"Kamu ngapain di sini?" tanyaku pada pria yang sedari tadi terus melihatku dan Devano. "Kamu kenal, dia?" Devano bertanya. Aku menganggukkan kepala. Sedangkan pria yang berdiri di antara aku dan Devano, mengulurkan tangan ke arah pengacaraku seraya menyebutkan namanya. "Soni. Adik ipar Mbak Ranum." Devano manggut-manggut, lalu menerima uluran tangan adik dari suamiku itu. Keberadaan Soni di sini bukanlah rencanaku. Dia yang berinisiatif mengikutiku ketika melihat kendaraanku di jalan tadi. Devano sempat mencurigai Soni. Dia menganggap, Soni berada di pihak Mas Sandi dengan memata-mataiku. Namun, segera kujelaskan jika adik iparku itu berada di pihakku. Soni juga bersedia menjadi saksi di persidangan perceraianku nanti. "Kita harus masuk, Num," ujar Devano setelah beberapa saat kami saling bicara. Aku mengangguk, mengikuti langkah kaki Devano. Namun, pria itu berhenti saat menyadari Soni ikut bersama kami."Kamu ngapain ikut?" "Memangnya ada larangan aku tidak boleh ikut mas
"Jadi, Ranum beneran sudah menggugat cerai Sandi?" tanya Mama. Pagi ini aku kedatangan ibu mertua yang sengaja menemuiku untuk menanyakan gugatan yang aku layangkan. Mas Sandi sudah mengetahuinya, dia memberi tahu Mama, dan sekarang di sinilah aku. Duduk di samping ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri. Kasih sayang dia sama seperti ibu, saat aku masih bersama anaknya. Bahkan, bisa dikatakan lebih menyayangiku dibandingkan menantunya sekarang. "Maafkan Ranum, Mah. Bukannya tidak mau berjuang, tapi rasanya percuma jika berjuang seorang diri. Bisa Mama lihat sendiri, kan bagaimana Mas Sandi. Tidak pernah sekalipun dia datang ke sini untuk minta maaf, atau menengok Shanum." Sudah dua minggu dari kepergianku, dan sudah satu minggu gugatan aku layangkan ke pengadilan. Namun, tidak ada itikad baik dari Mas Sandi untuk memperbaiki. Sepertinya dia memang sudah pasrah berpisah dariku. Kemarin, aku hanya mendapatkan pesan ancaman dari Mawar yang katanya akan menggugat hak a
"Ranum, kamu dengarkan aku baik-baik. Kamu tidak akan bisa memenjarakanku dengan tuduhan perzinahan. Kenapa? Karena aku sudah menikah dengan Mawar. Aku dan dia tidak zinah. Hubungan kami sah, secara agama." "Aku tahu itu," ujarku masih santai. Kedua kaki aku lipat, kemudian sebelah tangan mengeluarkan uang dari dalam amplop berwarna cokelat. Aku tersenyum, melihat jumlahnya yang lebih dari tiga puluh lembar berwarna merah. "Kalau tahu, kenapa harus melaporkanku dengan tuduhan itu?" ujar Mas Sandi lagi terdengar kesal. "Kamu menikah baru enam bulan, 'kan? Sedangkan dari pernyataan kamu, kalian sudah menjalin hubungan gelap selama satu tahun. Kamu pikir, enam bulan sebelum menikah kalian mondok bareng di pesantren, gitu? Pasti hotel tujuan kalian!" Aku berujar lantang. Rumah yang kosong, membuatku leluasa untuk berteriak bicara kerasa pada calon mantan suami itu. Mas Sandi mengerang. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan melangkah sejauh ini. Untuk beberapa saat kami saling di
Melihat wajah itu, membuatku semakin merasa bersalah. Namun, semuanya sudah terlanjur. Dan untuk mengobati rasa rindu dia pada ayahnya, kali ini aku akan membawa Shanum bertemu dengan Mas Sandi. Mudah-mudahan, itu bisa membuat hati Shanum merasa bahagia. "Bunda, kita akan ke mana?" tanya Shanum saat tahu jalan yang aki lewati bukan ke arah rumah. "Kita ke taman sebentar, ya? Tadi, Bunda beli makanan dari supermarket buat kita nikmati di sana.""Wah ... apa makanan itu ice cream, Bunda?" "He'em. Rasa strawberry!" ujarku semakin membuat mata Shanum berbinar bahagia. Beberapa menit berkendara, kini aku dan Shanum sudah sampai di taman. Suasana sangat sejuk dengan banyak pepohonan besar di sekelilingnya. Namun, belum kulihat sosok ayah dari putriku ada di sini. Aku masih memindai sekitar sampai akhirnya mataku jatuh pada pria yang duduk di bangku panjang seorang diri. Ke mana istrinya? Ah, bodoh amatlah ke mana pun wanita itu, bukan urusanku. "Yuk, kita turun, Sayang." Shanum be
Aku sedikit melebarkan mata, kemudian menggelengkan kepala seraya menyunggingkan senyum manis kepada suamiku itu. Iya, suami. Sampai detik ini, dia masih suamiku. Belum ada kata talak yang keluar dari bibirnya. Namun, tetap saja aku enggan berperan sebagai istri yang harus melayani suami. Rasanya sudah beda. Hambar. Tidak ada lagi cinta ketika menatap wajahnya. Yang aku lihat hanyalah pengkhianatan dia dengan Mawar. Mas Sandi manggut-manggut. Dia menegakkan tubuh seraya menarik napas dalam-dalam. "Yah, sudah aku duga kamu tidak akan menginginkannya. Aku cukup tahu diri akan kesalahanku. Tapi ... bolehkah aku mengucapkan sesal?" Aku sedikit tersentak dengan ucapannya. Namun, kembali aku tersenyum dengan mata menatap pada sepasang netra yang begitu mirip dengan Shanum itu. "Sesal? Apa yang kamu sesalkan, Mas?" tanyaku. "Entahlah. Ada sesuatu yang terasa hilang dariku." Aku tidak lagi bicara. Jujur, ada rasa pongah dalam diri ini ketika Mas Sandi berkata demikian. Secara tidak l
"Akhir-akhir ini kakak sering ngamuk, Sayang. Shanum, kan tahu sendiri kalau kakak sudah ngamuk, dia jadi hilang kendali. Makanya, Shanum tinggal di rumah nenek dulu. Nanti pun akan ada waktunya, kok Shanum main sama kakak. Sekarang, kita pulang dulu, yah? Biarkan ayah kerja," kataku membujuk Shanum yang malah memeluk Mas Sandi. Gadisku menempelkan kepalanya di dada pria itu.Lama, aku dan Mas Sandi membujuk Shanum hingga akhirnya anak itu mau pulang juga dengan syarat, Mas Sandi harus menggendong dia sampai kami masuk ke mobil. Dan Mas Sandi menurutinya. "Pake sabuk pengamannya, ya?" ujar Mas Sandi memakaikan seat belt. Shanum mengangguk, kemudian Mas Sandi menutup pintu mobil setelah mencium ubun-ubun putrinya itu. Aku mulai melajukan mobil meninggalkan Mas Sandi yang masih berdiri melihat kepergianku dengan Shanum. Sepanjang jalan pulang, putriku diam. Keceriaan yang tadi mampir, kini hilang. Dia bahkan enggan menoleh ketika aku memanggilnya. "Sha, lihat, deh ada Om Soni, tuh
"Bisa, gak kalau sudah menggambar, bekasnya beresin lagi?" ujar Mawar berteriak seraya memungut kertas dan pensil yang berserakan di lantai. Pemandangan ini sudah tidak asing lagi bagiku. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelum Ranum pergi dari rumah ini. Teriakan Mawar, marahnya dia, sudah jadi makanan yang setiap hari aku dengar. Rumah menjadi sangat rame dan berisik. Namun, di sini. Di dalam hati ini ada yang hilang. "Mandi! Astaga Cahaya .... mandi! Dari tadi di suruh mandi, susahnya minta ampun. Apalagi disuruh mati!""Hey! Apaan, sih kamu ini kalau ngomong gak pernah dijaga. Bisa, kan bicara dengan pelan dan lembut? Kupingku, tuh sakit dengar kamu teriak terus," ujarku keluar dari ruang makan. Baru beberapa suap nasi yang masuk, rasanya laparku sudah hilang. Bagiamana mau makan tenang, kalau di rumah penuh dengan makian dan teriakan. Mawar. Wanita itu beda sekali dengan Ranum. Dia tidak bisa membujuk Cahaya, meskipun hanya untuk menyuruhnya pergi membersihkan diri. Sepulan
Seperti yang telah aku bahas dengan Ranum, akhir pekan aku boleh datang menjemput Shanum, putri keduaku. Dan ini yang menjadi sumber energi tersendiri, karena bisa melihat dia di pagi hari. Aku bersiul seraya menyisir rambut. Mawar belum bangun dari tidurnya meskipun matahari sudah tinggi. Alasan apa lagi kalau bukan lelah mengurus Rumah. Selalu seperti itu. Sebelum pergi, aku akan mengirimkan pesan pada mantan istriku itu. Memastikan jika Shanum siap untuk aku bawa. [Num, sekarang aku jemput Shanum, ya?] tulisku, lalu mengirimkannya. Centang dua berwana biru sudah nampak. Aku tersenyum. [Silahkan, Mas. Dia pun sudah siap,] ujar Ranum seraya mengirimkan foto Shanum yang tengah duduk di teras rumah. Buru-buru aku keluar dari kamar tanpa membangunkan Mawar. Cahaya pun belum tahu jika hari ini Shanum akan datang. Biasanya, aku akan membawa mereka jalan-jalan ke taman. Tapi, sekarang aku ingin di rumah saja seraya melihat keakraban mereka. Sampai di mobil, aku tak langsung pergi.
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism