"Itu..." Dilan terdiam sesaat, menggantung kalimatnya di ujung bibir."Itu apa?" Sanaya benar-benar sudah tidak sabar."Kami... intinya gak pacaran, Mbak. Udah itu. Sama kaya Mbak dan Leo. Yang tahu-tahu dijodohkan. Kurang lebih aku sama Bianca kaya gitu." Dilan tidak bohong, memang seperti itu hubungannya dengan Bianca. Tidak ada yang spesial."Tapi, Dilan—""Ssstt! Udah Mbak. Gak usah dibahas lagi." Telunjuk Dilan menempel di bibir Sanaya, merasa enggan dan malas jika harus membahas mengenai hubungannya bersama Bianca. "Sekarang kita bahas masalah kita yang sempat tertunda." Menarik kembali telunjuknya, kemudian beralih ke sisi wajah Sanaya lagi.Seketika Sanaya menelan ludah. Ingatannya berkelana pada kejadian malam itu, dan mimpi-mimpi yang sempat dia alami. Ah, memalukan! Di saat seperti ini, mengapa otak Sanaya justru mengingat aktivitas panas tersebut."Mbak?" tegur Dilan, karena Sanaya malah asyik melamun sendiri. "Mbak hamil gak?""A-apa? Hamil?" Manik Sanaya bergerak gelisah
Konyol, apa yang ada di kepalamu, Sanaya? Apa? Detik ini kamu sedang menggali kuburanmu sendiri, pikirnya dalam diam.Sanaya menghela, seraya menurunkan tangannya dari pundak Dilan. Pemuda itu sama sekali tidak merespon atau pun segera menjawab pertanyaan darinya. Hingga beberapa saat menunggu, dengan keheningan yang tercipta, akhirnya Sanaya memilih melupakan apa yang telah dia lontarkan barusan.Ketika hendak berbalik, punggung Dilan berbalik, hingga pada akhirnya Sanaya mengurungkan niatnya.Manik mereka seketika bertemu dan saling beradu pandang. Dilan menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Wajah yang baru saja menawarinya sebuah kesepakatan."Kamu sadar sama apa yang kamu ucapkan barusan, Nay?" tanya Dilan, yang tak habis pikir mengapa pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu."Sadar," sahut Sanaya sambil mengangguk. Meski jantungnya kini semakin memompa lebih cepat dari biasanya, sebisa mungkin dia menutupi kegugupannya.Dilan menghela pendek, lalu meraih tangan Sanaya
Langkah kaki Sanaya mengayun dengan malas, saat memasuki area lobi kantor Leo. Andai saja, bukan mami Anne yang memintanya untuk datang ke sini, sudah pasti Sanaya akan menolak hal tersebut mentah-mentah. Sayangnya, Sanaya tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan calon mertuanya itu.Di tangannya kini ada dua paper bag berisikan makan siang yang dia buat khusus untuk Leo. Menu makanan favorit calon suaminya itu, dibuat sendiri oleh Sanaya sesuai arahan dari mami. Ini pun kali pertama dia datang ke kantor Leo, semenjak dirinya berstatus sebagai tunangan dari Presdir di perusahaan ternama tersebut."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Leo?" tanya Sanaya pada salah satu resepsionis perempuan yang tengah sibuk memandangi layar komputer.Resepsionis tersebut menoleh, dan menampilkan senyum ramah. "Apakah sebelumnya sudah ada janji dengan beliau?" tanyanya yang merupakan bagian terpenting. Atasannya terkenal dingin dan agak arogan, tak pernah mau menemui tamu jika belum membuat j
Brak!Sanaya keluar, lalu membanting pintu ruangan Leo dengan kasar. Kepalanya terus menunduk, sambil memegangi pipi sebelah kiri. Rasa nyeri yang dia rasakan tak seberapa dibanding dengan rasa malu yang harus dia terima, lantaran saat ini semua orang yang berpas-pasan dengannya menyorotnya penuh tanya.Meskipun ingin, tetapi Sanaya tidak mungkin menangis di sepanjang lorong kantor. Dia berharap bisa segera keluar dari kantor tersebut dan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya."Sshh...." Sanaya mendesis kala rasa nyeri merajai seluruh permukaan kulit wajah dan tubuhnya. "Tuhan... beri aku kekuatan." Maniknya menatap iba pada setiap goresan luka yang ditinggalkan oleh Leo di sekujur tubuhnya. Dia tahu, konsekuensi seperti inilah yang akan diterimanya bila berani membantah atau pun melawan sang tunangan brengseknya itu.Ting!Pintu lift terbuka lebar, buru-buru kaki jenjang Sanaya melangkah masuk ke benda berjalan tersebut. Beruntung, di dalam sana tidak ada orang lain
'Dilan?' Sanaya mengulang kalimatnya dalam hati, mengerjapkan bulu mata lentiknya sekali sambil mengatur napas yang mendadak memburu. Tatapan manik kelam Dilan seakan menggiringnya pada kenangan kejadian malam panas itu. Atmosfer di dalam ruangan lift terasa memanas padahal jelas-jelas suhunya sudah begitu rendah. Dilan kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk menyentuh sudut bibir Sanaya yang terluka. Tak perlu dia bertanya perihal luka tersebut, sudah pasti pelakunya adalah Leo. Tetapi, yang jadi pertanyaan Dilan saat ini ialah, mengapa Sanaya bisa berada di gedung apartemennya. Apa yang ingin dilakukan Sanaya di sini, pikir Dilan. "Ini pasti ulah si brengsek itu? Iya 'kan?" tanya Dilan setelah berhasil mengendalikan emosi agar tidak meluapkannya detik ini juga. Dadanya memanas, ketika dia harus melihat perempuan yang dia sayang mengalami hal yang menyakitkan. "Bukan." Sanaya menampik, lalu melengos ke arah lain, menurunkan pandangan untuk menatap kaki Dilan yang tak berjarak s
"Ini udah di luar batas, Nay. Ini udah bisa digolongkan tindak kekerasan fatal dan kamu bisa melaporkan Leo ke polisi. Kamu bisa visum ke rumah sakit buat dijadiin bukti. Aku bisa bantuin kamu jeblosin dia ke penjara." Dilan mulai melontarkan argumen sekaligus saran untuk Sanaya yang baru saja selesai dia kompres air dingin. Menyerahkan dua butir obat kepada Sanaya, beserta segelas air yang masih tersisa separuh. Sanaya hanya diam, tak menanggapi mau pun mengiyakan saran Dilan. Menerima obat dari Dilan, lalu segera meminumnya. Setelahnya mengembalikan gelas tersebut ke nakas samping ranjang tidur. "Saya gak bisa," tolaknya tegas, sambil mengalihkan pandangan ke arah lain."Kenapa gak bisa? Kamu babak belur kaya gini, masih aja belain dia. Ck!" Dilan kesal mendengar penolakan tegas Sanaya, merasa heran dengan jalan pemikiran gadis di hadapannya ini. "Kenapa? Takut? Apa yang kamu takutin, Nay?" cecarnya, melanjutkan mengolesi salep pada lengan dan siku Sanaya yang lebam. "Kamu udah t
"Dilan, kamu tahu 'kan saya gak bisa—" "Iya, aku tahu, Nay," sela Dilan yang tahu ke mana arah perkataan Sanaya. Sejak kemarin dia pun berpikir soal tawaran kesepakatan ini. Memang sangat tidak masuk akal, jika dia dan Sanaya menjalin hubungan diam-diam seperti ini. Namun, hanya dengan cara ini pula Dilan bisa terus berada di sisi Sanaya. Permintaan sederhana yang pastinya akan sangat berisiko bagi mereka. Itu artinya, dia siap menjadi laki-laki simpanan Sanaya. Sementara hatinya tak mungkin bisa berbohong bila apa yang dirasakan tak sekadar ingin melindungi, melainkan ada rasa ketertarikan melebihi perasaannya dulu."Makasih, Dilan. Makasih." Sanaya menghambur ke pelukan pemuda itu. Tak segan melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan kepalanya di dada bidang tersebut. Akhirnya, Dilan mau menerima tawarannya. Tak apa, meski hanya sebatas FRIENDS WITH BENEFIT. Sanaya juga tidak bisa melakukan hal lebih dari itu lantaran ada hati yang harus dia jaga. Demi ayah dan demi kewar
Dilan ambruk ke samping tubuh Sanaya dengan deru napas memburu. Pelepasan yang baru saja dia raih benar-benar berbeda rasanya. Nikmat, sampai tak bisa dijabarkan lewat kata-kata. Lantas dia memiringkan kepala agar bisa menatap wajah Sanaya. "Thanks, Nay," ucapnya seraya mengelus puncak kepala gadis yang sama-sama tengah mengatur napasnya. Sanaya menoleh, kemudian hanya mengulas senyum. Percintaannya dengan Dilan kembali terulang dan kali ini dia benar-benar menikmati setiap sentuhan pemuda itu. Lembut hingga mampu membuatnya selalu ketagihan. Bahkan, Sanaya sampai menjeritkan nama Dilan berkali-kali ketika dia berada di puncak klimaks. Dilan memiringkan tubuh, menopang kepalanya dengan satu tangan dan memindai tubuh polos Sanaya yang terdapat banyak lebam. "Aku tadi kasar, gak? Kamu kesakitan, gak?" tanyanya merasa khawatir sambil menyentuh lengan Sanaya, mengusapnya, lalu mengecupnya. Sebenarnya tadi Dilan sempat ingin menghentikan niatnya tersebut, mengingat jika Sanaya sedang ti
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak