SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
Hari ini Rara sudah diperbolehkan pulang. Hendi katanya mau mengantarkan kami pulang. Namun, sudah hampir setengah jam setelah menyelesaikan administrasi, dia belum juga menampakkan batang hidungnya.Obi yang belum aku beritahu perihal itu, datang tergesa-gesa."Rara udah nunggu lama, ya? Maaf ya tadi Om Obi ketiduran," ucapnya pada Rara dengan wajah menunjukkan rasa bersalah."Rara mau pulang sama Papa, Om," jawab Rara dengan polosnya.Obi melirik padaku seolah meminta kebenaran. Aku jadi tidak enak hati pada Obi. Bisa-bisanya aku lupa bilang sama Obi."Bi, maaf banget. Aku benaran lupa bilang ke kamu," ungkapku penuh penyesalan."Nyantai aja, Kak. Nggak usah merasa bersalah gitu. Udah mau ke sini Bang Hendinya?" tanya Obi. Tidak ada terlihat raut kekesalan di wajahnya."Sepertinya begitu," jawabku tidak yakin."Ya, udah, kita tunggu aja." Obi pun menyibukkan diriSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPagi tadi Hendi mengirim pesan. Dia mengajakku untuk bertemu. Ada yang ingin dibicarakan, begitu katanya.Jujur, aku lebih nyaman jika tidak lagi berurusan dengan dia. Bukan apa-apa, hanya ingin menghindari masalah. Mengingat Nadia dan saudara-saudaranya yang sangat hobi mengangkat hal-hal sepele menjadi besar dan ujung-ujungnya memojokkan aku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidup mereka. Dengan hidupku sendiri saja aku sudah keteteran. Boro-boro ikut campur urusan orang lain.Aku memilih untuk mengabaikan. Selain yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada yang perlu dibicarakan. Dan sekarang ini semua hal tentang anak-anak tidak ada permasalahan apapun. Bisa kukendalikan sejauh ini walaupun nafkah dari Hendi sudah tidak pernah lagi disinggung-singgungnya.Yang penting aku sudah mengingatkan, bahkan berkali-kali. Dia memang sedang tidak sanggup atau sengaja tidak menunaikannya, biarlah menjadi tanggungjawab
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWaktu terus bergulir tanpa sedetik pun menjeda. Tak peduli seberapa besar atau kecil kesiapan kita untuk menjalaninya.Siap atau pun tidak sama sekali, suka atau tidak suka, nyatanya manusia hanyalah wayang yang harus mengikuti alur cerita dari Sang Pemilik skenario kehidupan.Dua tahun sudah sejak aku resmi berpisah dengan Hendi. Pahit manisnya menjalani peran sebagai orang tua tunggal silih berganti kunikmati. Jatuh, bangkit. Terjatuh lagi, bangkit lagi. Tentunya dengan topangan orang-orang terdekat yang senantiasa menguatkan.Pertemuan terakhirku dengan papanya anak-anak adalah ketika di kantor notaris. Tatkala harus menandatangani dokumen jual beli tanah yang masih atas nama kami berdua.Kabar dia dengan kehidupan barunya tidak lagi ingin kuketahui. Meskipun kabar-kabar angin sering juga singgah, hanya kudengar saja tanpa berminat mencari tahu kebenarannya.Pernah juga ramai diperbinc
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAAku akhirnya mengecek HP untuk menyibukkan diri. Namun, hanya bertahan sesaat. Aku merasa risih karena ada yang memperhatikan dari jarak dekat."Kenapa sih begitu banget ngelihatnya?" Akhirnya aku pun bertanya dengan nada sedikit sewot pada Obi."Aneh aja, tiba-tiba Kak Tiara sebegitu perhatiannya sama aku," jawabnya sambil mengulas senyum."Bukan begitu juga, sih. Aku kepikiran Bu Mai aja.""Ibu? Ibu ngomong apa lagi sama Kak Tiara?""Maksud aku, Bu Mai kan sudah memasuki usia senja dan kamu anak satu -satunya. Bu Mai pasti sangat menginginkan kamu cepat memiliki pasangan hidup, dong. Pengen gendong cucu. Sebagai mana umumnya orang tualah."Obi sudah menatap lurus ke depan. Ekspresinya terlihat serius sekarang."Kak Tiara sendiri gimana? Sudah punya ancang-ancang untuk memiliki pendamping lagi?""Kok malah nanya aku? Kalau aku sih udah jelas. Sudah pe
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUADua minggu yang lalu kami resmi menempati rumah baru yang kubeli dari hasil jerih payahku. Sebuah rumah bergaya modern minimalis di perumahan kelas menengah. Tak jauh dari pusat kota, dekat dengan sekolah dan ruko tempat usahaku.Aku bersyukur sekali atas hasil yang kuperoleh dari beberapa bidang usaha. Sebenarnya bisa saja aku fokus hanya pada dunia usaha tetapi kecintaanku pada dunia pendidikan membuatku tetap bertahan menjadi seorang pengajar. Lagi pula, sekarang aku sudah tidak terlalu kerepotan.Khalif sudah masuk ke pesantren sesuai keinginannya. Rara sekarang bersekolah di SDIT. Sedangkan Syira, dia lebih senang berada di ruko bersama pengasuhnya. Bergabung bersama beberapa orang karyawan yang kupercaya menjadi admin untuk online shop.Hari ini aku berencana untuk bersilaturrahmi ke salah seorang tetangga. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari kediamanku. Hanya rumah satu itu yang belum kusambangi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini adalah hari libur. Pengasuh Syira juga minta izin untuk libur. Rara ikut pulang ke rumah ibu kemarin. Hanya aku dan Syira di rumah. Aku berencana untuk membawa Syira bersamaku ke ruko. Kami menunggu jemputan dari kantor. Syira mengajakku untuk bermain di luar. Aku mengikuti ke mana Syira berjalan. Kadang dia pun berlari kecil mengikuti seekor kucing milik salah seorang tetangga."Hai Adek Cantik! Lagi main apa?" Terdengar sapaan laki-laki dari balik pagar. Disusul oleh suara pagar yang digeser. Ternyata kami sudah sampai di depan rumah Bayu. "Mpus lucu," jawab Syira sambil menunjuk seekor kucing yang sudah tiduran di samping pot bunga yang ada dekat gerbang rumah Bayu."Eh, ada tetangga baru. Libur, ya?" tanya Bu Juwita yang baru saja keluar lewat pintu depan. Wanita itu sudah berdandan cantik dan rapi. Sepertinya mereka akan pergi."Nggak, Bu. Lagi nunggu jemputan."
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUABayu sudah berada di undakan tangga teratas. Hanya dua langkah dari tempatku berdiri. Bisa-bisanya dia muncul secepat ini. Padahal aku sudah berencana keluar lebih awal untuk menghindarinya."Kok bisa ada di sini?" tanyaku sambil buru-buru melangkah turun. Tidak ada siapa-siapa di lantai atas kecuali kami."Tadi kan udah bilang, sore mau mampir. Kebetulan baru aja ketemu klien dekat sini.""O ...," jawabku singkat."Mau langsung jalan?" tanya Bayu tanpa alih-alih.Aku mendelik padanya dengan penuh keheranan. Sementara dia memasang wajah santai tanpa dosa. Aku melirik ke arah karyawan yang terlihat tengah menyibukkan diri. Kutahu mereka hanya berpura-pura tidak acuh. Padahal sebenarnya mereka tengah memendam keingintahuan yang sedang menggebu-gebu."Jalan ke ...?" Aku sengaja menggantung kalimat."Pulang ke rumah kita," ucapnya santai. Sesaat kemudian langsung meralat ucapannya, "M
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUABegitu sampai di ruko, aku langsung berbenah. Memasukkan beberapa dokumen yang akan dibawa pulang ke dalam tas. Beberapa kali HP-ku berdering. Nama Bayu tertera di sana. Kuabaikan saja dulu. Aku harus buru-buru ke rumah Ibu. Pengasuh Syira sedang sakit sehingga aku harus kembali menitipkan Syira pada Ibu. Nomor yang pernah digunakan Nadia untuk meneleponku tempo hari sudah kublokir. Aku tidak harus repot-repot mendengar umpatannya. Di saat aku selesai berkemas, Obi juga datang. Aku sangat tahu maksud kedatangannya. Sepertinya dia bisa membaca situasi, sehingga tidak langsung memberondongku dengan pertanyaan seputar kejadian beberapa saat yang lalu. "Buru-buru banget. Mau pulang ke rumah ibu atau ke rumah sini?" "Ke rumah ibu. Syira sama Rara di sana," jawabku. "Bareng aku aja! Aku juga mau pulang. Sekalian bawain titipan Rara." "Rara nitip apa?" tanyaku heran. Rar
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA(Pov Nadia)Akhirnya aku bisa juga menghempaskanTiara. Sekarang akulah satu-satunya wanita yang ada di sisi Hendi. Aku tidak harus berjuang berdarah-darah bersamanya. Dia sudah menapaki keberhasilan. Menjadi istri kontraktor yang sedang kebanjiran proyek membuat aku bisa kembali ke kehidupanku yang glamor. Hendi tidak terlalu banyak larangan padaku bahkan bisa dibilang cukup mudah untuk menaklukkannya. Apalagi beberapa proyek yang berhasil dia dapat berkat kontribusi Om Santo, sepupu Mami. Hendi merasa berutang budi. Itu angin segar untukku. Perlahan kubatasi gerak-geriknya dan aku pun memanfaatkan kesempatan dengan meminta dibelikan sebuah rumah mewah di kota Lampung. Di kota itu ada beberapa temanku sewaktu masih aktif di dunia modeling. Aku mengajak Hendi untuk menetap di sana, biar waktunya lebih efisien dalam mengurus pekerjaannya. Padahal maksud yang sesungguhnya aku ingin menjauhkan dia dar
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,