"Kenapa kamu nggak kasih tahu aku, Mbak? Mama ada di Indonesia tapi anaknya sendiri tidak tahu!" teriak Eria.Kini kami semua jadi sorotan para pelayat yang datang. Sedangkan Mbak Giska, ia hanya mampu menangis menanggapi ucapan Eria."Maafkan Mbak, Eria. Bukankah kalian punya perjanjian di atas kertas, dan kamu tahu sendiri orang tuamu itu memiliki perjanjian khusus," sanggah Mbak Giska.Pilu, memang sangat menyakitkan untuk hati seorang anak broken home. Lagi-lagi Eria menjerit ketika ia menoleh ke arah sang mama yang sudah terbujur kaku dialaskan tikar, tubuhnya tertutup kain putih, wajahnya masih dibuka karena memang menunggu sang anak hadir."Sudah tidak ada waktu untuk berdebat masalah ini, lebih baik kamu peluk jenazah mama untuk terakhir kalinya," bujuk sang papa sambil memegang bahunya.Eria pun meluruhkan lutut dan tubuhnya ke lantai. Bobotnya jatuh tepat di hadapan mayat sang mama."Jangan netesin air mata di wajahnya, ya Mbak," seru salah seorang ustadz yang tengah ikut me
Berbarengan dengan office boy yang keluar, Adnan pun masuk untuk sekadar berdiskusi dengan kami. Ia duduk di sebelahku persis dan menyimak obrolan setelah berjabat tangan dengan Mbak Giska juga aku.Aku melirik ke arah kertas tersebut. Feelingku mengatakan bahwa orang yang mengirim secarik kertas adalah Eria. Aku yakin itu anaknya Tante Soraya yang meminta bagian dari hartanya."Coba baca, Mbak, aku penasaran," suruhku.Mbak Giska pun membuka lipatan yang sudah dilipat menjadi dua."Mbak, aku baru baca pesan Mama yang terakhir kalinya di sosial mediaku yang sudah lama tak ku gunakan. Ia ingin memiliki satu pondok pesantren, bisakah Mbak Giska membantuku mewujudkannya? Konon kata Adnan, orang kepercayaan Mbak itu, Mama memiliki satu peninggalan perusahaan. Kalau boleh aku pinta untuk mewujudkan impian terakhir almarhum Mama. Aku tidak ingin ikut campur dalam hal ini, Mbak urus semuanya, itu saja. Terima kasih."Usai membacakan isinya, Mbak Giska yang tadinya berdiri langsung terduduk s
"Namanya Pak Eric, Bu," ucap sekretarisnya Mbak Giska.Aku pun menautkan kedua alis. Begitu juga dengan Mbak Giska, tapi ia langsung memerintahkan tamu yang tanpa buat janji itu masuk."Ga, sekalian suruh OB buatin minum deh untuk Eric, lemon tea ya," suruh Mbak Giska membuatku tersenyum sambil mengangguk. Ternyata sehapal itu kakakku dengan minuman favorit Eric.Eric tak pernah berkabar sejak satu minggu kepergian Yunna, entah ada angin apa ia tiba-tiba muncul di hadapan kami. Rencana aku dan Mbak Giska untuk ke kampung halaman Yunna yang tidak lain kampungku juga pun belum terealisasi. Ya, karena kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, terutama masalah aset peninggalan Tante Soraya.Mbak Giska meminta Eric untuk ke sofa, aku pun turut digandeng olehnya ke sofa berwarna biru navy yang ada di ruangan kerja Mbak Giska. "Apa kabar, Ric?" tanya Mbak Giska."Kabarku biasa, nggak baik dan nggak juga buruk." Ia mengawali dengan canda. "Tapi yang jelas aku ke sini mau marah pada ka
Aku mulai membaca isi dari catatan yang almarhumah Yunna tulis.[Aku bertemu dengan teman kecilku, namanya Nurma. Jujur saja, aku baru tahu kalau dia kini menjadi istri kedua. Dsn uniknya, istri pertama yang memintanya untuk menjadikan dia istri kedua. Sungguh istimewa, aku beruntung bertemu dengan mereka. Niatnya, dalam waktu dekat ini aku ingin mengajak mereka kolaborasi untuk membuat sebuah panti asuhan. Hasil gajiku selama menjadi dokter sudah cukup untuk membangun rumah untuk panti yang tidak memiliki orang tua. Semoga segera terwujud.]Aku mengurai air mata seketika. Sungguh cita-cita seperti ini jarang ditemui, terlebih lagi aku sendiri yang memegang peranan penuh di perusahaan tempat Mbak Giska saja belum terbesit untuk membuat sebuah panti asuhan. Namun, tidak dengan Yunna, ia kepikiran ke arah sana. Apakah ini yang dinamakan orang baik meninggal pun akan berbekas kebaikan.Setelah aku membacakan catatan yang ditulis oleh Yunna beberapa waktu lalu. Aku menyerahkan kembali pon
"Mama, kok ada di sini?" Aku menghampirinya dan meraih punggung tangan orang yang telah melahirkanku itu. Mama ke Jakarta tidak memberikan kabar padaku."Kamu sibuk jadi nggak perlu kasih kabar, lagian Mama ke sini mau kasih kejutan untukmu," sahut Mama Rosmala. Mbak Giska dan juga Adnan ikut menghampiri meraih punggung tangan mama. "Bu, langsung dari Semarang atau singgah dulu?" Mbak Giska bertanya pada mamaku."Giska, aduh Ibu bahagia sekali mendengar suaramu langsung. Sejak kamu bisa bicara lagi, Ibu belum pernah mendengar suaramu," ucap Mama. Tangannya membelai pipi kakak angkatku itu."Bu, maaf ya, gara-gara aku, anak Ibu jadi jauh dari mamanya," timpal Mbak Giska.Suasana menjadi haru, tapi ini sebuah kebahagiaan yang sangat tak terukur nilainya."Giska, Nurma, Ibu ke sini juga atas permintaan Adnan," jawab Mama membuatku menoleh ke arah laki-laki itu.Kami semua terpaku ke arah Adnan berdiri. Namun, tiba-tiba saja Eric datang dengan membawa bunga. Aku tersenyum, dan berpikir
"Mama nggak tahu siapa namanya, mereka datang bertiga, yang satu agak kurang waras gitu, sering ngomongin ayahnya, tentang ayahnya sudah meninggal gitu, dia bilang mau nyusul atau apa gitu," papar Mama membuat aku dan Mbak Giska saling bertumbuk pandangan.Ini pasti Helen dan Sheila, aku yakin mereka datang bersama mamanya."Kita lupa ngasih tahu mereka, Mbak, tentang kecelakaan yang menimpa Dokter Yunna," ucapku padanya."Iya, Mbak nggak kepikiran ke sana, nggak inget sama Helen, lupa kalau mereka itu sepupuan," tambah Mbak Giska."Oh kalian kenal, Mama nggak terlalu banyak dengar sih waktu itu, langsung pulang saat menitipkan sesuatu pada ibunya, dari Adnan untuk keluarganya Yunna."Lagi-lagi aku heran sama Adnan, banyak yang tidak aku ketahui tentang dia, apa yang ia lakukan sering di luar dugaan."Sudahlah kita fokus pada diri kita saja, nggak usah membicarakan orang lain. Helm marah sih wajar pada saudaranya, karena mereka kan saudara," jawab Mbak Giska.Kemudian sopir membelokka
"Hai, Giska, Nurma, apa kabar?" tanya Helen."Baik, silakan duduk," suruh Mbak Giska.Aku menoleh ke arahnya dengan mata menyipit. Kemudian, mengatupkan bibir seraya masih tak percaya."Kamu dan Sheila gimana keadaannya?" tanya Mbak Giska."Kecewa," jawab Helen singkat.Aku dan Mbak Giska saling beradu pandangan lagi."Kecewa sama kami berdua? Karena tidak mengabari kematian Dokter Yunna?" Mbak Giska menebaknya, sama sepertiku saat ini, kepikiran ke arah sana juga."Itu hanya alasan kecil, alasan besarnya ada satu, yaitu tentang amanah sepupuku. Seharusnya Yunna mengamanahkan ke saudaranya, bukan pada kamu," terang Helen.Aku menautkan kedua alis. Kemudian menyoroti wanita itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia duduk dengan kaki bertumpu di atas pangkal paha sebelah kiri."Kenapa kamu harus marah? Bukankah yang namanya amanah, terserah orang yang mengamanahkan ya? Kenapa jadi keharusan?" Aku menyanggah segala ucapan Helen. Sebab, walau bagaimanapun, amanah yang ditulis Yunna, tertera
Kemudian Helen menunjukkan nominal yang tertera di layar ponselnya. Aku tahu dia orang kaya raya, dan memiliki saldo yang fantastis jumlahnya. Namun ini adalah pesan terakhir Yunna. Wanita yang pernah bertunangan dengan Eric telah berpesan ingin kolaborasi dengan Mbak Giska."Sebenarnya kamu paham nggak sih? Kan sudah dibilang ini masalah bukan dari jumlah uangnya, pesan Yunna adalah kolaborasi dengan Mbak Giska, kira-kira penjelasanku udah paham belum?" Aku bicara dengan nada sombong."Aku paham, tapi yang penting kan uangnya Yunna itu tetap terpakai untuk yang baik-baik. Jadi mau donasinya dari aku atau Giska seharusnya nggak masalah," sanggah Helen membuatku menghela napas.Sepertinya memang akan kesulitan bicara dengan Helen. Wanita ini sangat keras kepala, Sama halnya saat dia membalas dendam pada Mas Firman. Yang dipakai hanya keinginan yang berapi-api."Sudahlah nggak usah ribut, Ini masalah donasi aja kan? Aku atau Helen bisa sama-sama mendonasikan uangnya. Silakan kalau Helen
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya