Pagi hari Peter begitu semangat pergi ke kantor. Senyum sumringah tergambar jelas di wajahnya sampai membuat para pelayan dan dua pengawalnya terheran-heran. Peter terkadang senyum-senyum sendiri sambil menatap layar ponselnya yang bersi pesan dari Stela.(Jemput aku pukul delapan malam)Bahagia di wajah Peter, ternyata bisa menular sejauh beberapa kilo meter dari rumahnya. Sedang memasak untuk sarapan, Stela juga nampak tersenyum-senyum. Sesekali ia berdendang menyanyikan lagu dari band favoritnya."Semangat sekali hari ini kau," cibir seseorang dari arah belakang Stela. Angela muncul sudah dengan pakaian rapi.Stela meletakkan sup dan daging bakar ke atas meja. "Bukan urusanmu," sahut Stela setelah itu."Sekarang kau makin berani ya!" cibir Angela lagi."Tentu saja. Memang apa yang harus aku takuti darimu?" balas Stela sambil mendecih."Kau!""Pagi!"Angela urung menghampiri Stela karena saat itu juga Alex datang. Ia kemudian hanya berdecak dan memilih duduk."Wah, seperti
Makan siang sudah usai, mereka berpisah dan kembali ke tempat kerja masing-masing."Apa dia teman dekatmu?" tanya Louis."Yang mana?" Chloe balik bertanya"Wanita yang bernama Stela.""Oh, dia. Ya, dia teman dekatku saat di Hongkong. Kita jarang bertemu setelah dia pindah ke sini.""Apa kau juga tahu tentang kehidupannya?"Chloe menoleh tajam ke arah Louis. "Untuk apa kau tanya begitu?"Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang, karena Louis memang ingin mengobrol."Bukan apa-apa, aku hanya dengar kalau suaminya menikah lagi kemarin," ujar Louis."Jadi kau kenal Alex?""Tidak juga. Aku hanya sekedar tahu saja."Obrolan terpaksa berhenti karena mobil sudah sampai di rumah Chloe. Tentunya bukan rumah Peter melainkan rumah kedua orang tua Peter."Kau tidak mau masuk dulu? Orang tuaku belum pulang saat ini," tawar Chloe sambil mengajungkan tangan ke arah luar.Karena sebenarnya Louis merindukan Chloe juga, akhirnya Ia mau turun dan mampir."Duduk dulu," kata Chloe saat suda
Peter sudah sampai sedari tadi. Menunggu Stela yang tidak kunjung datang, membuat Peter terlihat gelisah. Ia bahkan sampai duduk lalu berpindah mondar-mandir sambil sesekali mendesis."Apa dia tidak jadi datang?" gumam Peter gigit jari"Hai!" Suara Stela mengejutkan Peter dan langsung di balas, "Hai!" dengan cepat oleh Peter.Peter tertegun melihat tampilan Stela yang begitu cantik. Rambut hitam panjang itu di gerai dengan dibuat ikal dibagian bawah, lalu menyisakan poni rambut menyamping ke kanan. Bola matanya memancar tajam membuat Peter tidak berkedip beberapa detik."Maaf membuatmu menunggu lama," kata StelaPeter bergidik lalu sambil tersenyum. "Tidak juga, aku juga baru sampai.Stela percaya saja saat Peter menjawab begitu, padahal Peter sudah di sini sekitar lima belas menit yang lalu."Mau di taman ini saja, atau kemana?" tanya Peter gugup."Aku tidak tahu."Suasana dingin malam hari, rasanya menambah keadaan semakin canggung. Ini seperti kembali ke masa usia tuju bel
Tidak ada yang spesial harusnya, hanya saja Stela merasa malam ini begitu membuat hatinya merasa senang. Tawa lepas bersama Peter hingga tergeletak di atas lantai, momen yang sangat jarang Stela alami. Mencoba mengingat kembali, Stela lupa kapan terakhir kali bisa tertawa selepas ini.Saking merasa bahagianya, tidak terasa Stela menitikkan air mata hingga mengalir menjatuhi daun telinga karena posisi saat ini telentang di atas lantai menatap langit-langit rumah."Kau menangis?" Peter yang semula juga telentang di samping Stela, spontan terduduk untuk memastikan. "Hei!"Stela berkedip dan buru-buru mengusap air matanya. "Maaf." Stela ikut duduk."Kenapa?" tanya Peter. Kedua pasang mata saling bertemu.Stela tiba-tiba tertawa lagi. "Wajahmu sangat lucu."Peter mengira tawa itu bukan tawa lepas seperti sebelumnya. Saat Peter dengarkan, lama-lama tawa itu justru berubah menjadi tangis. Tubuh Stela terguncang dan air mata turun semakin deras. Peter jadi panik sendiri."Hei, tenangla
