Aku membuka mata dengan berat disertai rasa nyeri di dada kananku. Kulihat ramuan herbal dengan balutan perban yang melilit di sepanjang bahu kananku dan butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut selimut.Kuedarkan pandangan dan kudapati tempat tidur yang berbeda dari biasanya. Kali ini begitu mewah dari kamarku sebelumnya.“Tuan putri sudah sadar!”Kulihat wanita tua terlihat semringah dengan mata sedikit berkaca-kaca saat melihatku. Ia langsung beranjak keluar dengan sedikit keributan.“Yang mulia, tuan putri sudah sadar!” gaduhnya di luar sana.Tak lama seorang pria dengan penampilan khas pangeran masuk ke kamar dan menatap wajah pucatku.“Bibi Athea, siapkan makanan dan pakaian.”“Baik.”Tak lama bibi Athea pergi dan kini tinggal kami berdua. Pikiranku masih menolak kenyataan bahwa aku—telah menikah dengannya. Hari itu rasanya seperti mimpi buruk. Aku langsung merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku ketika dia mendekat.“Aku sama sekali belum menyentuhmu. Jadi jan
“Valen?”“Velian?” gumam ku ternganga.Tanganku ditarik dengan cepat dan dalam sekejap tubuhku sudah berada dalam rengkuhannya. Aku bisa merasakan napasnya tak beraturan akibat cemas yang bercampur lega. Aku melingkarkan tangan untuk menerima tubuhnya.“Aku—merasakan sakit waktu kau terluka,” ujarnya. “Kupikir kau—.”“Aku baik-baik saja. Jika aku mati, mungkin kau tak akan membuka mata lagi.”“Aku—nyawaku benar-benar bergantung padamu.”“Aku sudah berjanji padamu untuk melindungimu bukan? Saat aku mengetahui bahwa kau adalah pangeran ke empat, aku sudah mengabdikan diriku padamu.”Velian melepas pelukannya dan menatapku terutama—pakaianku. “Penampilanmu yang selalu ala kadarnya dan suka memakai pakaian pria terkadang membuatku lupa bahwa kau adalah wanita.” Dia terlihat gugup dengan menelan ludah. “Kau—benar-benar seperti wanita sungguhan.”Aku tersenyum kaku mendengar penuturannya. “Hei, aku memang wanita sungguhan.”Ia sama tersenyum kaku, tapi tak lama senyumnya memudar ketika tata
Aku memacu kuda dengan berat hati setelah berpisah dengan Velian. Perasaanku menjadi carut marut seketika dengan debaran aneh yang sebelumnya pernah kurasakan meskipun tidak separah ini. Udara dingin menyapu wajahku hingga rasanya terasa beku. Uap putih berhembus seiring napasku yang teratur.Tak lama, aku sampai di sebuah tempat di mana aku berpisah dengan Erick. Berdasarkan prosedur, aku harus menunggunya di sini, tapi tempat ini begitu sepi dan juga lembab. Aku segera mencari tempat yang sedikit kering tak jauh dari tempatku agar bisa menyalakan api sambil menunggu. Seharusnya Erick akan segera kembali.Aku duduk termenung sambil menggosok kedua tanganku untuk memberikan rasa hangat yang tak seberapa lalu merapatkan jubah hangatku. Pikiranku kembali melayang pada Velian dan kejadian sebelum ini. Aku tidak mangharapkan waktu terulang, tapi aku juga tidak ingin melupakannya. Wajahku terasa memanas ketika memikirkannya.Lamunanku buyar ketika mendengar ringkikkan kuda yang semakin men
Pikiranku begitu jernih, tapi tubuhku masih enggan untuk bergerak. Telingaku mendengar, tapi mataku enggan terbuka. Suara bising, rayuan para selir, kekhawatiran, rasa cemas terdengar silih berganti. Aroma herbal, makanan, dan salju juga kucium silih berganti. Sesekali aku merasakan sentuhan lembut membelai rambutku."Seperti yang ayah lihat bukan? Dia sama sekali belum diberi penawar racun, tapi dia masih hidup hingga saat ini. Apa kau masih berpikir bahwa dia seorang Shirea?" Itu suara Erick."Seharusnya kau tidak menikahinya. Dia akan membawa kehancuran bagi kita dan yang pasti posisimu akan terancam.""Posisiku atau posisi ayah?""Erick!""Ayah sudah memberiku kekuasaan dan aku memiliki hak yang berdaulat atas Valen. Jika dengan ini ayah ingin mencabut kembali kekuasaanku, silahkan! Aku akan pergi dari sini bersama Valen dan ayah akan menjadi raja seumur hidup tanpa adanya pewaris.""Erick! Kau bahkan sekarang berani mengancamku?""Itu adalah fakta yang akan datang.""Baiklah. Jik
Aku segera melepas kain yang melilit di tubuhku setelah melempar jubah milik Erick di kursi. Siraman air mengguyurku ketika aku menuangkannya ke seluruh tubuh. Meskipun pedih, tapi rasa lengketnya mulai memudar dan tubuhku terasa ringan ketika merasa sudah bersih.Bibi Athea langsung membantuku untuk mengolesi obat luka sambil menyuarakan serapah terhadap para selir ketika melihat luka-lukaku. Aku turut mengolesi luka-lukaku sendiri untuk bagian lengan dan beberapa bagian yang masih terjangkau oleh pandanganku, sementara bibi Athea sudah mengolesi obat di punggungku."Semoga saja mereka mendapat hukuman yang layak." Setidaknya itu adalah serapah terakhir yang kudengar."Sudah lah, biarkan saja.""Tidak bisa begitu!" tukasnya. "Harusnya mereka sadar bahwa status mereka hanya selir, nona. Meskipun mereka lebih dulu tinggal di wilayah kediaman Putra Mahkota, mereka tidak boleh melakukan hal-hal seperti ini apa lagi padamu!"Aku tersenyum miring mendengar kalimatnya yang tak terlalu forma
Seminggu telah berlalu dan aku masih menjalani hukumanku. Baru satu buku tebal yang berhasil kusalin dan itu pun jemariku sudah harus diperban dan diterapi untuk memulihkan otot-otot pergelangan tanganku yang kaku dan kram. Berkali-kali Lavina harus memijat tanganku dan sesekali meniupkan sedikit sihir agar cepat sembuh meskipun itu tak bertahan lama."Yang mulia, saya membawakan teh untuk anda." Velian datang sambil membawakan secangkir teh hangat.Selama aku di kamar, semuanya harus terlihat normal termasuk bagaimana Velian harus menjaga sikap agar tidak ketahuan."Terima kasih, tuan Ricky."Aku meraih secangkir teh yang ia sodorkan kemudian meneguknya. Rasanya sangat lucu mengingat seharusnya aku lah yang melayaninya. Velian adalah pangeran yang sesungguhnya dan aku hanya sebagai ksatrianya, tapi justru dia yang melayaniku? Dunia terbalik macam apa yang kujalani saat ini?"Sebentar lagi makan malam, saya akan memanggil anda jika sudah siap."Aku tersenyum formal padahal hatiku tert
Aku masih menjalani hukuman sambil sesekali meregangkan tubuh. Terkadang aku menatap keluar jendela untuk menghirup udara segar yang bercampur aroma mawar. Bentuk merekah mereka membuat tanganku gatal ingin memetiknya satu lalu menghirupnya.Pikiranku melayang pada sosok yang kini sedang menempuh perjalanan untuk menjalankan tugasnya dan dalam hati aku hanya berkata, "Semoga berhasil."Bangunan menara di belakangku, aku tahu Erick mungkin mengawasiku di sana. Aku tak ingin menoleh ke menara itu, karena pasti ia akan menanyakannya. Aku kembali duduk dan melanjutkan tulisanku.Tak terasa hari mulai malam dan Velian belum juga kembali. Aku menutup buku setelah jemariku terasa pegal.Aku menuruni tangga dan ruangan di bawah sana terasa sepi, tapi aku bisa mencium aroma masakan yang harum dan aku segera menuju ke dapur. Di sana sudah ada Zealda yang sibuk dengan sayur mayurnya sementara di luar sana, Aleea masih sibuk menyirami tanaman yang sepertinya hampir selesai."Valen, apa kau sudah
Pikiranku melayang, menyibakkan kalimat demi kalimat Erick dalam kepalaku. Dia masih berbicara seakan-akan belum mengetahui apa pun tentangku, tapi kenapa aku merasa bahwa seharusnya dia sudah tahu berkat insting kejamnya.Aku menatap makanan di hadapanku tanpa nafsu, ia terasa hambar seolah-olah lidahku juga turut berpikir hingga makanan apa pun yang masuk tak terasa enak sama sekali. Terlalu banyak yang kupikirkan dan juga ketakutan yang menyelimutiku. Meskipun begitu, aku tetap mengunyahnya tanpa sadar untuk mengobati perutku yang meraung."Valen."Aku menoleh ke arah sumber suara milik Zealda. Ia mengunyah makanannya lalu menelannya sebelum melanjutkan, "Ada apa? Kau terlihat tak nafsu makan. Sedang memikirkan sesuatu?"Aku terdiam sejenak. "Tidak apa-apa.""Kami tahu kau sedang memikirkan sesuatu, Valen. Semenjak putra mahkota datang semalam, dari tadi kau tidak banyak bicara." Aleea menyuapkan sepotong rotinya ke dalam mulut."Ah aku tahu." Lavina menyeruput minumannya. "Kau pas
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara