SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA
Part 15Hampir satu bulan sejak Hendi terakhir mentransfer uang untuk anak-anak. Jumlah yang separuh nya lagi belum juga kunjung digenapi. Sekarang sudah berganti bulan.Ini adalah salah satu hal yang aku khawatirkan dulu makanya aku mencoba bertahan. Setelah berpisah, jarak antara kami akan semakin terbentang. Tidak akan ada lagi keleluasaan dalam hal apapun. Akan tetapi, mau diapakan lagi. Setiap pilihan pasti ada resikonya.Sejak dahulu, aku sudah terbiasa hemat dan hidup sederhana dan masih kuterapkan hingga saat ini. Walaupun berhemat, aku tidak mau anak-anak menjadi kekurangan. Sedapat mungkin segala yang dibutuhkan bisa secepatnya dipenuhi. Mau tidak mau, uang tabungan harus dikorbankan.Aku mencoba menghubungi Hendi. Hanya semata-mata untuk mengingatkan dia akan kewajibannya. Akan tetapi, sudah tiga kali aku teleponku masuk, tidak ada respons darinya.Kutaruh kembali HP. Tak lama berselang, laSINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASetelah pertemuan tak sengaja waktu itu, Hendi menepati janjinya. Ia datang ke rumah Ibu untuk mengunjungi anak-anak.Pelan-pelan Rara mulai mamahami keadaan kami. Dia sudah bisa mengerti bahwa papa dan mamanya tidak lagi tinggal di rumah yang sama sehingga tidak setiap waktu bisa berkumpul seperti dulu lagi.Sedangkan Khalif sudah sepenuhnya mengerti kalau kedua orang tuanya sudah tidak lagi terikat dalam pernikahan. Sehingga tidak boleh lagi tinggal bersama. Kuakui, sulit bagiku menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya. Beruntung Khalif termasuk anak yang tidak egois. "Kakak nggak apa-apa kok, kalau Mama dan Papa sudah tidak bersama lagi. Yang penting Mama sudah tidak bersedih lagi." Aku terharu mendengar tanggapan Khalif. Ternyata selama ini diam-diam dia tahu apa yang selama ini kurasakan."Tapi, walaupun Papa tidak lagi bersama kita, Papa tetap sayang sama Kakak dan adik
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAMemiliki lingkar pertemanan yang sama dengan Hendi, membuatku agak sulit untuk melepaskan diri dari kenangan bersamanya.Sama-sama menjadi pengurus OSIS ketika SMA dan aktif di organisasi kemahasiswaan semasa kuliah. Di mana aku berada pasti akan ada dia, begitulah bertahun-tahun kami lalui.Beruntung, semenjak pernikahannya dengan Nadia, Hendi pelan-pelan senyap dari grup-grup alumni. Aku pun berlahan-lahan menarik diri. Baru belakangan ini saja aku mulai sesekali muncul.Segera aku menghubungi Ricky, mempertanyakan perihal transferan puluhan juta ke rekeningku."Aku sudah bilang, aku bukan makelar, nggak usah dikasih fee segala. Kirim aku no rekening, ya. Aku kirim balik," ucapku pada Ricky."Kak Tiara jangan gitu, dong! Memang sudah seharusnya seperti itu." "Tapi kita tidak pernah punya kesepakaran tentang hal itu," tekanku."Please, jangan ditolak. Kalau Kak Tiara nggak
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUATak lebih dari sepuluh menit, Obi sudah datang lagi dengan mengendarai mobil. Entah mobil siapa, aku belum sempat bertanya. Dia langsung menggendong Rara ke mobil. Kami bertiga pun mengekorinya.Aku memangku Rara di bangku belakang. Sedangkan Khalif di depan memeluk Syira yang mulai mengantuk."Kita langsung ke IGD aja, ya, Kak." Hanya satu kalimat itu yang terucap dari Obi di sepanjang perjalanan. Aku pun menyetujui, Rara harus secepatnya mendapat pertolongan medis.Setelah memarkir mobil, Obi langsung menggendong Rara ke IGD. Aku mengambil alih Syira dari Khalif dan mengikuti Obi.Setelah menjalani pemeriksaan awal, dokter menyampaikan bahwa Rara harus diopname. Tanpa diminta, Obi langsung ke bagian administrasi dan pendaftaran.Tak berselang lama, dua orang perawat datang menghampiri dan memberitahu kalau Rara akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dan Khalif mengikuti dua perawat yang m
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA"Proyek Bang Hendi yang di Lampung sedang bermasalah. Dengar-dengar, proyek itu cuma upaya cuci uang dari teman Pak Santo, yang sepupunya Mami Nadia itu. Pengerjaannya sudah dihentikan sejak bulan lalu. Sedang disegel untuk mempermudah penyidikan katanya sih."Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturan Obi. Walau sebenarnya aku kaget juga. Padahal proyek itu bernilai fantastis. Bisa dibilang itulah proyek terbesar yang didapat Hendi selama dia menekuni dunia kontraktor."Katanya, pemiliknya itu seorang wakil rakyat di provinsi. Dia sedang tersandung masalah penyalahgunaan dana hibah atau apalah gitu, nggak paham juga. Mana Bang Hendi udah terlanjur DP-in rumah buat menetap di sana. Lagi pusing banget kayaknya," lanjut Obi menjelaskan. "Kan ada keluarga Nadia. Pasti cepat kelarlah masalahnya," jawabku sekadar menimpali."Boro-boro ngebantu, keluarganya pun lagi banyak masalah. Sekarang lagi hangat-h
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWajah Hendi juga menampakkan keterkejutan atas pertemuan tidak disengaja ini."Papa mau nengok Rara?" tanya Khalif dengan polosnya."Rara? Rara kenapa?" tanya Hendi kebingungan."Rara lagi sakit. Ayo, Pa, kita ke kamar Rara! Ada di lantai tiga." Khalif langsung menarik tangan Hendi.Kalau Hendi ada di sini, berarti benar yang kulihat tadi adalah Nadia. Aku pun bergegas mengikuti Khalif yang telah berjalan terlebih dahulu."Rara sakit apa?" tanya Hendi padaku ketika kami sudah berada di dalam lift.Rasanya malas untuk menjawab. Untungnya HP-ku berdering sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan Hendi."Kamar Rara sebelah sini, Pa." Khalif kembali menjadi pemandu untuk papanya. Sesampai di depan pintu, samar terdengar suara celotehan Syira. Khalif langsung membuka pintu. Di tempat tidurnya, Rara berbaring sambil memeluk boneka beruang yang berukuran lebih besar dari tu
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHari ini Rara sudah diperbolehkan pulang. Hendi katanya mau mengantarkan kami pulang. Namun, sudah hampir setengah jam setelah menyelesaikan administrasi, dia belum juga menampakkan batang hidungnya.Obi yang belum aku beritahu perihal itu, datang tergesa-gesa."Rara udah nunggu lama, ya? Maaf ya tadi Om Obi ketiduran," ucapnya pada Rara dengan wajah menunjukkan rasa bersalah."Rara mau pulang sama Papa, Om," jawab Rara dengan polosnya.Obi melirik padaku seolah meminta kebenaran. Aku jadi tidak enak hati pada Obi. Bisa-bisanya aku lupa bilang sama Obi."Bi, maaf banget. Aku benaran lupa bilang ke kamu," ungkapku penuh penyesalan. "Nyantai aja, Kak. Nggak usah merasa bersalah gitu. Udah mau ke sini Bang Hendinya?" tanya Obi. Tidak ada terlihat raut kekesalan di wajahnya."Sepertinya begitu," jawabku tidak yakin."Ya, udah, kita tunggu aja." Obi pun menyibukkan diri
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAPagi tadi Hendi mengirim pesan. Dia mengajakku untuk bertemu. Ada yang ingin dibicarakan, begitu katanya.Jujur, aku lebih nyaman jika tidak lagi berurusan dengan dia. Bukan apa-apa, hanya ingin menghindari masalah. Mengingat Nadia dan saudara-saudaranya yang sangat hobi mengangkat hal-hal sepele menjadi besar dan ujung-ujungnya memojokkan aku. Padahal aku tidak pernah mengusik hidup mereka. Dengan hidupku sendiri saja aku sudah keteteran. Boro-boro ikut campur urusan orang lain.Aku memilih untuk mengabaikan. Selain yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada yang perlu dibicarakan. Dan sekarang ini semua hal tentang anak-anak tidak ada permasalahan apapun. Bisa kukendalikan sejauh ini walaupun nafkah dari Hendi sudah tidak pernah lagi disinggung-singgungnya.Yang penting aku sudah mengingatkan, bahkan berkali-kali. Dia memang sedang tidak sanggup atau sengaja tidak menunaikannya, biarlah menjadi tanggungjawab
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAWaktu terus bergulir tanpa sedetik pun menjeda. Tak peduli seberapa besar atau kecil kesiapan kita untuk menjalaninya.Siap atau pun tidak sama sekali, suka atau tidak suka, nyatanya manusia hanyalah wayang yang harus mengikuti alur cerita dari Sang Pemilik skenario kehidupan.Dua tahun sudah sejak aku resmi berpisah dengan Hendi. Pahit manisnya menjalani peran sebagai orang tua tunggal silih berganti kunikmati. Jatuh, bangkit. Terjatuh lagi, bangkit lagi. Tentunya dengan topangan orang-orang terdekat yang senantiasa menguatkan.Pertemuan terakhirku dengan papanya anak-anak adalah ketika di kantor notaris. Tatkala harus menandatangani dokumen jual beli tanah yang masih atas nama kami berdua.Kabar dia dengan kehidupan barunya tidak lagi ingin kuketahui. Meskipun kabar-kabar angin sering juga singgah, hanya kudengar saja tanpa berminat mencari tahu kebenarannya.Pernah juga ramai diperbinc
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,