Pergi dalam kondisi perut lapar dan tertekan rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi atmosfer yang sangat tidak mengenakan terpancar dari aura wajah lelaki bermanik hitam kelam di sisinya. Pemandangan di luar jendela sepertinya lebih menarik dan menyenangkan, daripada Sanaya harus menatap sang tunangan yang berwajah menyebalkan.ck!Saat pergi meninggalkan Restoran, Sanaya belum sempat berpamitan pada Dilan, dikarenakan pemuda itu yang tidak berada di tempatnya. Cemas sekaligus gelisah merajai pikiran Sanaya sedari tadi. Takut jika Dilan marah atau tersinggung karena dia sama sekali belum menyentuh masakannya.Rencana pergi bersama pun harus tertunda, dan bodohnya dia yang belum sempat mengatakan apapun, mengenai acara dadakan ini. Sanaya harus datang ke rumah Leo untuk melihat contoh souvernir pernikahannya. Ajakan sang calon mertua yang tidak bisa dia tolak.Leo menghentikan laju mobil saat lampu lalu lintas berubah merah. Menarik tuas rem, lalu menoleh ke arah Sanaya. "Udah tau'kan
Sesi pilih memilih souvernir pun akhirnya selesai. Sekitar pukul delapan malam mama Anne meminta Leo untuk mengantar Sanaya pulang ke apartemennya. Beliau tidak mau sang calon menantu kemalaman."Kamu bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut, ya? Jangan sampe menantu mami yang cantik ini lecet. Awas aja!" pesan mama Anne pada anak lelaki satu-satunya itu.Leo hanya menanggapinya dengan anggukan seraya berpikir, kenapa sang mami begitu menyukai Sanaya. Padahal jika dilihat-lihat tidak ada yang spesial dari calon istrinya itu. Kalau dibilang cantik, sih, Sanaya memang cantik. Menarik dan enak dipandang. Memiliki bodi bak model kenamaan. Kulitnya juga sang bersih, putih dan terawat.Namun, apalah arti semua itu, jika dia tidak bisa mencicipi atau merasainya terlebih dulu. Berbeda dengan kekasihnya yang terpaksa harus dia sembunyikan. Leo bahkan sudah menikmati setiap jengkal tubuh sang kekasih yang sangat dia cintai itu."Nay pulang dulu, ya, Mi …." Sanaya berpamitan sekali lagi pada mami, mem
Leo memagut sebentar bibir Sanaya, beringsut mundur sambil tersenyum miring. "Malam ini kamu terbebas lagi, Sayang. Tapi lain kali gak akan," ucapnya seraya mengusap bibir bawah tunangannya itu dengan ibu jari.Seandainya, Leo tidak mendapat telepon dadakan dari sang kekasih, mungkin detik ini juga Sanaya sudah dia kerjai. Sayangnya, niat tersebut lagi-lagi harus tertunda, lantaran prioritas kekasihnya lebih penting.Sementara Sanaya tentu langsung bernapas lega, karena akhirnya bisa terbebas dari singa lapar. "A-aku turun." Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Leo mencegahnya."Biar aku yang buka." Leo pun turun, lalu mengitari badan mobil.Dari dalam mobil Sanaya mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap Leo yang tidak seperti biasa. "Dia kenapa? Tumben mau bukain pintu?" gumamnya, lalu turun dari mobil setelah Leo membukakan pintu untuknya."Besok aku jemput kaya biasanya." Leo berkata seraya memegang lengan Sanaya. Menatap calon istrinya sejenak, lalu mendaratkan ciuman lagi
"Mbak Sanaya ngapain ke sini?"deg!'Mbak? Dilan manggil aku Mbak lagi?'Terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Dilan, terlebih lelaki itu memanggilnya dengan sebutan Mbak. Sanaya sampai tak bisa berkata-kata. Datarnya suara Dilan membuatnya semakin serba salah.Mereka sempat sepakat tidak akan bicara formal ketika sedang berdua saja. Namun, malam ini kesepakatan tersebut nyatanya tak berlaku lagi, lantaran Dilan yang mungkin sedang merasa kesal."Aku … aku mau jelasin—""Jelasin apa, Mbak? Gak ada yang perlu dijelasin. Semua gak ada gunanya," sela Dilan memotong ucapan Sanaya dengan raut kecewa. Dia melanjutkan menghisap rokok yang ada disela-sela jarinya, lalu membuang asal asapnya.Penjelasan? Apa penting baginya sebuah penjelasan? Bila pada kenyataannya hubungan mereka memang tak pernah berarti apa-apa bagi Sanaya.Sanaya mendekat, meskipun hatinya terasa sakit mendengar ucapan Dilan yang terdengar menusuk. Lelaki di hadapannya ini benar-benar marah hingga tak mau mendengarka
"... Selama ini aku berusaha tahan. Aku berusaha nahan perasaan aku ke Mbak Sanaya. Tapi tetep gak bisa! Kenyataannya, perasaan aku emang gak bisa diilangin gitu aja. Aku cinta sama Mbak Sanaya. Aku sayang sama Mbak Sanaya. Mbak denger! Aku suka sama Mbak Sanaya.""Dilan …?"Pernyataan Dilan jelas membuat Sanaya termangu. Ketakutannya pun akhirnya menjadi kenyataan. Dilan menyimpan rasa untuknya selama ini.Lalu Sanaya? Bagaimana dengan perasaannya sendiri?"Nay ..." Dilan mengusap pipi Sanaya, hingga membuat perempuan itu terkesiap, lalu menatapnya nanar. "Maaf, aku udah melanggar kesepakatan kita. Aku gak bisa nahan perasaan ini, Nay. Aku gak bisa."Seringnya bersama, justru seperti sebuah pupuk yang memupuk benih cinta di dalam hatinya untuk Sanaya. Dilan sudah berusaha memupus harapan dan angan untuk bisa menjalani kehidupan bersama perempuan pemilik hatinya ini.Namun, hari ini ketika dia melihat Sanaya disentuh oleh laki-laki lain, hatinya berontak, merasa tidak terima. Dilan se
Seminggu berlalu, pernikahan Sanaya dan Leo tak terasa sudah semakin dekat. Setelah memilih souvernir pernikahan, maminya Leo mengajak calon menantunya yang paling cantik berbelanja ke sebuah Mall terbesar di ibu kota. Kali ini wanita paruh baya itu ingin melihat hasil cincin pernikahan yang telah dipesan sejak dua bulan lalu.Sanaya bisa apa, selain menuruti permintaan calon mertuanya. Padahal rencananya, dia dan Dilan hendak pergi jalan-jalan setelah dari restoran. Tetapi, mami Anne tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi."Nay, abis dari toko perhiasan kita belanja yuk! Nanti kamu bisa pilih sendiri apa yang kamu mau buat seserahan," ujar Mami Anne antusias. Maniknya berbinar dan tak sabar ingin segera merayakan pesta tersebut.Keduanya lantas turun dari mobil, lalu masuk ke Mall yang cukup ramai, apabila di siang hari seperti sekarang. Mami Anne menggandeng tangan Sanaya, seolah dia tak menjaga jarak sama sekali dengan calon menantunya ini."Gimana, Nay, kamu mau, gak?" Mami Anne s
Menyudahi membicarakan Leo, mami Anne lantas beralih pada sang menantu."Gimana, Nay, suka gak?" tanya mami."Bagus, kok, Mom." Sanaya tersenyum, menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Secara sadar dia pun berandai-andai, apabila cincin tersebut dari Dilan.'Ah, mikir apa aku ini?' Sanaya menggelengkan kepala, mengenyahkan harapan yang hadir dalam benaknya."Pas?" Meriana menimpali.Sanaya menatap Meriana, kemudian menyahut, "Pas, kok,Tan."Cincin pernikahan yang dibelikan calon mertuanya ini bagi Sanaya sangatlah spesial. Tak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai bukti jika mereka sangat menghargai hubungan ini. Mami Anne lah yang paling antusias dengan pernikahan ini. Sanaya merasa sangat berdosa dan bersalah lantaran telah membohonginya."Sayang, Leo gak bisa ikutan nyoba," ucap Meriana.Mami Anne pun menyayangkan ketidak hadiran Leo. "Mungkin beberapa hari lagi dia bisa ke sini, Mer," ucapnya sambil mengambil cincin yang akan dipakai Leo. "Ini kayanya juga uda
"Bentar, Dilan." Langkah Sanaya terhenti karena ponselnya berdering. Dilan pun ikut menghentikan langkahnya. "Kenapa, Nay?" tanyanya, sambil memperhatikan Sanaya. "Hape aku bunyi. Aku cek dulu." Tergesa, Sanaya melepas genggaman tangan Dilan, lalu membuka tas selempang yang menjuntai di dadanya. Mengambil benda pipih yang tak kunjung berhenti berdering itu, nama pemanggil yang tertera di layar sontak mengerutkan kening Sanaya. Manik Dilan yang sedari tadi masih memperhatikan kemudian berkata, "Angkat aja, Nay. Maminya Leo 'kan?" "Iya." Pandangan Sanaya terangkat, beralih pada Dilan. "Aku jawab apa kalo misalkan Mami nanya?" Dia seakan sedang meminta bantuan Dilan, lantaran bingung ingin menjawab apa. "Bilang aja kamu balik ke restoran. Soalnya urgent," ujar Dilan memberi saran. "Oke." Sanaya mengangguk mantap, kemudian mengatur napasnya sesaat untuk mengenyahkan gugup. Menggeser tombol hijau ke atas, lalu menyapa, "Halo, Mom?" Semacam ada sesuatu yang mengganjal di dada Sanaya
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak