Kakek Tanuraja berdiri di ambang pintu. Satu tangannya bertumpu pada tongkat kayu yang bagian pegangannya terdapat bantalan busa berbalut kulit berwarna hitam yang diberi ukiran emas. Sosoknya terlihat gagah dan penuh wibawa walau sudah termakan usia.
Kanya menggigit bibirnya gugup. Di bawah meja dia menggenggam gaun terusannya, dan memberikan lirikan gugup kepada ibunya. Sementara ibu mertua Diana diam-diam meremas lembut tangan Kanya untuk menenangkan gadis muda itu.
Diana memperhatikan semua itu dalam diam. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh kakek Tanuraja juga menilai bagaimana hubungan orang-orang ini di dalam rumah dan seperti apa posisi ‘Diana’ disini.
“Sudah berapa kali kakek bilang untuk sopan kepada Diana?!” Kakek Tanuraja tidak berteriak atau membentak tapi suaranya lantang dan tegas yang justru membuatnya terlihat lebih menyeramkan.
“Apa aku tidak boleh berpendapat?” Kanya berusaha membela dirinya
.
“Tentu saja boleh tapi berpendapat bukan berarti kau tidak sopan ‘kan?” balas Kakek Tanuraja. Lelaki yang hampir depalan puluh tahun itu menggelengkan kepalanya sebelum duduk di kursi tepat di tengah-tengah meja makan.
“Apa yang salah denganku?” protes Kanya dengan wajah mengerut. “Kami semua tidak suka dengannya tapi kakek malah menyuruh Kak Angga menikah dengannya!”“Dia bisa menyerahkan haknya sebagai pewaris jika benar-benar tidak ingin menikah dengan Diana. Tapi, nyatanya dia masih butuh semua yang kakek berikan. Kenapa protes?”
“Kakek egois dan cuman mentingin diri sendiri.” ujar Kanya yang membuat semua orang di meja makan terkejut.
“Kanya!” Ibu mertua Diana bahkan menegur Kanya untuk perkataannya yang tidak sopan.
“Karena kau berkata seperti itu, maka mulai hari ini tarik semua fasilitas yang dia miliki.Bekukan juga bank milik Kanya!”
“Kakek!”
“Ayah!”Duo ibu anak itu menatap Kakek Tanuraja tidak percaya. Kanya memang sudah keterlaluan dengan ucapannya tapi menurut ibu mertua Diana hukuman ini terlalu berat untuk Kanya.
“Ayah, aku mohon maafkan Kanya kali ini saja. Aku tahu dia sudah kurang ajar tapi itu karena dia masih muda dan tidak tahu apa yang baik untuknya, jadi aku mohon.” Kakek Tanuraja melirik menantu satu-satunya itu. Tatapannya melembut tapi juga terluka disaat yang bersamaan.
“Semua akan dikembalikan kalau dia sudah dapat pekerjaan atau mau bekerja di perusahaan.” Tapi pada akhirnya Kakek Tanuraja tidak melunak.
Air mata membendung di mata Kanya. “Kakek keterlalun!” ujarnya sambil melempar serbet ke meja makan lalu berlari keluar. Ibu mertua Diana tak lama menyusul Kanya menyisakan tiga orang di meja makan.
Kakek Tanuraja menghembuskan napas panjang dan bahunya merosot. Wajahnya terlihat sedih juga kecewa. Diana yakin ini bukan hal yang ingin Kakek Tanuraja inginkan tapi sebagai pemimpin dia perlu menjadi tegas dengan memberikan hukuman. Menjadi orang jahat demi perkembangan cucu perempuan satu-satunya.
“Diana, Dirga, ayo makan. Nanti kalian bisa telat.” Diana dan Dirga mengangguk dan mulai sarapan. Diam-diam Diana melirik Dirga yang hanya diam dan seolah tidak memiliki urusan dengan segala keributan tadi. Sejak mendengar nama Dirga perasaan Diana sudah tidak enak.
