Bab 43Kembali ke PatiBu Wongso mengetuk pintu kamar Arif berkali-kali. Hening, tidak ada sahutan."Rif, Arif, buka pintunya," teriak Bu Wongso menggedor pintu kamar Arif. Masih hening, tidak ada sahutan."Arif, kalau pintunya nggak dibuka, ibu bakalan suruh Bik Minah mendobrak pintu ini," teriak Bu Wongso.CeklekkPintu kamar terbuka, Arif muncul dengan wajah kusut dan baru bangun tidur."Rif, udah tiga hari loh kamu nggak kerja?" Tanya Bu Wongso menatap Arif yang kembali berbaring di ranjang menghadap ke arah dinding, memunggungi ibunya."Arif dipecat, Bu!" Ujar Arif singkat."Apa? Dipecat? Kok bisa?" Tanya Bu Wongso duduk di pinggir ranjang."Arif kerja nggak becus, Bu!" Jawab Arif tanpa mengubah posisinya."Kenapa bisa nggak becus? Selama ini baik-baik saja?" Tanya Bu Wongso lagi.Arif membalikkan badannya, lalu duduk di pinggir ranjang, disamping Ibunya."Arif nggak fokus, Bu!" Ujar Arif menundukkan kepalanya."Kenapa? Karena Si jelek Yana itu?" Bu Wongso mencebikkan bibirnya.
Bab 44Rencana Intan"Yana ..." Bu indah mengusap wajahnya dengan kasar dan duduk lemah di sofa."Kalau Mbak Yana balik ke Pati, maka, Intan juga harus ikut," ujar Intan menatap tajam ke arah Yana."Loh, ngapain kamu mau ikut aku?" Tanya Yana gusar."Ya, aku pengen ikut aja. Kan aku kangen sama mbak Yana, apa salahnya aku ikut?" Ujar Intan menatap Yana"Aku itu tinggal sama mertua, Intan. Belum tentu dia ngizinin kamu ikut tinggal bersama kami?" Jawab Yana pelan."Nggak masalah sih, aku kan bisa ikut Mbah Marijan. Si Mbah pasti senang," jawab Intan menaikturunkan alisnya.Yana berpikir sejenak. Yana sangat mengenal karakter Intan yang pemberani dan cerdas. Selain itu, Intan jago ilmu bela diri. Kalau Intan tahu kelakuan Arif dan ibu mertuanya yang selama ini tidak baik, bisa-bisa, Arif bakalan babak belur dihajar oleh Intan."Kalau kamu mau ikut aku ke Pati, mending aku nggak usah balik, deh," ujar Yana lalu mengusap wajah Dila yang berkeringat.Bu Indah menatap Yana dengan senyum bah
Bab 45Pulang kampung"Mbak, wajahmu kenapa?" Tanya Intan kepada Yana ketika mereka sedang duduk di Sofa ruang rawat Dila."Kenapa emang?" Tanya Yana berbalik."Itu, kayak bekas pukulan," ujar Intan menelisik wajah Yana."Ngaco' kamu, siapa yang pukul Mbak?" Tanya Yana dengan senyum getir."Mas Arif, barangkali," ujar Intan membuat Yana terkejut."Ya nggak mungkinlah, kamu tau sendiri, kan, Mas Arif orangnya baik," sahut Yana berbohong."Iya … tapi aku kenal dia Kan, tiga tahun lalu, sekarang belum tentu, kan?" Ujar Intan lagi."Mas Arif masih sama kayak dulu kok. Nggak ada yang berubah," sahut Yana meninggalkan Intan.Intan menahan tangan Yana. "Mbak Yakin?" Tanya Intan dengan menatap manik mata Yana."Ya, yakinlah!" Ujar Yana tetap meninggalkan Intan."Jangan lupa, Mbak, aku seorang karate, aku tau bekas luka karena pukulan dengan tidak," ujar Intan menatap Yana dengan tajam.Yana melangkah meninggalkan Intan seorang diri, ketika intan sedang asik dalam lamunannya, Bu indah datang m
Bab 46"Saya pikir, Mbak Yana orang yang suka bercanda juga," sahut kurir tersebut.Arif mengepalkan tangannya. "Tega banget Yana menyebut ibuku Genderuwo," gumam Arif di dalam hati.********Pak Bejo sudah berpakaian rapi dengan istrinya dan Sasa. Mereka hari ini akan menjemput Dila dari rumah sakit."Pak, bagaimana kalau Yana menolak pulang ke rumah?" Tanya istrinya dengan wajah suram."Jangan khawatir, Bu. Bapak yakin, Intan bisa mengatasi ini semua," jawab Pak Bejo kepada istrinya.Mereka lalu melajukan Sepeda motornya dengan kecepatan sedang."Rencananya bapak mau nyater mobil siapa, Pak?" Tanya Bu Bejo ketika mereka sudah sampai di pelayangan sungai."Mau nyarter mobil pak Agus aja, Bu," ujar Pak Bejo."Eh, Jangan, Pak. Mobil pak Agus itu pake AC. Nanti ibu mabuk perjalanan," pungkas Bu Bejo."Trus, kudu pake mobil apa?" Tanya Pak Bejo menoleh istrinya."Naik mobil Carry aja," ujar Bu Bejo membuat suaminya langsung melotot."Kamu pikir, Dila itu kambing, naik mobil Carry? Nggak,
Bab 47Mencari kebenaranMobil yang membawa Pak Bejo dan keluarganya sampai di Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi pada pukul sebelas siang."Yana …" pekik Bu Bejo melihat Yana yang berada di hadapannya.Bu Bejo memeluk erat Yana dan Dila. "Ibu sangat merindukanmu, Nduk," ujar Bu Bejo disela Isak tangisnya."Yana juga merindukan ibu," sahut Yana memeluk erat ibunya."Cucu Mbah wedok, cantiknya," ujar Bu Bejo mencium Dila dengan gemas, namun, Dila menolak dengan memalingkan wajahnya.Bu Bejo mengernyitkan keningnya, "Dila belum pernah bertemu sama ibu, nanti kalau sering ketemu, bakalan betah kok, Bu," ujar Yana menatap ibunya yang terlihat sedih."Dila, perkenalkan, ini Mbah wedok, Mbahnya Dila," ujar Intan kepada Dila. Bu Bejo mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Begitu terharu, karena Akhirnya, Yana dan Dila bisa ditemukan. Allah mengabulkan do'a yang selalu dipanjatkannya di keheningan malam."Iya, Nduk, ini Mbah, Mbah wedok," Bu Bejo mengulurkan tangannya. Begitu ingin rasa Bu
Bab 48Bu Indah mencium dan memeluk Yana dan Dila dengan penuh kasih sayang."Ibu pasti akan sangat merindukanmu, Yan. Jaga diri baik-baik, dan ingat, pikirkan matang-matang, jika kamu ingin mengambil keputusan," ujar Bu Indah memberi wejangan."Baik, Bu," ujar Yana mencium punggung tangan Bu Indah dengan takzim.Mereka melambaikan tangan kepada Bu Indah ketika mobil sudah mulai bergerak meninggalkan halaman rumah sakit Raden Mattaher Jambi."Dila, nanti malam bobo sama Aunty Sasa, ya?" Ujar Sasa mencairkan suasana yang kaku."Aunty Sasa?" Tanya Dila."Iya, sama Aunty Sasa," jawab Sasa."Anti, anti, panggil Bibik, jangan sok jadi orang barat, orang ndeso, juga," protes pak Bejo lagi."Apa salahnya sih, Pak. Bibi itu panggilan kuno," sahut Intan menoleh Bapaknya yang duduk di bangku paling belakang."Hallah, bapak nggak boleh Pokoknya, malu ntar di dengar tetangga," ujar Pak Bejo membuat Intan memutar bola matanya."Peduli amat sih, Pak. Sama omongan orang?" Ujar Intan kesal."Pokonya
Bab 49TerungkapPak Bejo dan rombongan sampai ke rumahnya ketika hampir adzan ashar."Yana, ajak Dila istirahat dulu, kasian," ujar Bu Bejo pada Yana. Yana mengangguk dan membaringkan Dila di dipan dalam kamarnya.Kamar yang hampir lima tahun ditinggalkan. Kamar itu masih rapi dan bersih.Pintu kamar diketuk "Masuk," ujar Yana mempersilahkan sang pengetuk untuk masuk."Kalau Mbak capek, biar Dila sama aku aja," Intan duduk di sisi dipan."Nggak apa-apa, kamu masih capek juga, biarlah Dila istirahat juga dahulu," sahut Yana seraya membaringkan tubuhnya yang lelah.Yana tertidur hingga menjelang waktu adzan magrib, Yana menghirup udara di sekitar, yang masih teramat sangat sangat asri. Yana tersenyum, sekian lama Yana tidak merasakan ketenangan dan kedamaian seperti pada saat ini.Yana menatap Dila yang tengah tertawa bersama kedua orang tuanya dan saudaranya, mereka tampak sangat menyayangi Dila, mereka bersama-sama membuat Dila tersenyum bahagia. Mbah wedok dengan telaten menyuapi D
Bab 50"Genderuwo?" Tanya Arif dengan senyum tersungging."Iya, genderuwo," sahut Bu Wongso masih dengan takut."Genderuwo itu sudah tidak ada, Bu. Itu zaman dahulu, sebenarnya, Genderuwo itu adalah ibu sendiri, ibu menyebutkan diri ibu sebagai genderuwo, begitu, Bu?" Dada Arif turun naik karena emosi.Bu Wongso hanya terdiam, karena tidak tahu harus berkata apa."Ibu juga memaksa Yana membeli lauk pauk yang mahal-mahal karena ibu iri, Yana mendapat jatah lebih banyak dari pada ibu, iya kan, Bu? Ibu sengaja menyuruh Yana memasak enak setiap hari agar Yana tidak punya kesempatan untuk membeli kebutuhannya," Arif menatap tajam ke arah ibunya."Bu … apa salah Yana? Yana sudah berbuat baik pada ibu, tapi mengapa ibu selalu menyakitinya?" Tanya Arif dengan berurai air mata."Ibu tau, aku bahkan hampir saja membunuh Yana, karena aku pikir, Yana meracuni ibu, padahal, ibu sendiri yang membuat tubuh ibu keracunan," ujar Arif menjambak rambutnya dengan kasar."Aku nggak nyangka, ibu tega berbu
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t