“Ini sudah 6 tahun 28 hari sejak hari itu, Lesung Pipi” ucapku pada jam tangan pemberiannya dulu. Jam tangan itu sudah rusak, jarumnya sudah tidak bergerak lagi. Aku tidak berniat membuangnya. Terlalu berharga. Tidak pula berniat memperbaikinya. Biar saja. Biar saja dia hanya sebagi penghuni kotak kado itu di dalam laci mejaku. Itu pantas dan belum cukup untuk seseorang yang membuatmu jatuh cinta tapi pergi meninggalkanmu.
Aku meletakkan jam tangan itu ketempatnya semula dan memindahkan kalender meja yang baru saja kuberi tanda silang ke atas tumpukan majalah di dekat tas biru diatas meja kerjaku. Setiap hari selama 6 tahun ini aku membuat tanda silang di kotak tanggal kalender itu menghitung hari-hari yang telah aku lewatkan menunggu si Lesung Pipi. Kebiasaan aneh itu tidak pernah absen walau sesibuk apa pun aku. Kebiasaan aneh itu bahkan membuat Shaniar berkali-kali menasehatiku untuk pergi ke psikolog dan aku menolak. Kebiasaan itu juga menyadarkanku bahwa betapa menyedih
Si Lesung Pipi? Kusentuh dadaku yang tiba-tiba berdenyut perih. Punggungnya yang menjauh hari itu sekelebat lewat memburamkan semuanya. Rasa sesal itu kembali hadir. Kenangan akan dirinya kembali berputar membuat pikiranku bertambah kacau. Aku mengacak-acak rambutku berharap kekacauan itu berkurang.
Kak Dave, apa kau tahu apa yang aku rasakan ketika mendengar semua pengakuan dari orang-orang yang ada disekitarmu? Merasa bodoh sendiri dan tidak tahu apa-apa. Satu-satunya yang aku tahu tentang dirimu hanyalah lesung pipi dan sifat pemalumu. Jujur, ini sedikit membuatku marah. *** “Kamu masih ingat tidak waktu kamu dan temanmu, Shaniar, di suruh berjoget di depan karena terlambat di hari pertama MOS?” Aku menoleh pada Agita di sampingku yang sedang ditata rambutnya oleh capster. Aku kembali terkejut lagi saat Agita menyambut kami di salon ini dengan pelukannya, tadi. Kak Dani membawaku ke sini untuk bertemu dengannya. Belum sempat aku menanyakan kabarnya, tanganku sudah ditarik masuk ke dalam ruangan. “Kita meregangkan otot kita dulu, baru nanti aku akan menceritakan semuanya padamu” ucap Agita padaku sebelum menarikku. Dia terlihat lebih ramah, dewasa dan stabil. “Kak
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Bisakah bagian ini dikosongkan saja? terlalu sakit jika harus menceritakan perasaanku saat itu. *** Dari terasnya saja aku sudah menebak bahwa rumah ini bergaya eropa modern, keyakinan itu bertambah saat masuk ke dalam rumah. Arsitektur, pemilihan barang-barang di dalamnya, bahkan sampai tanaman dan lantainya sangat bergaya Eropa. Aku mengikuti langkah wanita berambut pirang di depanku dengan hati-hati karena aku tidak mau menggores lantai yang sangat indah itu dengan heelsku. dalam kehati-hatian itu juga bercampur rasa penasaran, gelisah, bahagia meluap-luap, jantung yang berdetak cepat. Sudah tidak sabar lagi rasanya mengakhiri penantian ini. Sudah tidak sabar lagi rasanya menyudahi penyesalan yang terpendam selama bertahun-tahun. Tidak menyangka tanpa harus bersusah payah lagi aku bisa bertemu dengannya. Aku yakin tanpa mengutarakannya pun aku sudah tahu bahwa per
Perasaan sia-sia karena menunggumu, kenyataan yang sangat tidak terduga dan “Entah apa yang akan aku lakukan selanjutnya” bercampur menjadi satu dalam tangisan. Apakah kau bisa mendengar itu semua? Kalau tidak, kau sudah melewewati batasmu untuk berbuat kejam padaku. *** Video dibuka dengan seorang laki-laki berwajah pucat memakai baju pasien rumah sakit, yang dari sekilas saja aku bisa mengenalinya. Si Lesung Pipiku. Dia sedang berusaha meletakkan kamera pada posisi yang bagus di atas meja di samping tempat tidurnya. Dia duduk diatas tempat tidur lengkap dengan beberapa selang melekat ditangan, hidung dan tubuhnya. Foto yang ada ditanganku terjatuh. Aku memandang bunda yang menutup mulutnya menahan suara tangisnya melihat video itu. Rasa gelisah menggerogotiku. Kali ini lebih-lebih hebat dari dulu-dulu. “Ok. Hai Drewi, mmm....ini video khusus untukmu, Ini kuambil diam-diam karna sebenarnya aku tidak bisa banyak-banyak bergerak atau
Seseorang lelaki memakai baju seragam SMA berjalan menjauh memunggungi di depan sana. Aku mengenal tempat ini, ini tepat persis di depan gerbang sekolahku dulu. Aku memperhatikan dengan seksama gaun pernikahan lengkap dengan semuanya yang melekat ditubuhku. Lalu kembali melihat ke depan sana. Lelaki itu sudah berhenti berbalik menatapku dengan senyum indahnya. Tangannya terangkat melambai dan kemudian dia kembali berbalik, berjalan menjauh hingga tidak terlihat lagi. Aku hanya terdiam melihat itu semua, air mataku satu-satunya yang bereaksi. Disamping rasa sedih karena melihatnya hilang disana ada terbersit rasa lega menyelimuti perlahan-lahan. Tanganku terangkat melambaikan tangan kearah jalan yang sudah kosong it. Aku bisa merasakan wajahku tersenyum tulus disela-sela tangisku. Aku sudah tahu jawaban akan perasaanku ini. Itu yang sudah membuatku lega. “Drew, Drewi. Bangun Drew” hidungku mencium bau minyak kayu putih. Sosok Shaniar adalah yang pertama kaliny
Setahun berlalu.... Akhirnya psikolog pribadiku sudah mengurangi jadwal rutin bertemu dengannya. Menurutnya aku sudah mengalami perubahan yang signifikan. Shaniar dan Agita juga beberapa hari yang lalu saat datang berkunjung ke apartemenku, mengatakan bahwa wajahku sudah mulai ceria dan bersinar lagi. Sejak peristiwa kejutan itu kami mulai akrab dan bahkan sangat dekat hingga membuat jadwal rutin untuk bertemu dan menginap. Mereka berdua juga tidak lelah mendukung dan selalu ada di sisiku saat aku benar-benar terpuruk. Ditambah juga semangat dari kak Dani cs, keluargaku dan kak Diva. Mereka adalah faktor utama mengapa aku bisa bangkit lagi dan bisa bekerja dengan normal walau harus rutin mengunjungi psikolog. Bunda Adelia juga sudah lama bangkit kembali sebelum aku. “Pemakaman umum... ya pak” ucapku pada sopir. Sebelum memberitahu kabar bahagia ini pada mereka semua, aku ingin si Lesung Pipi adalah yang pertama tahu. Aku ingin menyombongkan hasil pen
Bagian 1 : Suara musik kencang berdentam-dentam terdengar jelas dari dalam gedung aula bertuliskan Aula Sakti. Suara riuh rendah, tawa dan teriakan-teriakan mengiringi ramainya suasana di dalam aula. Guru-guru ikut berjoget bersama siswa-siswa lainnya dari kursi penonton. “Gila itu cewe, Dave” Dani menyentuh bahu temannya yang sedang asyik memperhatikan dua siswa perempuan berpakaian aneh khas siswa ospek dengan rok rumbai-rumbai terbuat dari tali plastik dan topi terbuat dari kardus makanan sedang berjoget di atas panggung. Tidak lupa baju terbuat dari goni plastik dan papan nama super besar bertuliskan nama-nama aneh tergantung dileher. Mereka berdua bergoyang seperti urat malunya sudah putus. Tadi setelah tidak sampai satu menit ikut berjoget, laki-laki itu memutuskan untuk tidak melanjutkan. Bergoyang sekaligus tertawa membuat nafasnya sesak dan lebih memilih menepi ke area panitia di sebelah kanan barisan tempat duduk para siswa baru. “Dave
Sesakit-sakitnya rasa ini karena melihat orang yang kusayangi lebih memilih orang lain yang baru saja dia temui, tapi cinta tetaplah cinta. Sejauh ini aku bisa mengerti apa yang dia rasakan, karena apa yang dia rasakan itu juga pernah kurasakan ketika pertama kali berjumpa dengannya. Saat itu aku masih kecil, sangat kecil untuk bisa jatuh cinta tapi pada kenyatannya aku sudah terlanjur menyukainya. Maka, ketika dia memintaku untuk membantunya mengungkapkan perasaanya, di tengah-tengah hatiku yang masih terluka, aku siap. Aku tahu segala hal tentang dirinya tapi itu tidak menjamin. Aku mencintainya tapi itu tidak cukup. “Git, dia kan gak salah apa-apaz?” tanyanya saat kami sedang asyik memakan ice cream kesukaan kami di taman depan rumahnya. Ini kebiasaan kami setiap sore jika ada waktu luang. Saat itu dua hari sebelum kami pindah ke Bandung. “Iya. Tapi dia merebut kakak dariku” aku memang sudah terbiasa sangat terbuka tentang perasaanku padanya.