Diana merasa tidak asing dengan nama itu tapi dia tahu kalau tidak memiliki kenalan dengan nama Dirga. Rasanya seperti dejavu ketika mendengar nama Dirga tapi Diana tidak tahu dimana dia mendengarnya.
Sarapan itu berlalu tanpa ada lagi keributan bahkan bisa dibilang sangat sunyi karena tidak ada satu pun dari mereka bertiga yang berbicara. Hingga akhirnya orang yang memecah keheningan adalah Dirga.
“Kakek, aku sudah selesa. Aku pamit siap-siap berangkat ke kampus.”
“Oh, Iya, Iya. Belajar yang baik ya.”
Dirga menganggukan kepalanya pada Kakek Tanuraja juga Diana sebelum meninggalkan ruang makan. “Kalau begitu aku juga pamit untuk berangkat kerja.” ujar Diana. Sendok garpu yang sedang dia pegang pun di taruh di atas piring yang hampir kosong.
“Kau juga sudah selesai?” Kakek Tanuraja menatap Diana. “Pergilah, hati-hati di jalan.”
Diana tersenyum pada Kakek Tanuraja sebelum meninggalkan ruang makan.
Karena saat keluar kamar tadi pikiran Diana penuh dengan berbagai hal, baru kali ini Diana benar-benar melihat interior rumah keluarga Tanuraja. Nuansanya berwarna putih gading dan emas dengan furniture dengan ukiran rumit yang memberikan kesan mewah.
Ya, wajar saja. Mereka keluarga konglomerat. Diana tidak heran. Berjalan menuju kamarnya, Diana tidak sengaja melihat sosok Dirga yang memasuki ruangan di ujung yang berlawanan dengan arah kamar Diana. Itu pasti kamarnya.
Diana masih penasaran dengan siapa Dirga Tanuraja. Seingat Diana yang bernama Dirga itu hanya tokoh teman sekelas pemeran utama dari novel percintaan anak SMA yang Diana baca sebelum berakhir disini.
Tidak mungkin Dirga yang ini adalah Dirga yang itu. Gila.
Menyingkirkan pikiran itu di sudut kepalanya Diana memilih untuk bersiap ke kantor. Dia mengambil jas hitam juga tas berwarna hitam. Dia tidak tahu apa yang harus dibawa jadi Diana menjejalkan dompet, ponsel, dan buku catatan kecil ke dalam tasnya.
Pikiran Diana tidak tenang karena ide gilanya mengenai ini adalah dunia novel yang dia baca. Pikiran konyol tidak berlandasan tapi Diana merasa itu mungkin saja. Diana meninggalkan kamar dan turun ke lantai satu dengan pikiran yang kalut.
Itu membuat Diana harus menghentikan langkahnya ketika bertemu dengan Dirga yang juga akan keluar. “Kakak akan berangkat sekarang?” tanya Dirga yang sudah mengenakan jaket jeans dan tas ransel.
Diana mengangguk dan mencoba memberikan senyuman senatural mungkin. “Kau ada kelas pagi hari ini?” Dirga mengangguk. Keduanya kemudian diam sambil berjalan keluar rumah. Diana melirik Dirga. Apa Diana perlu memastikan? Pertanyaan apa yang sebaiknya diajukan?
Tidak. Tidak. Diana takut mengetahui kenyataan tapi dia juga penasaran.
Mereka sekarang sudah di depan rumah. Dirga pamit kepada Diana dan segera menuruni anak tangga menuju mobil sport miliknya. Setiap langkah yang Dirga ambil membuat Diana semakin gugup.
“Dirga!” panggil Diana yang segera menuruni anak tangga untuk menghampiri adik iparnya. Dirga membalikan badan dan menutup kembali pintu mobilnya. “Kenapa, Kak Diana?” Dirga terlihat heran.
“Dimana SMA kamu dulu?” Dirga mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu dan Diana tidak menyalahkan.
“Bentala Asa International High School.”
“Kamu punya temen sekelas namanya Bulan Kirana Putri dan Bintang Mahendra?”
“I..ya.”
Diana membuka mulutnya, terkejut dan menutupnya dengan satu tangan. Wajahnya menjadi pucat dan ini membuat Dirga semakin kebingungan. “Kakak baik-baik aja?” tanya Dirga Khawatir. Diana mengangguk dan berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Dirga yang kebingungan karena Diana juga bingung dan kaget.
Dia ada di dalam novel! DI DALAM NOVEL!
Ini di dalam novel. Ini di dalam novel. Ini di dalam novel. Kalimat itu terus berulang di kepala Diana dan membuatnya pusing. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala Diana seperti bagaimana dia bisa ada disini, kenapa dia yang ada disini, dan caranya dia bisa disini. Seberapa keras pun Diana berusaha mencari jawaban dia tidak menemukannya. Gila. Ini gila. Diana membenturkan kepalanya pada kepala jok mobil di depannya membuat supir yang sedang menyetir melirik ke arahnya melalui kaca. Diana tidak memperdulikan itu karena sekarang dia terlalu sibuk untuk memikirkan tentang hidupnya yang begitu konyol. Masuk ke dalam novel. Jika sekarang Diana masih duduk di bangku SMA mungkin Diana akan berjingkrak senang tapi umurnya akan menginjak kepala tiga dua tahun lagi. Dia sudah terlalu tua untuk hal seperti ini. Jika harus jujur, tidak ada hal yang benar-benar mengikat Diana di dunianya. Karirnya bagus, Diana bangga dengan pekerjaannya tapi hubungan Diana dengan atasannya buruk da
“Apa kau sudah gila?!” Diana menarik kasar tangannya dari genggaman Tina. Jika Diana tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, maka bokong Diana sudah berciuman dengan lantai. Tina sendiri terkejut karena tarikannya tadi begitu kuat hingga membuat tubuh Diana limbung. Suara teriakan Diana menarik perhatian karyawan yang berada di divisinya. Diana bisa merasakan sorot pandang penasaran dari belakang punggungnya tapi begitu Diana membalikan tubuh, mata yang tadinya menatap ke arahnya kini menunduk takut dengan buru-buru. Berkas yang ada di tangan Diana diangkat tinggi agar bisa dilihat, “Dimas. Kenapa baru memberi ini sekarang?” tanya Diana tanpa tahu mana yang bernama Dimas di antara meja-meja berisikan staff-nya. Lelaki dengan kemeja putih bergaris biru yang memiliki tubuh agak berisi berdiri dengan ragu lalu mengangkat tangannya. “Anu…..Saya sudah kasih itu sejak minggu lalu, Bu.”“Kasih ke Saya?”“Bukan, ke Bu Tina.” Diana berbalik menatap Tina lalu melipat kedua tangannya, “Kenapa
!!Trigger Warning!!Mention of Suicide“Dengar Diana,” Mama mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat. Suaranya lebih pelan tapi jauh lebih tegas dari sebelumnya. “Lupakan apa yang kau pikirkan kemarin malam dan bertahanlah menjadi istri Angga dan tetap menjadi menantu keluarga Tanuraja.” ujar Mama dengan penuh penekanan di setiap katanya. Diana merasa sangat tidak enak mendengar ucapan Mama. Perutnya terasa diaduk oleh tangan bayangan yang juga meremas jantungnya. Itu bukan reaksi Diana. Dia yakin kalau pun wanita di depannya itu berulah tidak akan membuat Diana merasa takut, gugup atau apapun itu karena pada dasarnya dia hanya menganggap Mama sebagai orang asing. Reaksi ini adalah reaksi dari Diana yang asli atau reaksi asli dari tubuh ini yang memiliki hubungan emosional dengan Mama. Hal yang tidak dimiliki oleh Diana. Diana memandang mata hazel milik Mama yang sialnya begitu mirip dengan mata yang dimiliki tubuhnya sekarang. Diana bahkan bisa melihat pantulan dirinya di mata Ma
“Aku masih sangat waras.” Setidaknya untuk Diana dia waras walau tidak begitu untuk Mama. Mata hazel milik Mama yang serupa dengan milik Diana itu tengah menatap Diana lamat-lamat.Mama mencoba mencari sesuatu yang berbeda dari Diana dan menemukan alasan kenapa Diana seperti ini agar dia bisa kembali memegang kendali atas situasi ini. Atas Diana. Tapi itu sepertinya percuma. Tatapan mama sama sekali tidak membuat Diana takut atau pun tegang karena bagi Diana saat ini Mama hanya menatapnya dengan rasa curiga, penasaran berlebih dan berusaha memahami bukan sesuatu yang menusuk, menuntut dan mengulik.Melihat Diana yang sama sekali tidak bereaksi dengan apa yang Mama lakukan membuat wanita itu gusar. Dia meremas kedua tangannya di bawah meja dan mengelus ibu jarinya ke punggung tangan. Diana tidak perlu melihat itu untuk benar-benar tahu bahwa Mama gusar. Cangkir teh yang tadi dia minum kini diputar-putar lalu kembali di taruh tanpa diminum oleh Diana. Dia hanya ingin membuat Mama jauh
Percakapan ini tidak tidak berujung. Diana dan Mama sama-sama tidak ingin mengalah untuk apapun yang mereka inginkan. Untuk kebahagiaan mereka. Diantara mereka Mama yang paling putus asa. Dia sudah hidup lebih dari dua puluh delapan tahun dalam pernikahan ini dan melepaskan itu semua bukan hal yang mudah. Tidak seperti Diana yang baru menjalani hidupnya. Diana bisa mengorbankan hal lain dibandingkan Mama. Yang menurut Mama adalah hal yang perlu Diana lakukan karena itu bentuk baktinya terhadap Mama. Tapi lucunya penolakan Diana jauh lebih seperti penghianatan dibandingkan tindakan durhaka. Mama memang hanya ingin menganggap Diana sebagai anak disaat menguntungkan saja. Jauh di dalam hatinya dia tidak benar-benar menganggap Diana sebagai anak. Bukan juga alat seperti yang Diana buat terlihat seperti itu. Teman seperjuangan. Bagi Mama itu adalah Diana. Mereka berdua sama-sama memperjuangkan apa yang Mama inginkan.Tujuan mereka sama dan perbedaan antara mereka bukan sesuatu hal yang
Hari keduanya menjadi Diana si istri lelaki konglomerat tidak seheboh hari pertama. Tidak ada teriakan dan ujaran angkuh dari adik iparnya tapi ada tambahan mata yang menatapnya tajam selain ibu mertuanya. Diana tidak ambil pusing dengan itu. Di kantor Tika juga tidak banyak bertingkah. Walau masih dengan wajah masam setiap kali harus melakukan sesuatu atas perintah Diana tapi Tika melakukannya. Proyek yang sedang dilakukan oleh divisinya juga berjalan lancar. Diana sudah mulai bisa mengikuti alur kerjanya juga aturan-aturan yang perlu diperhatikan. Pekerjaan memang bukan hal yang Diana khawatirkan. Soal Mama, masih belum ada kabar. Biar sajalah. Diana juga tidak terburu-buru untuk hal itu. Selagi ada kesempatan, Diana ingin menikmati rasanya menjadi anak keluarga kaya yang hidupnya santai tanpa perlu khawatir soal uang. Siapa sih yang tidak mau hidup sebagai anak sultan? Diana sih mau sekali. Apalagi setelah bertahun-tahun menjadi budak korporat yang hanya tahu berangkat kerja