Stela bangun awal seperti biasanya. Ia bahkan sudah ada di dapur untuk memasak sarapan walaupun kali ini belum mandi. Ia sengaja begitu berniat menggoda Alex jika nanti dia muncul. Sekarang Stela masih memakai piama satinnya yang panjangnya hanya selutut dan tanpa lengan. Rambutnya digulung ke atas menampilkan leher jenjangnya yang indah."Apa itu Stela?" Suara panci jatuh dari arah dapur membuat Alex menoleh saat hendak masuk ke kamar mandi.Di atas ranjang, Emma yang masih terlelap mengeliat kaget, tapi tidak sampai terbangun karena suara benda jatuh itu."Kenapa juga harus jatuh!" gerutu Stela yang coba membungkuk mengambil panci dan centong sayur yang terjatuh.Dari arah belang, diam-diam Alex sedang mengamati bentuk tubuh Stela yang begitu sempurna. Posisi ia yang membungkuk, membuat paha bagian belakang terlihat begitu jelas sampai ke bagian paling atas."Sudah lama aku tidak menikmati tubuh ini," batin Alex sambil menyapu lidah. "Kenapa sekarang dia begitu menggiurkan? Aku
Pagi hari yang begitu kacau, Stela semakin yakin kalau sang suami sudah tidak ada lagi rasa untuk dirinya. Alex tidak dengan jelas melihat kejadian yang sebenarnya, tapi sudah mencak-mencak hingga berkata keterlaluan. Harusnya Alex memberi kesempatan untuk Stela menjelaskan.Dalam artian amarah tadi, tentunya Alex sudah mengatakan kata perpisahan secara tidak langsung."Baik kalau itu maumu, maka aku akan pergi," kata Stela sambil menurunkan semua pakaian yang ada di dalam lemari hingga terjatuh berantakan. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kalian!"Napas memburu dan menahan rasa kecewa, Stela kini beralih mengambil koper besar yang berada di sudut lemari. Ia meletakkan dengan kasar di atas lantai, membuka resletingnya dengan cepat.Hatinya benar-benar hancur, rasa sakit ini melebihi ketika pertama kali Stela melihat sang kekasih berselingkuh. Harusnya Stela yang berkata dengan lantang kalau ingin mengakhiri hubungan ini. Namun, dengan kejam Alex melontarkan pengusiran se
Taksi sudah berhenti di halaman rumah. Stela terlebih dulu membayar ongkos taksi tersebut baru kemudian beranjak turun dibantu oleh sang sopir yang menurunkan koper dari bagasi mobil."Terima kasih, Pak." Stela menundukkan kepala sebelum sopir kembali masuk ke dalam taksi.Sudah menyeret kopernya yang besar, Stela berdiri tegak menatap rumah kedua orang tuanya. Ia menghela napas lalu melenggak semakin dekat."Aku sudah menyiapkan hati jika hal ini benar-benar terjadi." Stela manarik napas dalam-dalam, lalu ia embuskan dengan perlahan.Satu tangannya meraih dan menggenggam erat gagang koper, kemudian Stela mengetuk pintu. Beberapa kali mengetuk pintu, barulah seseorang dari dalam sana membukakan pintu."Stela!" kata Janete dengan wajah terkejut. Usai menatap wajah Stela yang sendu, pandangan Janete turun. "A-apa yang terjadi, Sweety?"Stela tidak bisa menjawab, melainkan langsung memeluk ibunya dengan isak tangis."What's going on, baby?" Janete menarik diri dari pelukan lalu me
Jacob dan Stela bertemu di sebuah restoran untuk makan siang. Di sana, sedang lumayan ramai pengunjung karena memang sudah jam makan siang. Usai memesan makanan, Jacob dan Emma mencari tempat duduk di dekat dinding berhiaskan coretan berbagai tulisan."Matamu bengkak, apa kau bertengkar lagi?" tanya Jacob selagi memperhatikan wajah Stela.Stela tersenyum. "Memang.""Apa yang terjadi? Dia menyakitimu?" Jacob mulai khawatir. "Katakan padaku, Biar kuhajar dia!"Stela terkekeh melihat tingkah Jacob. Sahabatnya itu memang begitu perhatian padanya. Hanya Jacon yang selalu ada untuk Stela. Em, sebenarnya ada Peter, dan Stela mengakui itu. Akhir-akhir ini pria itu selalu membuat Stela merasa nyaman."Biarkan saja, toh aku sudah tidak peduli lagi," kata Stela.Di saat obrolan berlanjut, makanan pun datang. Pelayan wanita itu meletakkan dua piring spagetty dan dua gelas jus mangga di atas meja lalu permisi.Stela mulai menyantap makan siangnya dengan lahap. Di hadapannya, Jacob juga begi