Sampai saat ini aku sudah sembuh total dari goncangan itu. Aku mempunyai karir yang cukup bagus. Pria yang bersamaku saat ini sangat hangat. Dia mau menerimaku dan lukaku. Aku juga dikelilingi orang-orang yang perduli. Kami saling peduli satu sama lain. Jujur, salah satu inspirasiku untuk bangkit adalah Agita. Dia pantas mendapatkan gelar wanita kuat dan hebat. Melihat betapa dia sangat kuat menghadapi semua itu bahkan memilihkan gaun pernikahan yang sangat spesial itu untukku. Dia sudah lama berdamai dengan dirinya. Dia menginspirasiku untuk bisa bangkit berdiri. Kepura-puraan yang selama ini kulakukan ternyata salah. Berdamai dengan semua itu , menghadapi rasa sakit itu seperti yang di lakukannya adalah yang seharusnya kulakukan sejak awal. Shaniar, tumbuh menjadi wanita yang sangat elegan. Sampai hari ini dia selalu menanyakan keadaanku. Bercerita mengenai apapun yang dia rasakan agar aku juga ikut terpancing bercerita seperti yang dia
Menangis itu perlu entah kau perempuan atau laki-laki, karena luka bisa saja menghampiri setiap orang, tidak mengenal apa gender, status dan keadaan. Karena di dalam air mata dan usaha mengeluarkan air mata itu ada beban yang keluar secara tidak langsung. Ketakutan menjadi hilang, keraguan menjadi hilang, sesak hati sirna. Cinta harus diungkapkan, baik engkau perempuan maupun laki-laki. Baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa. Karena cinta menghampiri setiap orang. Sekali lagi, tanpa mengenal siapapun itu dia. Karena saat cinta diucapkan, bukan hanya untuk menunjukkan hatimu, tapi untuk mengambil bagian hati yang mencinta, agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak kita duga. Sekalipun kau di tolak, sekalipun hati dipatahkan, setidaknya tidak ada luka yang terpendam. Kau bisa mengambil langkah selanjutnya. Kau bisa bangkit lagi. Berjalan lagi tanpa apaun yang mengendap dalam hatimu. Terluka dengan lega, terluka dengan ringan ,terluka dengan pasti. Kita
Nafasnya memburu. Naik turun tanpa jeda tanpa irama. Kerah kemeja dia longgarkan. Keluar dari apartemen Drewi, Dani tidak sabar ingin sampai ke kafe milik Sano. Di sana ada seseorang yang sangat ingin sekali dia minta konfirmasi. Git. Adam sudah di sana?Send Kirimnya pada Agitha sebelum memasuki lift. Sudah kak. Semuanya sudah ada disini.Tinggal Dancer sama dekorasi yang belum siap.Drewi tahan sebentar ya di sana.Read Di dalam mobil, Pesan balasan masuk. Begitu mesin meyala, Dani tanpa membalas pesan, menginjakkan kaki sekuat tenaga di pedal Gas, menimbulkan suara cericit memekakkan telinga di basement apartemen. Darahnya sudah naik keubun-ubun. “Sialan!!! Sialan!!” bentaknya pada setir. Dipukulnya sekuat tenaga untuk meredam emosi. 30 menit berlalu setelah meelwewati kemacetan dibeberapa jalan besar kota, akhirnya kafe milik Issano telrihat di uj
Sesaat hati bisa merasa yakin, sangat yakin ketika berada pada “Detik Penentu” lalu bisa juga sesaat kemudian keyakinan itu berubah bagai langit sore yang menjadi hitam saat matahri sudah kembali pulang ke ujung samudera. Banyak “seandainya-seandainya tercipta ketika detik-detik penentu sudah terlewat, ada banyak harapan-harapan lama muncul ketika detik-detik penentu teringat kembali. Mengingat kembali kenangan-kenangan, mengingat kembali moment-moment kadang terpikir unutk memutar semuanya itu. Walau, pada akhirnya, tidak akan kembali lagi detik itu, tidka akan muncul lagi atau tidak akan sama lagi semua yang ada di dalam moment-moment itu. Akan tetapi, ada satu keputusan hebat tercipta saat sudah sampai di detik-detik penentu itu. Apapun hasil dari keputusan itu, pada akhirnya, hanya orang-orang hebat yang berhasil mengambil keputusan di saat genting seperti itu dan orang-orang bermental kuat yang bisa berhasil menajalani kehidupan setelahnya. Berjalan, bertahan sam
“Kak aku bisa temenin kakak tidur, ga?” David kaget saat hendak masuk ke dalam selimut tiba-tiba Agitha sudah ada di pintu kamarnya. “Bukannya dari tadi kamu sudah pulang?” “Udah, tapi dateng lagi. Tadi nganterin tante dulu sekalian makan malam. Tadi laparr banget” “Dasar” “Hehe...” “Ya udah boleh. Tapi jangan macam-macam, ya?” “Iiihh harusnya aku kali yang ngomong gitu” Agitha mengambil selimut dari lemari David dan tidur di sebelah David. David terkekeh di seberang bantal guling. “Bantal gulingnya ga usahlah ya...” David mengangkat bantal guling bersiap membuang ke bawah. “Kakaaak...” teriak Agitha merebut bantal guling . David tertawa lagi lebih kencang. Agitha meletakkan lagi bantal guling dan menepuk-nepuk menandakan area itu adalah area terlarang. David usil menyentuh dan dibayar dnegan tamparan keras mendarat ditangan membuatnya mengaduh. Beberapa saat setelah mereka nyaman di posisi tidur mereka
Mungkin ini nggak penting-penting amat tapi mungkin juga nggak penting sama sekali (Hapaseehhh....) Jadi, sebenarnya selama 2 bulan lebih ini saya sedang menenangkan badai-badai yang silih datang berganti eh silih berganti datang....ihh....yang mana sih yang bener? Tau ah... jadi begitulah. Badai-badai itu datang menenggelamkan jiwaku dan akhirnya menyeret ke palung gelap bernama "Aku Sedang Tidak Baik-baik Saja". Akhirnya hanya bisa rebahan....rebahan...dan rebahan dengan tatapan kosong, jiwa yang kosong juga. Pas buka Goodnovel lagi tadi, ada banyak yang jadi pelanggan. Angka yang membaca juga bertambah dan yang bikin seneng lagi sudah ada yang ngasih kontribusi dan voted. I'm just like...Woooooow. Semangatnya bertambah lagi. Thank you untuk kalian semuanya.:* :* :* . Tuh...triple kiss buat kalian semua. Cukup kan? Cukup? Cukup? Ya cukuplah ye kaaan. Tungguin update-an selanjutnya yaaaa.... See you next bab. Bab yah saudara-saudara. Bab novel yah. Bukan Bab yang itu. Dahlah. U
.........From : Epilogue (Gadis Bermata Coklat) Bagian 3 " "Kak Adam, bantuin Drewi dong. Dia sampai ga semangat gitu, coba. Mata Bu Gempal tadi benar-benar kaya elang buas tahu nggak sih, kak. Ya, namanya gladi resik ya tempatnya yang salah-salah di perbaiki. Aku kalau jadi Andrewi udah pasti nangis tuh digituin" "Iya, aku juga liat kok, Shan. Tadi juga dia udah hampir nangis" "Makanya, mumpung dia masih latihan sama Bu Gempal, ayo kita Bujuk kak David, ya, kak. Kasih tahu kalau itu bukan salah dia. Kasih tahu kalau Andrewi butuh di semangatin" "Udah, Shan. Masalahnya, dia ngeliat langsung Dani di bentak-bentak waktu itu" "Ya, namanya juga orang tua, kak. Ayolaah...kasihan Andrewi" "Ya, kita coba bujuk lagi aja deh" "Halo, Dave dimana?" "Kesini sebentar. Di depan Aula. Ada Shaniar mau ngomong sesuatu" "Iya, mau ngomong penting"
Beberapa jam sebelum Gladi Resik....Pagi yang cerah, pikir Dani melihat langit pagi menjelang siang. Dia baru saja keluar dari ruang kepala sekolah setelah diberitahu bahwa dia satu-satunya siswa yang akan diajukan menerima beasiswa ke salah satu universitas di Inggris. Berkat koneksi ayahnya, dia mendapatkan tempat di daftar beasiswa itu. Kebetulan jurusan yang dia inginkan termasuk salah satu jurusan yang di perbolehkan dalam beasiswa, jadi dia merasa tidak keberatan. Selain itu, selebihnya, dia tidak berbuat curang karena dia juga tetap ikut tes, wawancara dan lain-lain nantinya.Jam pelajaran ke 3 akan segera berakhir, itu artinnya bel isttirahat pertama akan berbunyi. Dani melipir ke kantin menghabiskan waktu sekalian mengambil tempat duduk untuk teman-temannya.Di kantin, Dani membatalkan rencana, membanting setir berpura-pura membeli pulpen saat seorang guru masuk tepat ketika dia hendak duduk. Dani keluar tergesa-gesa setelah pulpen dibayar agar guru tersebut tidak curiga.
“Dave, jangan lama-lama ngasih tahu Andrewi kalau kau mau pindah. Habis UN dia sudah harus tahu” Adam dan David berjalan agak jauh dibelakang teman-tamannya. Jam istirahat sudah selesai, mereka sudah harus kembali ke kelas masing-masing. Adam sengaja memberi kode kepada David saat mereka keluar dari Kantin. “David mendengus geli dan remeh “ Sok tahu!' Adam menarik tangan David agar berjalan lebih lamamembiarkan Bownie dan yang lainnya berjalan duluan. “kita jangan berdebat disini, Dave” “Enggak usah urusi urusanku, Dam. Urus aja hubungan kalian itu. Apalagi kemarin kalian kayanya sudah makin akrab” penuh penekanan David menyindir Adam. “Indeed” “Baguslah” “Kalau sampai UN selesai dan Drewi belum tahu. Jangan salahkan aku, kalau aku yang ngasih tahu langsung” Adam berjalan mendahului David, bergabung bersama teman-temannya yang lain. David menghela nafas berat lagi, masih tidak mengerti mengapa semua
Di balik panasnya pertengkaran David dan Adam, Dani di rumah Andrewi di temani oleh orang tuanya datang meminta maaf. Bownie yang mengantarkan Dani pulang menceritakan semuanya. Tanpa basa basi ayah Dani memaksa untuk ke rumah Andrewi, meminta maaf, setelah sebelumnya menasihati Dani. Dia tidak ingin anak-anaknya terlibat masalah. Secepatnya harus di selesaikan. Ibu Dani setuju dan membelikan beberapa makanan sebagai buah tangan. Di pintu pagar rumah Andrewi, ayah Andrewi menyambut dengan wajah sedikit masam. Walau pun sudah di jelaskan bahwa Andrewi pergi beramai-ramai dengan yang lainnya ke TWI, dia tetap belum terima bahwa ada yang berani mengajak Putrinya pergi tanpa izinnya. Meski begitu mereka tetap di sambut masuk. Sore itu di depan keluarga Andrewi dan keluarganya sendiri, Dani meminta maaf lalu di beri wejangan-wejangan oleh orang tuan Andrewi dan orang tuanya sendiri. Dani hanya bisa menunduk dan mengangguk-angguk pasrah. Walau ini bukan murn