nasi goreng."Aromanya enak," tutur Zack sembari meraih sebuah sendok. Kemudian ia membaca basmalah, lalu memasukkan sesuap nasi tersebut ke dalam mulutnya.Nabila menatap Zack dengan rasa penasaran. Ia menunggu tanggapan pria tampan yang beberapa waktu ini membuatnya berkali-kali kehilangan fokus. "Mmm ... gimana? Nggak enak ya?" tanyanya karena melihat Zack memasang wajah yang tidak dapat ia tebak."Hmm ... ini enak sekali, Nabila!" seru Zack dengan mata yang berbinar, "ini nasi yang digoreng? Ide dari mana itu?"Nabila merasa lega dan ia tertawa kecil mendengar tanggapan Zack. "Ini masakan yang familiar di Indonesia. Biasanya untuk memanfaatkan nasi sisa kemarin yang tidak habis. Kasih ini!" Nabila menyodorkan potongan mentimun di hadapan Zack."Ini nasi kemarin?" tanya Zack lagi dengan alis yang terangkat. Ia meraih sepotong mentimun dari piring kecil yang diberikan Nabila. Kemudian menyuapnya ke dalam mulutnya yang sudah berisi nasi goreng. Ia merasakan sensasi rasa nasi goreng bercampur mentimun yang begitu nikmat.Nabila melebarkan senyumnya dan mengangguk-anggukkan kepala."Hahaha ... kreatif sekali. Mengapa Ve tidak pernah bikin ini?" tanya Zack pada diri sendiri. "Dia memang jarang masak." Pria itu tersenyum lebar menatap Nabila. "Tapi aku suka pai buatannya!"Nabila tersenyum tipis mendengar Zack memuji istrinya ... istri pertamanya. Terasa sedikit jentikan di daging merah di dalam rongga dadanya. Setiap kali Zack menyebut nama Veronica, tampak binar cinta yang tulus di manik biru itu.Selama ini memang Veronica jarang terlihat memasak. Mereka lebih sering memesan makanan dari luar. Untuk sarapan pun mereka lebih suka makan roti. Mau tidak mau, Nabila berusaha mengikuti culture mereka. Sesekali saja Nabila terkadang memasak untuk dirinya sendiri jika sedang rindu masakan Indonesia. Lagi pula Zack dan Veronica jarang makan di rumah, kecuali di saat weekend."Kak Ve wanita yang beruntung ...," lirih Nabila. Namun, itu terdengar di telinga Zack."Maksud kamu?" tanya Zack heran."Ya, Kak Veronica beruntung punya suami seperti kamu, Zack," jelas Nabila.Alis Zack bertaut, tetapi bibirnya tersenyum. "Memangnya kenapa?" tanyanya lagi penasaran."Kamu pria yang baik dan penuh perhatian. Kamu sangat mencintai Kak Ve?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja di kepala Nabila. Tidak, itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.Zack tertegun sejenak. "Dia duniaku," ucapnya dengan mata menerawang.Hening."Hmm ... aku harus ke kantor sekarang!" Zack segera memasukkan suapan terakhir nasi goreng di atas piringnya. "Thank you, Nabila. Nasi gorengnya enak!" ucapnya seraya bangkit dan mengelap bibirnya dengan sehelai kain lap bersih dari atas meja.Nabila hanya bisa tersenyum getir di hadapan pria rupawan itu. Ia membayangkan betapa bahagianya jika ia yang berada di posisi Veronica."Daddy pergi dulu, Boy! Jangan nakal!" Zack memegang perut Nabila. Kemudian membungkuk dan mengecup singkat perut itu.Nabila hanya terdiam menahan sensasi menggelitik untuk kesekian kalinya itu. Membuat bulu romanya seketika saja berdiri."Bye!" pamit Zack kepada Nabila yang terpaku di sana. Pria itu pun meraih jasnya yang tersampir di sofa ruang tengah, lantas melenggang pergi.***Sepekan semenjak Veronica pergi ke Paris artinya sepekan pula Nabila sudah tidak lagi bekerja di butiknya. Bukan, bukan ia merasa bosan. Hanya saja sepi. Dari pagi hingga malam ia hanya berkutat di taman, dapur, dan kamarnya. Sesekali saja ia pergi berjalan kaki ke mini market yang tidak jauh dari rumah itu untuk sekadar membeli camilan. Dan di dalam kesendirian itu ia semakin larut dalam angan-angan semu.Ya, ia semakin hari semakin kagum kepada Zack. Rasa ingin memiliki sosok pria tampan itu semakin kuat. Nabila sadar, ia tidak boleh bermain perasaan di sini. Akan tetapi, rasa itu terus saja tumbuh, meranggas, dan mencengkeram daging merah di dalam rongga dadanya.Setiap pagi mereka berdua sarapan bersama, saling bercerita dan bercanda. Zack semakin sering menyentuh dan merangkul Nabila. Tanpa pria itu sadari perasaan Nabila semakin dalam.Lelaki itu sering mengajak bicara bayi kecil yang berada di dalam perut Nabila. Pria itu membuatkan air hangat ketika sesekali rasa mual dan ingin muntah menyapa Nabila. Zack tidak sadar, kalau sentuhan dan perhatiannya itu membuat wanita muda tersebut semakin jatuh. Jatuh ke lubang tanpa dasar di mana Nabila tak sanggup berdiri sebab terus berada di awang-awang.Kemesraan Zack kepada Veronica kadang terbayang kembali. Kuluman hangat pada jarinya waktu tergores pisau. Astaga ... Nabila sering membayangkan, andai saja bibirnyalah yang dikulum oleh pria itu. Andai kecupan lelaki itu bukan hanya di perutnya. Ia ingin lebih ... lebih! Nabila menginginkan Zack secara utuh!Ia bukan ingin merebut pria itu dari Veronica. Tidak! Tidak seperti itu. Namun, ia benar-benar berharap andai saja Zack bisa dibagi. Ya, pikiran yang tidak masuk akal memang. Namun, dirinya sungguh-sungguh menginginkan pria tersebut."Bukankah aku juga berhak? Dia juga suamiku ...," lirih Nabila pada diri sendiri.Drrrt ... drrrt ...!Suara getar ponsel di atas nakas menarik Nabila dari lamunan. Ia pun meraih benda segi empat tersebut. Tertera nama Metta di layar ponsel. Ia sesekali memang menghubungi teman sekamar kost-nya itu untuk sekadar menyapa atau bercerita."Hallo, assalamualaikum." Nabila mengucap salam, "Metta, apa kabar? Tumben ngubungi jam segini?" Di Indonesia hari sudah malam."Wa alaikumus sallam. Alhamdulillah, aku baik, Nab. Kamu gimana kabarnya?" tanya Metta."Aku juga baik, alhamdulilah ... kamu nggak kerja?" tanya Nabila. Biasanya jam segini Metta masih kerja di sana. Metta biasa kena shift malam."Aku minta gantiin teman buat sementara," jawab Metta."Ooh, gitu. Memang kenapa? Kamu sakit?" tanya Nabila cemas."Nggak ...."Nabila menangkap kesedihan dari tanggapan Metta tersebut."Eh, iya. Gimana kehamilan kamu, sehat?" Metta mengalihkan pembicaraan."Alhamdulillah, sehat, Met. Nggak kayak tiga bulan pertama, mayan berat buatku. Sering mual muntah. Syukurlah sekarang sudah jauh berkurang. Aku udah bisa makan banyak sekarang," jawab Nabila semringah."Iya, inget waktu itu lu ngeluh mulu. Hihihi ...." Metta tertawa kecil ketika mengingat Nabila yang sering mengeluh baik di chatting-an ataupun pada saat menelepon teman yang terasa sudah jadi sahabatnya itu."Hehehehe." Nabila menertawakan dirinya sendiri. Ia kembali mengenang masa ketika ia baru berkenalan dengan Metta.Nabila waktu itu bertemu dengan wanita itu secara tidak sengaja. Nabila baru saja diusir oleh pemilik kost sekaligus pemilik rumah makan padang di mana ia bekerja.Ia dituduh menggoda suami ibu kost-nya. Tengah malam, ia ingat, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Cuaca sedang dalam keadaan hujan lebat. Suami ibu kost dan Nabila tertangkap basah dalam posisi di lantai di mana pria tua itu berada di atasnya. Tanpa mau menerima penjelasan apa pun, Nabila diusir malam itu juga oleh sang pemilik kost.Mau tidak mau ia pun pergi dalam keadaan sedih. Ia menangis di bawah atap sebuah halte di pinggir trotoar dengan koper berisi pakaian. Ketika itu Metta yang baru pulang kerja melihatnya. Karena tidak tega, kemudian Metta mengajak wanita muda itu untuk ikut bersamanya. Akhirnya, Metta yang memang punya masalah keuangan mengusulkan agar mereka berbagi kamar. Membayar kost dengan cara patungan.Nabila menyetujui usulan itu, tetapi ia bingung, setelah dua bulan lebih di sana, masih tidak juga mendapat pekerjaan baru. Tabungan yang pernah ia kumpulkan terkuras habis. Kemudian akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai pelayan kafe. Di sanalah ia bertemu dengan Hana sehingga mengantarkannya sampai di titik ini."Nab ...," panggil Metta dengan suara lirih.Nabila mengernyitkan dahinya. Sepertinya Metta sedang ada masalah. Hatinya menebak-nebak. "Iya," sahutnya siap menyimak."Nab, gue mau pinjem duit," ujar Metta terdengar sedih.Next"Lu mau pinjam berapa?" tanya Nabila setelah beberapa detik terdiam. Sudah ia duga, Metta sedang ada masalah."Mmm ... dua puluh juta, Nab," jawab Metta terdengar ragu-ragu."Ehmm." Nabila berdeham. Uang dua puluh juta bukan sedikit, pikirnya. "Lu ada masalah apa?" tanyanya hati-hati."Nyo–nyokap gue sakit, gula darahnya tinggi banget," ungkap sang sahabat.Nabil menyimak."Udah sepekan nyokap gue di rumah sakit, Nab. Waktu itu operasi, ada gumpalan darah kotor di pahanya. Ini alhamdulilah, kata dokter sudah baikan. Mungkin satu atau dua hari lagi udah boleh pulang. Tapi gue mesti bayar biaya rumah sakit dan obatnya, Nab," jelas Metta dengan suara bergetar seperti hendak menangis.Metta jarang meminta tolong. Justru wanita itu yang sering menolong Nabila. Selama tiga bulan lebih Nabila tinggal bersamanya di satu ruangan, ia hanya sering memikirkan uang patungan untuk membayar kamar saja. Sementara Metta, hampir setiap hari membagi makanan kepadanya. Bahkan Metta-lah yang menolongnya k
Beberapa detik kemudian–"Lu gila!" Metta terdengar kesal di sana."Gue ... gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue, Met," lirih Nabila. Wajahnya tertunduk lesu."Lu di situ cuma nolongin dan sekaligus ngambil keuntungan dari mereka! Lu sendiri yang bilang ini cuma demi uang! Lagi pula udah gue bilang, pernikahan kalian juga itu ... aaah! Dari awal gue bilang semua udah nggak benar. Tapi lu nekat!" omel Metta. Sejak awal Metta tidak pernah setuju dengan keputusan yang diambil Nabila untuk menjadi seorang ibu pengganti. Karena jelas melanggar ketentuan agama. Kemudian walaupun mendengar Nabila menikah, ia sama sekali tidak mendukung hal itu. Namun, Nabila tetap tidak mau mendengarkan. Ia bersikukuh ingin mengubah nasib, katanya."Lu kok, malah marah-marah gini sih, Mett, sama gue?" Nabila menyatukan alisnya, entah mengapa ia menjadi kesal sebab diomeli oleh Metta. Apa gadis itu lupa, dengan uang itu juga ia bisa membayar biaya rumah sakit ibunya."Gue ngekhawatirin lu, Nab. Elu di neger
"Tuan Andrew ...?" lirih Nabila pada diri sendiri. Ia terdiam, napasnya seakan tersekat melihat keakraban ... oh, tidak! Itu bukan keakraban biasa, melainkan suatu kemesraan!Veronica tampak refleks mendorong tubuh Andrew. Ia lalu berlari menuju ponsel yang mana panggilan video masih terhubung dengan Nabila. "Nanti lagi, Nabila!" Veronica memutus sambungan video call-nya.Nabila masih tergamang dengan apa yang ia saksikan barusan. 'Kak Ve .... Apa mungkin dia ...?' Wanita muda itu mengernyitkan dahi. Netranya masih menatap lekat ke arah layar ponsel di hadapannya yang lamban menggelap. Pikirannya menerka kalau ada hubungan terlarang antara Veronica dengan Andrew. Ya, tidak salah lagi. Ketika di butik beberapa waktu lalu, ia juga pernah memergoki Veronica dengan pria itu dalam posisi yang sangat dekat.Waktu itu Andrew merangkul pinggang Veronica hingga tubuh mereka kian rapat tanpa jarak. Kakak madunya tersebut juga terlihat kaget, ketika tiba-tiba Nabila masuk ke dalam ruangannya sa
Selama ini Nabila tidak pernah menyentuhnya secara langsung seperti ini, sebab biasanya dirinyalah yang duluan memulai. Namun, ia berusaha bersikap normal dan hanya bisa terdiam tanpa menolak apa yang dilakukan Nabila terhadapnya."Kamu kelihatan capek banget hari ini," ujar Nabila sambil terus memijat pria itu."Ah, iya. Beberapa hari ini di perusahaan sedang banyak proyek yang mesti aku kerjakan." Zack tersenyum kaku. Beberapa hari ini Zack memang berusaha menghindar dari Nabila sejak sikap aneh wanita muda itu muncul ketika ia membantu membersihkan matanya dari tumpahan tepung di dapur hari itu.Nabila mengitari sofa, kemudian mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Zack. Namun, tiba-tiba pria itu bangkit. "Aku mau mandi dulu. Setelah itu mau tidur," ucapnya seraya hendak melangkah pergi menuju ke kamarnya. Zack sengaja ingin menghindar dari Nabila."Tunggu!" Nabila meraih pergelangan tangan pria di hadapannya.Zack menoleh ke arah wanita manis yang mengenakan piyama satin berwarna
"Apa kita akan menyiapkan makan malam di sini?" tanya Nabila basa-basi meskipun yang sebenarnya ia sama sekali tidak mengharapkan Veronica kembali. Ia menjadi membenci wanita itu sejak melihat kejadian di kamar hotel tersebut waktu itu."Aaah ... kamu benar!" seru Zack, "kita siapkan makan malam spesial buat Veronica!" Pria tampan itu tampak sangat antusias.Nabila kembali tersenyum palsu di hadapan Zack. "Oke," sahutnya singkat."Kita belanja habis ini!" ajak Zack dengan penuh semangat."Kamu nggak ke kantor?" tanya Nabila heran. Ini hari Jum'at, mestinya Zack harus ke kantor."Pekerjaan sudah banyak yang beres. Aku nanti bilang ke Suzan kalau tidak pergi ke kantor hari ini.""Oke. Terserah kamu," sahut Nabila dengan bibir yang setia tersenyum.Usai sarapan, keduanya pun pergi ke sebuah supermarket. Mereka memilah dan memilih bahan-bahan makanan yang akan mereka masak untuk menyambut kedatangan Veronica.***"Sorry, Babe, tadi batre hapeku kehabisan daya. Pesawatnya juga delay dua ja
Betapa terkejutnya Nabila menerima perlakuan intim seperti saat ini. Namun, ia benar-benar tidak dapat menolak. Bukankah hal seperti ini yang selalu ia idam-idamkan di dalam kesendiriannya selama ini?Dua detik. Tiga detik. Empat detik.Zack begitu intens memainkan bibir yang belum pernah dijamah seorang pria mana pun itu. Nabila pun kian terlena.Setelahnya, seakan tersadar, sang pria pun langsung meng-cut aktivitasnya. "So–sorry ...," lirih pria itu dengan mata yang berlari ke sana kemari. Entah mengapa ia malah menjadi gugup seperti itu.Nabila terpaku. Diam membisu. Hanya detak jantungnya yang seakan memburu. Bahkan napasnya terasa tersekat, hatinya tak ingin semua berlalu begitu saja.Zack lantas bangkit dan gegas melangkah ke luar kamar Nabila dan menutup pintunya tanpa berkata-kata lagi. Meninggalkan Nabila dalam ketermanguan. Ya, wanita muda itu seakan tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Zack ... Zack yang sangat mencintai dan sangat memuja Veronica baru saja mencium bi
Sebelumnya wanita muda itu terbiasa melihat kemesraan mereka. Namun, rasanya kini ia benar-benar tidak rela Zack berlaku manis kepada wanita yang ia tahu telah mengkhianati suaminya tersebut."I miss you too," sahut Veronica sembari menyambut kecupan sang suami.Keduanya tidak sadar, ada sepasang mata dan sepasang telinga yang mengawasi kegiatan intim mereka dengan hati yang panas terbakar.Akhirnya Nabila memutuskan untuk kembali masuk ke kamarnya. Ia benar-benar muak dengan pemandangan yang ada di depannya itu. Sebelum-sebelumnya ia memang sudah terbiasa melihat kemesraan kedua kekasih tersebut dengan sembunyi-sembunyi. Ia dulu berharap Zack bisa memberi hati juga kepada dirinya dan membagi menjadi dua. Untuk Veronica sebagian, untuknya sebagian. Ia tidak mengharap Zack memberi seluruh hati kepadanya seorang.Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Semenjak ia mengetahui kalau Veronica bermain api di luar sana. Wanita tersebut telah mengkhianati cinta tulus seorang Zack. Ia sungguh-sung
Tiba-tiba terdengar suara seorang anak kecil dari sebelah Nabila. Ternyata ada gadis kecil yang berusia sekitar empat tahun yang kini duduk di sampingnya di bangku panjang itu. Bocah tersebut terlihat sangat lucu. Matanya yang bulat besar menatap lekat ke arah perut wanita muda di sampingnya.Suara kecil nan lucu itu menarik Nabila dari lamunan. Ia refleks menoleh ke arah datangnya suara. Kedua ujung bibirnya serta-merta terangkat ke atas. "Yes, there is a baby in here," jawab Nabila sambil membelai kembali perutnya."How the baby out of it?"Nabila terdiam sesaat ketika pertanyaan polos itu terlontar begitu saja dari mulut kecil makhluk lucu itu. Sedetik kemudian, ia tertawa. "Kamu lucu sekali, Sayang ...," tuturnya sambil mencubit kecil dagu gadis mungil berpipi gembil tersebut.Gadis kecil itu menautkan alis pirangnya. Bertambah imutlah di mata Nabila."Merry ... you are here! I was looking for you over there ...."T
Nabila melirik sebentar ke arah Zack. Ia sama sekali tidak mau menyahuti. Wanita muda itu lalu menoleh ke arah Hana dan mengulurkan tangan sembari meringis kesakitan."Kamu nggak apa-apa, Nabila?" tanya Hana cemas seraya membantu memapah adiknya."Sakit, Kaak ...," rengek wanita muda itu sembari bangkit perlahan."Zayn ...." Tiba-tiba Zack tersadar akan putra kecilnya yang terlihat khawatir pada ibunya itu. Zayn menoleh ke arah ayahnya. Ia terlihat tengah mengingat-ingat. "Dad ... Daddy ...," ucapnya ketika ingatannya mulai terbuka. Zack tersenyum, kemudian memeluk putra kecilnya itu dengan perasaan membuncah dan penuh keharuan. Ia sangat merindu."Kaaak ...!" Tiba-tiba Nabila kembali merengek pada Hana.Zack menoleh ke arah Nabila dan pandangan matanya mengikuti pandangan wanita muda itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat air bercampur darah yang mengalir ke lantai."Nabila! Kita mesti ke UGD!" ujar Hana panik, "Zack, tolong panggil perawat!" suruhnya pada Zack."O–oke!" Zack den
"Pak, cepat ya!" seru Zack kepada supir mobil taksi yang ia tumpangi. Sungguh hatinya merasa gelisah karena sudah tiga hari ini—sejak ia sampai di LA dan bahkan sampai kembali ke Indonesia— handphone Nabila tidak bisa dihubungi. Ia yakin Nabila saat ini kembali menghindar darinya. Bahkan ia tahu dari Max, kalau wanita muda itu kini sudah tidak lagi berada di rumah mereka. "Baik, Mister. Saya usahakan!" jawab sang supir sembari memutar roda mobil, kemudian membawa kendaraan itu keluar dari area parkir airport. Arus lalulintas di jalanan terlihat ramai lancar.Tak berapa lama kemudian terdengar suara dering ponsel milik Zack. Pria itu lekas merogoh benda segi empat tersebut dari saku jaket kulitnya. Tertera nama Max di sana."Ya, Max! Aku sudah sampai di bandara Soetta dan sekarang lagi on the way pulang ke Bekasi," jelas Zack kepada sang sahabat."Oh, iya. Gimana? Nabila sudah bisa dihubungi?" tanya Max. Semenjak Zack tidak bisa menghubungi kontak sang istri, ia mengerahkan siapa saja
"Gimana, sudah ada kabar?" Zack saat ini sedang dalam panggilan telepon dengan sahabatnya, Max. Tadi pria itu menghubungi Max untuk mencarikan chanel jet pribadi, agar ia bisa terbang menuju ke Amerika sesegera mungkin. Ia sangat khawatir akan kesehatan bayi kecilnya di rumah sakit."Oke, Bro. Sudah dapat, adikku selalu bisa diandalkan kalau soal ini," sahut Max dari seberang sana."Bagus. Aku sangat berterima kasih kepada kalian.""Jangan lebay!" Max mencandai Zack. "Ya sudah, kamu cepat ke bandara. Pilot sudah menuju ke sana.""Ok, Max. Thanks! Aku akan segera ke sana." Zack pun menutup teleponnya. "Gimana?" tanya Jennifer kepada putranya. Wanita tua itu jelas ingin sama-sama ikut ke Amerika."Sudah siap, Mom!" sahut Zack.Yasmin dan Surya sudah pulang ke rumahnya tadi. Mereka juga hendak bersiap-siap untuk berangkat dan melihat keadaan cucu kesayangan yang sedang sakit itu secara langsung.Zack terlihat memainkan ponselnya lagi. Ketika tersambung ...."Hallo, Pa. Jetnya sudah siap
Mendengar permintaan Nabila, Zack terpaku menatap nanar ke arah wanita muda itu. Tubuhnya terasa kaku seketika dan lidahnya pun kelu. Ia sudah mengira akan begini jadinya."Tidaaak ... tidak, Zack!" Yasmin menghambur ke arah menantunya sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Air matanya kini telah mengalir deras menganak sungai, "tolong kalian jangan bercerai ....""Yasmin!" Tiba-tiba terdengar selaan suara Jennifer memanggil besan wanitanya dari muka pintu.Sontak semua orang menoleh ke arah sumber suara. Zayn tidak lagi berada bersamanya karena ia telah meletakkan balita kecil yang telah tidur nyenyak tersebut di ranjang di kamarnya."Jangan pengaruhi putraku lagi. Kamu tidak lihat apa yang telah anakmu perbuat, heh?" ujar Jennifer dengan suara yang datar tetapi begitu penuh penekanan. Ia jelas marah dengan perselingkuhan Veronica.Surya hanya terdiam di sana. Ia mewajarkan jika Nabila dan Jennifer bersikap seperti itu. Apa yang dilakukan putri tunggalnya itu meman
"Di–di ... dia ...." Nabila tergagap di sana dengan wajah yang kini telah basah karena air mata. "Kamu kenapa, Nabila?" tanya Jennifer panik sembari meraih cucunya dan dengan cepat memegang bahu Nabila yang saat ini terlihat aneh. Nabila terlihat pucat dan bibirnya gemetar di sana. "I–itu ...." Dahi Jennifer berkerut kencang melihat ke arah ponsel yang dilirik oleh Nabila. Dengan cepat wanita tua itu meraih benda segi empat tersebut sambil menggoyang-goyangkan badannya berusaha menenangkan sang cucu yang merengek di gendongannya. Akhirnya Zayn tampak mulai tenang dan hendak kembali tidur di dekapan sang nenek.Nabila terduduk di ranjang Zayn dengan wajah yang masih pias. Ia tertunduk sembari menyusut kedua matanya yang basah. Wanita muda itu terlihat sangat shock.Sementara Jennifer, ia membuka ponsel Zack yang layarnya memang sudah berada di perpesanan WA. Dengan cepat ia memutar video yang ada di sana. Betapa terkejutnya Jennifer melihat apa yang ada di video tersebut. Kedua mata
Hari ini Yasmin dan Surya mengunjungi rumah Zack juga Nabila. Mereka baru saja selesai makan malam bersama. Surya sudah diberitahukan oleh sang istri kalau sebenarnya Zayn bukanlah cucu mereka. Bahkan tidak ada hubungan darah sama sekali.Akan tetapi, Surya memutuskan untuk bersikap bijak. Ia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Zayn adalah putra dari Zack, menantunya. Itu cukup mengartikan kalau Zayn sama saja dengan cucunya sendiri.Setelah berkomunikasi dengan sang suami, Yasmin merasa lebih lega. Pandangan suaminya sedikit banyak ikut mempengaruhi pikirannya yang tadinya terasa kusut dan runyam. Selama ini ia tidak menyukai Nabila, karena dianggap sebagai duri dalam rumah tangga putrinya. Akan tetapi, ia tidak sanggup untuk membenci Zayn. Dirinya sudah telanjur sayang, bahkan ia merasa rindu untuk selalu bertemu balita kecil tersebut."Zayn tetaplah cucu kami," ucap Surya sembari tersenyum hangat kepada semua orang, "kami menyayangi Zayn sama seperti kepada Thomas," lanjutnya.Zack
Zack pulang kerja cukup larut, pukul 22.05 WIB. Banyak hal yang mesti dia kerjakan tadi di kantor. Meskipun memang sebenarnya semua sudah selesai di pukul 20.00 tadi, tetapi pria itu memutuskan untuk lebih lama berada di tempat kerjanya. Hal itu karena ia merasa pikirannya sedang kalut dan tidak nyaman dengan keadaannya bersama sang istri keduanya saat ini.Ya, sejak Nabila marah kepadanya, pria itu selalu kepikiran. Ia khawatir kalau wanita muda itu kembali pergi darinya. Zack masuk ke dalam kamarnya. Kemudian ia membuka jas dan kemeja kerjanya, lalu meraih handuk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai mandi, pria itu keluar. Ia tertegun sebentar di ambang pintu kamar mandi, karena ternyata ada Nabila yang tengah duduk di pinggir tempat tidurnya sekarang."Mmm, Zack ... kamu mau langsung istirahat ya?" tanya Nabila tampak kikuk."Iya. Ada apa, Nabila?" tanya sang suami heran."Oh, ya udah. Aku juga mau tidur. Besok aja," ujar Nabila sembari ban
"Ada apa kalian ini?" tanya Jennifer ketika menyadari kalau sepasang suami-istri di hadapannya tidak saling bicara satu sama lain. Hanya Zack yang tadi ia lihat mencoba mendekati sang istri ketika Nabila menyiapkan sarapan. Namun, wanita muda itu terlihat menghindar dan tidak mau menyahuti sang suami. Itu membuat Jennifer heran.Nabila masih diam sembari mengunyah makanannya dan juga membantu Zayn makan di tempatnya. Sementara Zack hanya melirik ke arah wanita muda itu."Nabila sudah tahu soal Zayn, Mom," jawab Zack datar, tetapi hatinya diselimuti rasa bersalah."Oh, jadi kamu sudah bicara?" tanya Jennifer memastikan, "bagus kalau begitu. Bukannya Nabila memang sudah dari dulu menganggap Zayn sebagai anak sendiri?""Tapi kenapa baru memberitahuku sekarang, Mom? Aku nggak terima selama ini Zack membohongiku sampai lebih dari dua tahun," sahut Nabila tidak terima."Nabila, maafkan aku ...," ucap Zack untuk ke sekian kalinya. Nabila mendengkus tak suka. Lantas ia bangkit berdiri, lalu
"Itu ...? Itu apa?" tuntut Nabila dengan raut penasaran.Zack mendekat dan duduk di samping Nabila. Ia meraih telapak tangan sang istri dengan degup jantung yang tidak keruan. "Nabila, sebenarnya ...."Wanita muda di hadapan Zack itu bersiap menyimak apa yang akan di sampaikan oleh sang suami. Sentuhan dari sang suami membuat darahnya sedikit berdesir hangat karena sudah cukup lama mereka tidak bertemu dan melakukan kontak fisik, tetapi dirinya berusaha mengabaikan rasa itu. Dengan melihat gelagat Zack yang mencurigakan seperti ini, Nabila merasa cemas dan muncul ketakutan tersendiri di lubuk hatinya. "Sebenarnya apa? Zack, kamu jangan buat aku khawatir!" tegas Nabila yang kini terlihat mulai kesal."Nabila, Zayn itu ... dia sebenarnya adalah anak kamu," jawab Zack dengan suara lirih, tetapi cukup jelas terdengar oleh telinga Nabila.Wanita muda di hadapan Zack mendengkus dan tertawa kecil. Ia heran dengan perkataan sang suami. "Zayn memang anakku!" serunya. Di dalam hatinya curiga ka