Beberapa hari kemudian, saat Shanum tengah me time dengan membaca buku di teras samping, Mr. Chen kembali menemui. Kali ini, pria itu tampak lebih bersemangat, matanya berbinar dan senyumnya lebar sekali. Seolah tengah bersuka cita."Xiao Shan," panggilnya riang, menarik perhatian Shanum yang tengah fokus membaca.Shanum mendongak. Tetapi melihat senyum lebar sang paman, alis Shanum refleks terangkat sebelah. "Ya, Paman?"Shanum yang sudah cukup mengenalnya tentu saja merasa curiga. Apa lagi kali ini yang akan di lakukan pamannya ini?"Ada sesuatu yang ingin Paman tunjukkan padamu." "Apa itu?""Tapi kamu harus mengatur nafasmu terlebih dahulu. Karena apa yang akan paman sampaikan pasti membuatmu syok." Senyum masih belum luntur. Malah semakin lebarShanum semakin curiga. "Paman tenang saja, aku orangnya cukup sabar, kok.""Janji tidak langsung marah, ya?""Langsung saja, paman. Tidak usah banyak basa basi."Dengan gerakan tenang akhirnya, Mr. Chen mengeluarkan sebuah amplop cokelat
Begitu mendengar tuduhan Frans, ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang mencekam. Semua orang membeku, terutama Arjuna. Matanya langsung berubah tajam dan penuh amarah. Arjuna langsung menuju kamarnya demi memastikan keadaan sang istri. Sementara Shanum menatap Leon dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Antara marah, kecewa, jijik dan ... mungkin kasihan. Leon pasti tidak sadar jika telah berbuat kesalahan fatal, yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri sampai ke dasar. Bunda Karina adalah kelemahan Daddy Arjuna. Daddy bisa melakukan apa saja jika bundanya tersakiti. Bahkan, melenyapkan orang pun, tak akan segan."Habislah kau!" desis Shanum penuh amarah. Shanum lalu mengikuti langkah sang Daddy mengecek keadaan Bunda. Namun, hatinya langsung ikut teriris ketika sampai, langsung di sambut penampakan Bunda Karina yang histeris dan meronta menolak sentuhan Daddy. Pasti perbuatan Leon barusan membuat trauma Bunda kembali muncul. Daddy pernah cerita jika Bunda Karina dulu se
Leon terus meronta saat Frans menyeretnya keluar, tetapi tidak ada satu pun yang peduli. Bahkan Mr. Chen yang biasanya membela pun hanya menatap dengan tatapan kecewa, tak berniat menolongnya."Jangan khawatir, Leon," suara Frans dingin. "Aku akan mengantarmu keluar dengan baik-baik. Tapi setelah itu, jangan pernah muncul di hadapan Bos lagi, kecuali kau ingin hidupmu benar-benar berakhir.""Frans! Aku benar-benar tidak bersalah!" Leon masih berusaha membela diri, tetapi Frans hanya mendecih."Kau bisa menyuarakan kebohonganmu sebanyak yang kau mau. Tapi tidak ada satu pun orang di rumah ini yang akan percaya." Frans mencengkeram bahu Leon lebih erat. "Dan satu hal yang harus kau ingat, Tuan Leon. Tidak ada yang bisa menyentuh Nyonya Karina tanpa hukuman. Kau harusnya bersyukur, Bos masih memberimu kesempatan untuk keluar dari sini hidup-hidup."Leon menatap Frans dengan penuh kebencian. Ia tidak percaya hidupnya bisa berantakan secepat ini hanya karena satu kesalahan. Padahal niatnya
Mr. Chen duduk di balik mejanya yang besar, kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dengan erat. Ruang kantornya yang biasanya menjadi tempat ia mengendalikan banyak hal, kini terasa seperti jebakan. Udara terasa lebih berat sejak seorang pria berjas hitam masuk ke dalam ruangan, diantar oleh asistennya yang wajahnya pucat ketakutan.Utusan itu berjalan dengan langkah santai, seolah-olah ia adalah pemilik ruangan. Tanpa menunggu dipersilakan, ia duduk di kursi di depan meja Mr. Chen, menyilangkan kaki, lalu menatapnya dengan senyum tipis yang sama sekali tidak membawa kehangatan."Mr. Chen," pria itu berbicara dengan nada tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat bulu kuduk berdiri. "Tuan ingin menyampaikan sesuatu.""A-apa itu?" Mr Chen sebenarnya ingin terdengar biasa saja, tapi ternyata sulit. Tanpa ucapan, pria itu lantas menyodorkan sebuah map coklat pada Mr Chen. Dan memberikan kode lewat mata agar pria itu membukanya. Tangan Mr Chen terulur ragu. Dengan gera
Mr. Chen terdiam, menelan setiap kata Frans dengan perasaan campur aduk. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk Shanum, hanya karena dialah yang paling punya hubungan darah. Tetapi kenyataannya? Ia sudah berkali-kali salah langkah, berkali-kali mengambil keputusan yang justru malah menjauhkan dirinya dari keponakannya sendiri.Sorot mata Frans yang tajam membuatnya tak nyaman. Sebagai orang yang selama ini cukup berkuasa di lingkungannya, Mr. Chen tidak terbiasa ditegur seperti ini—terlebih oleh seseorang yang hanya seorang asisten. Namun, kali ini, ia tahu dirinya tak punya hak untuk membantah.Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan."Kau benar," gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. "Aku terlalu banyak ikut campur dalam hidup Shanum... Aku pikir aku sedang melindunginya, tapi nyatanya aku hanya memperkeruh keadaan."Frans tidak segera menjawab, tetapi ia mengamati peru
"Mungkin dia hanya butuh suasana berbeda malam ini." Safran akhirnya buka suara demi menenangkan Shanum.Shanum menghela napas pasrah akhirnya. "Baiklah, kalau begitu … ayo ke kamar tamu sebelum dia bangun dan menangis lagi."Dengan langkah santai, Safran mengikuti Shanum menuju kamar tamu, masih dengan Baby Nata yang tidur nyenyak di dadanya.***Pagi harinya, Shanum bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membersihkan diri dengan cara paling cepat yang ia bisa dan sholat subuh, wanita itu pun langsung menuju kamar tamu dengan harapan bisa membawa Baby Nata kembali ke kamarnya sebelum bocah terbangun.Sayangnya, begitu ia membuka pintu, Shanum justru langsung terkesiap ketika melihat Safran tengah menjalankan dua rakaat paginya dengan Baby Nata dalam gendongan sebelah tangannya. Astaga, Anak ini!Shanum sebenarnya ingin segera mengambil alih Baby Nata. Namun, ia takut akan mengganggu ibadah Safran. Terpaksa ia pun hanya bisa menunggu pria itu menyelesaikan ibadahnya. Sambil menung
Semua setuju dengan ucapan Karina. Arjuna menyuruh Frans gegas menghubungi Shaki dan memintanya datang pagi ini juga ke rumah. Saat ini, Safran sudah duduk di sofa tamu dengan kondisi yang lebih segar dan rapi, siap berangkat kerja. Pria itu sudah mandi tadi, bersama Baby Nata yang masih saja tak mau lepas. Lihatlah itu! Bahkan untuk urusan mandi saja, Baby Nata masih saja posesif. Shanum tidak tahu lagi harus berkata apa pada anaknya itu.Shaki akhirnya datang dengan langkah santai, mengenakan hoodie dan celana jogger. Wajahnya masih sembab karena memang baru bangun tidur. Frans yang memintanya buru-buru datang membuat pria itu melupakan urusan mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi saja."Ini gimana cerita awalnya, Sha? Kenapa Safran pagi-pagi ada di sini dan malah di tahan Baby Nata?" tanya Mama Alle, ketika Shanum menyambutnya di pintu utama.Shaki memang datang tak hanya sendiri. Ada papa Arkana dan Mama Alle turut bersamanya. Katanya, semalam Shaki menginap di apartemen mereka
Setelah meeting selesai, suasana ruang rapat masih dipenuhi tawa kecil dari para staf. Baby Nata yang sejak tadi nyaman di pangkuan Safran kini mulai menguap lebar. Pipinya menempel di dada pria itu, tampak benar-benar merasa aman dan nyaman.Shanum, yang sejak tadi menunggu di luar, segera menghampiri Safran ketika pria itu keluar ruangan. "Aku pegang Nata, deh. Kamu pasti capek, kan?" tawarnya.Namun, begitu Shanum hendak mengambil Baby Nata, bocah itu langsung menggeliat, mengeratkan pelukannya pada Safran. "Pipi! Mau pipi! Mau pipi aja!"Semua orang yang kebetulan masih berada di sekitar mereka langsung menahan tawa. Shanum, di sisi lain, hanya bisa menghela napas dalam."Nata, ini Mama, Sayang. Sama Mama, ya?" Shanum kembali mencoba.Tapi Baby Nata justru menggeleng cepat. "Mau pipi!""Nata, kamu ini kenapa, sih?" Shanum mulai frustrasi. "Bukan berarti kamu nggak boleh suka sama Om Safran, tapi kan, ini keterlaluan! Masa kamu lebih milih dia daripada Mama sendiri?"Baby Nata tida
Setelah meeting selesai, suasana ruang rapat masih dipenuhi tawa kecil dari para staf. Baby Nata yang sejak tadi nyaman di pangkuan Safran kini mulai menguap lebar. Pipinya menempel di dada pria itu, tampak benar-benar merasa aman dan nyaman.Shanum, yang sejak tadi menunggu di luar, segera menghampiri Safran ketika pria itu keluar ruangan. "Aku pegang Nata, deh. Kamu pasti capek, kan?" tawarnya.Namun, begitu Shanum hendak mengambil Baby Nata, bocah itu langsung menggeliat, mengeratkan pelukannya pada Safran. "Pipi! Mau pipi! Mau pipi aja!"Semua orang yang kebetulan masih berada di sekitar mereka langsung menahan tawa. Shanum, di sisi lain, hanya bisa menghela napas dalam."Nata, ini Mama, Sayang. Sama Mama, ya?" Shanum kembali mencoba.Tapi Baby Nata justru menggeleng cepat. "Mau pipi!""Nata, kamu ini kenapa, sih?" Shanum mulai frustrasi. "Bukan berarti kamu nggak boleh suka sama Om Safran, tapi kan, ini keterlaluan! Masa kamu lebih milih dia daripada Mama sendiri?"Baby Nata tida
Semua setuju dengan ucapan Karina. Arjuna menyuruh Frans gegas menghubungi Shaki dan memintanya datang pagi ini juga ke rumah. Saat ini, Safran sudah duduk di sofa tamu dengan kondisi yang lebih segar dan rapi, siap berangkat kerja. Pria itu sudah mandi tadi, bersama Baby Nata yang masih saja tak mau lepas. Lihatlah itu! Bahkan untuk urusan mandi saja, Baby Nata masih saja posesif. Shanum tidak tahu lagi harus berkata apa pada anaknya itu.Shaki akhirnya datang dengan langkah santai, mengenakan hoodie dan celana jogger. Wajahnya masih sembab karena memang baru bangun tidur. Frans yang memintanya buru-buru datang membuat pria itu melupakan urusan mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi saja."Ini gimana cerita awalnya, Sha? Kenapa Safran pagi-pagi ada di sini dan malah di tahan Baby Nata?" tanya Mama Alle, ketika Shanum menyambutnya di pintu utama.Shaki memang datang tak hanya sendiri. Ada papa Arkana dan Mama Alle turut bersamanya. Katanya, semalam Shaki menginap di apartemen mereka
"Mungkin dia hanya butuh suasana berbeda malam ini." Safran akhirnya buka suara demi menenangkan Shanum.Shanum menghela napas pasrah akhirnya. "Baiklah, kalau begitu … ayo ke kamar tamu sebelum dia bangun dan menangis lagi."Dengan langkah santai, Safran mengikuti Shanum menuju kamar tamu, masih dengan Baby Nata yang tidur nyenyak di dadanya.***Pagi harinya, Shanum bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membersihkan diri dengan cara paling cepat yang ia bisa dan sholat subuh, wanita itu pun langsung menuju kamar tamu dengan harapan bisa membawa Baby Nata kembali ke kamarnya sebelum bocah terbangun.Sayangnya, begitu ia membuka pintu, Shanum justru langsung terkesiap ketika melihat Safran tengah menjalankan dua rakaat paginya dengan Baby Nata dalam gendongan sebelah tangannya. Astaga, Anak ini!Shanum sebenarnya ingin segera mengambil alih Baby Nata. Namun, ia takut akan mengganggu ibadah Safran. Terpaksa ia pun hanya bisa menunggu pria itu menyelesaikan ibadahnya. Sambil menung
Mr. Chen terdiam, menelan setiap kata Frans dengan perasaan campur aduk. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk Shanum, hanya karena dialah yang paling punya hubungan darah. Tetapi kenyataannya? Ia sudah berkali-kali salah langkah, berkali-kali mengambil keputusan yang justru malah menjauhkan dirinya dari keponakannya sendiri.Sorot mata Frans yang tajam membuatnya tak nyaman. Sebagai orang yang selama ini cukup berkuasa di lingkungannya, Mr. Chen tidak terbiasa ditegur seperti ini—terlebih oleh seseorang yang hanya seorang asisten. Namun, kali ini, ia tahu dirinya tak punya hak untuk membantah.Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan."Kau benar," gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. "Aku terlalu banyak ikut campur dalam hidup Shanum... Aku pikir aku sedang melindunginya, tapi nyatanya aku hanya memperkeruh keadaan."Frans tidak segera menjawab, tetapi ia mengamati peru
Mr. Chen duduk di balik mejanya yang besar, kedua tangannya mencengkeram lengan kursinya dengan erat. Ruang kantornya yang biasanya menjadi tempat ia mengendalikan banyak hal, kini terasa seperti jebakan. Udara terasa lebih berat sejak seorang pria berjas hitam masuk ke dalam ruangan, diantar oleh asistennya yang wajahnya pucat ketakutan.Utusan itu berjalan dengan langkah santai, seolah-olah ia adalah pemilik ruangan. Tanpa menunggu dipersilakan, ia duduk di kursi di depan meja Mr. Chen, menyilangkan kaki, lalu menatapnya dengan senyum tipis yang sama sekali tidak membawa kehangatan."Mr. Chen," pria itu berbicara dengan nada tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat bulu kuduk berdiri. "Tuan ingin menyampaikan sesuatu.""A-apa itu?" Mr Chen sebenarnya ingin terdengar biasa saja, tapi ternyata sulit. Tanpa ucapan, pria itu lantas menyodorkan sebuah map coklat pada Mr Chen. Dan memberikan kode lewat mata agar pria itu membukanya. Tangan Mr Chen terulur ragu. Dengan gera
Leon terus meronta saat Frans menyeretnya keluar, tetapi tidak ada satu pun yang peduli. Bahkan Mr. Chen yang biasanya membela pun hanya menatap dengan tatapan kecewa, tak berniat menolongnya."Jangan khawatir, Leon," suara Frans dingin. "Aku akan mengantarmu keluar dengan baik-baik. Tapi setelah itu, jangan pernah muncul di hadapan Bos lagi, kecuali kau ingin hidupmu benar-benar berakhir.""Frans! Aku benar-benar tidak bersalah!" Leon masih berusaha membela diri, tetapi Frans hanya mendecih."Kau bisa menyuarakan kebohonganmu sebanyak yang kau mau. Tapi tidak ada satu pun orang di rumah ini yang akan percaya." Frans mencengkeram bahu Leon lebih erat. "Dan satu hal yang harus kau ingat, Tuan Leon. Tidak ada yang bisa menyentuh Nyonya Karina tanpa hukuman. Kau harusnya bersyukur, Bos masih memberimu kesempatan untuk keluar dari sini hidup-hidup."Leon menatap Frans dengan penuh kebencian. Ia tidak percaya hidupnya bisa berantakan secepat ini hanya karena satu kesalahan. Padahal niatnya
Begitu mendengar tuduhan Frans, ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang mencekam. Semua orang membeku, terutama Arjuna. Matanya langsung berubah tajam dan penuh amarah. Arjuna langsung menuju kamarnya demi memastikan keadaan sang istri. Sementara Shanum menatap Leon dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Antara marah, kecewa, jijik dan ... mungkin kasihan. Leon pasti tidak sadar jika telah berbuat kesalahan fatal, yang bisa menghancurkan hidupnya sendiri sampai ke dasar. Bunda Karina adalah kelemahan Daddy Arjuna. Daddy bisa melakukan apa saja jika bundanya tersakiti. Bahkan, melenyapkan orang pun, tak akan segan."Habislah kau!" desis Shanum penuh amarah. Shanum lalu mengikuti langkah sang Daddy mengecek keadaan Bunda. Namun, hatinya langsung ikut teriris ketika sampai, langsung di sambut penampakan Bunda Karina yang histeris dan meronta menolak sentuhan Daddy. Pasti perbuatan Leon barusan membuat trauma Bunda kembali muncul. Daddy pernah cerita jika Bunda Karina dulu se
Beberapa hari kemudian, saat Shanum tengah me time dengan membaca buku di teras samping, Mr. Chen kembali menemui. Kali ini, pria itu tampak lebih bersemangat, matanya berbinar dan senyumnya lebar sekali. Seolah tengah bersuka cita."Xiao Shan," panggilnya riang, menarik perhatian Shanum yang tengah fokus membaca.Shanum mendongak. Tetapi melihat senyum lebar sang paman, alis Shanum refleks terangkat sebelah. "Ya, Paman?"Shanum yang sudah cukup mengenalnya tentu saja merasa curiga. Apa lagi kali ini yang akan di lakukan pamannya ini?"Ada sesuatu yang ingin Paman tunjukkan padamu." "Apa itu?""Tapi kamu harus mengatur nafasmu terlebih dahulu. Karena apa yang akan paman sampaikan pasti membuatmu syok." Senyum masih belum luntur. Malah semakin lebarShanum semakin curiga. "Paman tenang saja, aku orangnya cukup sabar, kok.""Janji tidak langsung marah, ya?""Langsung saja, paman. Tidak usah banyak basa basi."Dengan gerakan tenang akhirnya, Mr. Chen mengeluarkan sebuah amplop cokelat
Arjuna menghela napas panjang, berusaha menenangkan istrinya yang sudah benar-benar marah. Ia kemudian menatap Mr. Chen dengan tajam, senyumannya menghilang."Chen, kau dengar sendiri, kan?" Arjuna berkata dengan suara rendah namun penuh ketegasan. "Aku sudah cukup sabar membiarkanmu ikut campur dalam hidup Shanum. Tapi kalau sampai kau membuatnya tertekan, aku tidak akan tinggal diam.""Arjuna, aku hanya ingin yang terbaik untuknya," Mr. Chen masih berusaha mempertahankan pendapatnya."Terbaik menurut siapa?" Arjuna mendengus. "Menurutmu? Maaf, tapi kau tidak berhak menentukan itu."Mr. Chen mengepalkan tangannya. "Aku pamannya!""Dan aku ayahnya," Arjuna balas dengan nada yang lebih dingin. "Aku yang membesarkannya, aku yang mendukung setiap keputusannya, dan aku tahu persis apa yang membuatnya bahagia atau tidak. Kau? Kau baru muncul setahun terakhir dan sudah berani bertindak seolah lebih tahu dari kami?"Karina menambahkan dengan nada penuh kekesalan. "Kalau kau benar-benar pedul