Ketika selesai mandi Diana tidak merasakan ada orang lain di dalam kamar. Melihat bagaimana kasur tetap rapi dan tidak ada barang yang berantakan selain bagian lemari Angga, Diana rasa lelaki itu tidak lama di sini. Baguslah. Diana kira rencananya untuk berbicara dengan Kakek Tanuraja harus ditunda karena kehadiran Angga dan Anggun tapi sepertinya itu tidak perlu. Selesai dengan kegiatan sehabis mandinya, Diana segera keluar dari kamar. Ruang kerja Kakek Tanuraja berada di lantai satu. Dulu kamar dan ruang kerjanya berada di lantai dua. Tapi karena lutut Kakek semakin memburuk, semuanya dipindahkan ke lantai satu agar memudahkan Kakek untuk beraktifitas. Diana berjalan menuruni tangga dan berhenti saat menyadari dia harus melewati ruang tempat Ibu mertua, suami dan adik Diana sedang bercanda ria. Dia harus melewati ruangan itu untuk berjalan ke lorong yang akan membawanya ke ruang kerja Kakek Tanuraja. Ugh, mau bagaimana lagi. Diana berjalan melewati ruangan itu tanpa menoleh yang
Angga melihat istrinya yang baru saja masuk memandangnya tidak suka. Dia menaikan satu alisnya. “Apa yang salah dengan aku disini? Ini kamarku.” Jawaban itu membuat Diana mendelik. Memang benar ini kamarnya yang menjadi kamar mereka berdua. Semenjak Diana pindah ke rumah ini Angga tidak pernah menginjakan kaki di kamar ini. Angga lebih memilih untuk tidur di kamar tidur tamu dibandingkan satu kamar dengan Diana. Jadi wajar saja bagi Diana untuk terkejut melihat Angga berada di kamar ini. Yang tadi pun, ketika Angga mandi di sini juga sebuah kejanggalan. TIdak mau pusing dan melakukan interaksi lebih banyak dengan tukang selingkuh ini, Diana berjalan masuk tanpa menjawab pertanyaan Angga. Dia mengambil ponsel yang berada di atas nakas lalu berjalan keluar dari kamar. Angga yang tadinya diam melihat itu semua pun terheran. “Kau mau kemana?” Diana berbalik, “Tidur. Apa lagi?” “Lalu kenapa keluar?”“Aku tidur di kamar tamu.”Mendengar itu, Angga mengerutkan dahi. Dia yang biasanya
Kedua saudara itu panik melihat nenek mereka menangis. “Nenek hanya terharu. Sudah lama sekali sejak melihat kalian seperti itu. Kalian sudah tumbuh besar.” Diana dan Reza tentu saja mengerti maksud nenek. Sejak Kakek meninggal, Diana dan Mama tidak pernah datang lagi ke sini. Bahkan saat pernikahan Diana, mereka hanya bertemu sebentar. Keluarga mereka sudah terpecah begitu lama jadi Nenek terharu bisa melihat kedua cucunya bergurai lagi. “Aku akan sering-sering ke sini.” ujar Diana sambil merengkuh pundak Nenek. Pelukannya itu dibalas usapan pada pundak Diana. “Datanglah kapan saja. Nenek senang kalau kau datang.” “Dan aku yang bosan melihatnya, Nek.” Suasana haru itu dihancurkan oleh ucapan mengolok penuh canada dari Reza. Diana yang mendengar itu langsung mengadu kepada Neneknya. Dia memandang Nenek dengan tatapan terluka yang membuat Nenek memukul Reza. “Jangan menggoda adikmu!” Reza hanya terkekeh mendengar ucapan Nenek. “Jadi, kau sudah mengundurkan diri?” Melihat suas
“Diana, maaf nenek ganggu saat kamu lagi kerja tapi apa siang ini bisa makan bareng nenek?”“Nggak ganggu sama sekali kok, Nek. Aku malah seneng nenek ajak makan. Kita makan dimana nek?”“Di rumah aja. Tante kamu mengundang teman-temannya, jadi nenek bikin soto kudus terus inget kamu suka banget sama soto kudus.”Diana tersenyum mendengar ucapan neneknya itu. Dia tidak mengerti kenapa ‘Diana’ bisa menyianyiakan nenek sebaik ini.“Kalau gitu aku kesana sekarang ya. Kebetulan aku lagi diluar kantor.”Setelah bertukar beberapa kalimat lagi, telepon ditutup dan Diana seger
Selama ini Dirga tahu betul kalau kakaknya itu waspada terhadapnya. Dirga sendiri tidak tahu kenapa tetapi hubungan mereka memang agak rumit. Tidak seperti anak bungsu lainnya, Dirga tidak pernah dimanja. Perlakuan ayah dan ibunya juga biasa saja. Seolah dia ada atau tidak bukan sesuatu hal yang penting. Terkadang dia sendiri merasa dirinya seperti orang asing dalam keluarga sendiri. Itu sebabnya Dirga jarang dirumah dan setelah menginjak bangku SMA dia semakin jauh dengan keluarganya. Satu-satunya orang di keluarga ini yang masih memperhatikannya hanya kakek. Kepala keluarga itu sering memperhatikan Dirga dalam diam. “Tenang saja. Aku belum punya kekasih.” jawab Dirga dengan pasti dan Angga mengangguk percaya dengan ucapan adiknya. Dirga akhirnya pamit. Ketika sudah di mobil Dirga menghela nafas lega. Dia tahu betul kalau kakaknya tadi itu sedang mengujinya. Jika Angga merasa ada yang aneh dari dirinya, Dirga yakin kalau Angga akan menyuruh orang untuk mengawasinya. Dirg
Angga melihat istrinya yang baru saja masuk memandangnya tidak suka. Dia menaikan satu alisnya. “Apa yang salah dengan aku disini? Ini kamarku.” Jawaban itu membuat Diana mendelik. Memang benar ini kamarnya yang menjadi kamar mereka berdua. Semenjak Diana pindah ke rumah ini Angga tidak pernah menginjakan kaki di kamar ini. Angga lebih memilih untuk tidur di kamar tidur tamu dibandingkan satu kamar dengan Diana. Jadi wajar saja bagi Diana untuk terkejut melihat Angga berada di kamar ini. Yang tadi pun, ketika Angga mandi di sini juga sebuah kejanggalan. TIdak mau pusing dan melakukan interaksi lebih banyak dengan tukang selingkuh ini, Diana berjalan masuk tanpa menjawab pertanyaan Angga. Dia mengambil ponsel yang berada di atas nakas lalu berjalan keluar dari kamar. Angga yang tadinya diam melihat itu semua pun terheran. “Kau mau kemana?” Diana berbalik, “Tidur. Apa lagi?” “Lalu kenapa keluar?”“Aku tidur di kamar tamu.”Mendengar itu, Angga mengerutkan dahi. Dia yang biasanya
Ketika selesai mandi Diana tidak merasakan ada orang lain di dalam kamar. Melihat bagaimana kasur tetap rapi dan tidak ada barang yang berantakan selain bagian lemari Angga, Diana rasa lelaki itu tidak lama di sini. Baguslah. Diana kira rencananya untuk berbicara dengan Kakek Tanuraja harus ditunda karena kehadiran Angga dan Anggun tapi sepertinya itu tidak perlu. Selesai dengan kegiatan sehabis mandinya, Diana segera keluar dari kamar. Ruang kerja Kakek Tanuraja berada di lantai satu. Dulu kamar dan ruang kerjanya berada di lantai dua. Tapi karena lutut Kakek semakin memburuk, semuanya dipindahkan ke lantai satu agar memudahkan Kakek untuk beraktifitas. Diana berjalan menuruni tangga dan berhenti saat menyadari dia harus melewati ruang tempat Ibu mertua, suami dan adik Diana sedang bercanda ria. Dia harus melewati ruangan itu untuk berjalan ke lorong yang akan membawanya ke ruang kerja Kakek Tanuraja. Ugh, mau bagaimana lagi. Diana berjalan melewati ruangan itu tanpa menoleh yang
Hari keduanya menjadi Diana si istri lelaki konglomerat tidak seheboh hari pertama. Tidak ada teriakan dan ujaran angkuh dari adik iparnya tapi ada tambahan mata yang menatapnya tajam selain ibu mertuanya. Diana tidak ambil pusing dengan itu. Di kantor Tika juga tidak banyak bertingkah. Walau masih dengan wajah masam setiap kali harus melakukan sesuatu atas perintah Diana tapi Tika melakukannya. Proyek yang sedang dilakukan oleh divisinya juga berjalan lancar. Diana sudah mulai bisa mengikuti alur kerjanya juga aturan-aturan yang perlu diperhatikan. Pekerjaan memang bukan hal yang Diana khawatirkan. Soal Mama, masih belum ada kabar. Biar sajalah. Diana juga tidak terburu-buru untuk hal itu. Selagi ada kesempatan, Diana ingin menikmati rasanya menjadi anak keluarga kaya yang hidupnya santai tanpa perlu khawatir soal uang. Siapa sih yang tidak mau hidup sebagai anak sultan? Diana sih mau sekali. Apalagi setelah bertahun-tahun menjadi budak korporat yang hanya tahu berangkat kerja
Percakapan ini tidak tidak berujung. Diana dan Mama sama-sama tidak ingin mengalah untuk apapun yang mereka inginkan. Untuk kebahagiaan mereka. Diantara mereka Mama yang paling putus asa. Dia sudah hidup lebih dari dua puluh delapan tahun dalam pernikahan ini dan melepaskan itu semua bukan hal yang mudah. Tidak seperti Diana yang baru menjalani hidupnya. Diana bisa mengorbankan hal lain dibandingkan Mama. Yang menurut Mama adalah hal yang perlu Diana lakukan karena itu bentuk baktinya terhadap Mama. Tapi lucunya penolakan Diana jauh lebih seperti penghianatan dibandingkan tindakan durhaka. Mama memang hanya ingin menganggap Diana sebagai anak disaat menguntungkan saja. Jauh di dalam hatinya dia tidak benar-benar menganggap Diana sebagai anak. Bukan juga alat seperti yang Diana buat terlihat seperti itu. Teman seperjuangan. Bagi Mama itu adalah Diana. Mereka berdua sama-sama memperjuangkan apa yang Mama inginkan.Tujuan mereka sama dan perbedaan antara mereka bukan sesuatu hal yang
“Aku masih sangat waras.” Setidaknya untuk Diana dia waras walau tidak begitu untuk Mama. Mata hazel milik Mama yang serupa dengan milik Diana itu tengah menatap Diana lamat-lamat.Mama mencoba mencari sesuatu yang berbeda dari Diana dan menemukan alasan kenapa Diana seperti ini agar dia bisa kembali memegang kendali atas situasi ini. Atas Diana. Tapi itu sepertinya percuma. Tatapan mama sama sekali tidak membuat Diana takut atau pun tegang karena bagi Diana saat ini Mama hanya menatapnya dengan rasa curiga, penasaran berlebih dan berusaha memahami bukan sesuatu yang menusuk, menuntut dan mengulik.Melihat Diana yang sama sekali tidak bereaksi dengan apa yang Mama lakukan membuat wanita itu gusar. Dia meremas kedua tangannya di bawah meja dan mengelus ibu jarinya ke punggung tangan. Diana tidak perlu melihat itu untuk benar-benar tahu bahwa Mama gusar. Cangkir teh yang tadi dia minum kini diputar-putar lalu kembali di taruh tanpa diminum oleh Diana. Dia hanya ingin membuat Mama jauh
!!Trigger Warning!!Mention of Suicide“Dengar Diana,” Mama mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat. Suaranya lebih pelan tapi jauh lebih tegas dari sebelumnya. “Lupakan apa yang kau pikirkan kemarin malam dan bertahanlah menjadi istri Angga dan tetap menjadi menantu keluarga Tanuraja.” ujar Mama dengan penuh penekanan di setiap katanya. Diana merasa sangat tidak enak mendengar ucapan Mama. Perutnya terasa diaduk oleh tangan bayangan yang juga meremas jantungnya. Itu bukan reaksi Diana. Dia yakin kalau pun wanita di depannya itu berulah tidak akan membuat Diana merasa takut, gugup atau apapun itu karena pada dasarnya dia hanya menganggap Mama sebagai orang asing. Reaksi ini adalah reaksi dari Diana yang asli atau reaksi asli dari tubuh ini yang memiliki hubungan emosional dengan Mama. Hal yang tidak dimiliki oleh Diana. Diana memandang mata hazel milik Mama yang sialnya begitu mirip dengan mata yang dimiliki tubuhnya sekarang. Diana bahkan bisa melihat pantulan dirinya di mata Ma