Hari pernikahan pun datang. Stela dan Peter sudah siap dibimbing sang Pendeta untuk mengucapkan ikrar janji suci. Acara digelar dengan sederhana yang hanya menghadirkan pihak keluarga dan tamu bisnis saja.Dari balik kain putih berbahan tutu, Peter bisa melihat wajah Stela yang dirias begitu cantik. Sederhana dan terlihat elegan di padukan dengan gaun putih yang menutupi kedua kaki."Kau sangat cantik," kata Peter. Di balik kain tersebut, Stela hanya tersenyum.Detik berikutnya, pengucapan ikrar janji pun terlontar. Pemasangan cincin bergantian dan riuh tepuk tangan mulai terdengar. Mereka berdua kini sudah sah menjadi sepasang suami istri.Rasa bahagia dan haru, dirasakan semua orang yang hadir. Kedua orang tua Stela dan Peter mereka bahkan sampai tidak sadar menitikkan air mata."Selamat untuk kalian berdua." Kata Jane serasa memeluk mereka berdua.Mereka yang lain pun bergantian memberi ucapan selamat.Pagi berlalu meninggalkan acara sakral yang kini sudah beralih ke rumah s
Bill tidak pernah main-main dengan perkataannya. Menyangkut pelecehan pada Stela, semua bukti sudah ada dan Alex harus berakhir hidup di jeruji besi sesuai dengan ketentuan dari pengadilan. Asal keluarga aman, Bill rela melakukan apa saja.Satu tahun Bill diam tanpa berkomunikasi dengan putri dan cucunya, tak lain karena hanya sekedar ingin membuktikan bahwa keluarga Alex memang buruk. Belum lagi keburukan masa lalunya dengan Muchtar. Semua ada jalan cerita masing-masing."Kau sudah merasa tenang sekarang, bukan?" tanya Peter sambil menunduk menyusuri wajah Stela yang kini sedang bersandar di pundaknya. "Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun."Stela mendongak dan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang dalam kehidupanku."Sesaat keduanya terdiam menikmati pemandangan air danau yang jernih nan tenang. Hanya sedikit bergelombang saat beberapa daun kering berjatuhan tertiup angin.Sudah lama Stela tidak berkunjung ke tempat ini. Tiada yang berubah selain bertambah terasa nyaman
"Kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan napas masih memburu usai menghajar Alex.Berdiri di samping mobilnya, Stela masih sesenggukan sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Sementara Alex sudah melesat pergi dalam keadaan babak belur."Sebaiknya aku antar kau pulang."Stela terpaksa meninggalkan mobilnya di jalan, ia ikut mobil Louis. Setidaknya bersama Louis lebih aman saat ini. "Di mana rumahmu?" tanya Louis sebelum melajukan mobilnya."Putar balik, rumahku ada di jalan sana," jawab Stela lemas.Louis sesekali melirik Stela yang tengah bersandar sambil memandangi ke luar jendela. Wajahnya masih masam dan ada raut kecemasan.Mobil Louis sudah masuk ke pekarangam rumah Stela sekitar pukul tuju malam. Stela yang masih tertegun, bahkan tidak sandar kalau mobil sudah berhenti di halaman rumah. Pikiran Stela masih melayang-layang teringat akan perbuatan Alex yang begitu keji.Louis turun lebih dulu. Ia memutari mobil lalu berpindah ke pintu samping di mana ada Stela yang
Stela tentunya sangat penasaran dengan apa yang kakek dan keluarga Peter bicarakan, Setela obrolan terakhir dirumah saat makan siang. Saat beberapa menit hampir masuk ke kompleks perumahan, Stela berhenti dulu di pom bensin. Baru saja hendak turun dari mobil, ponsel di dalam tas berdering. Pintu yang sudah terbuka sebagian pun Stela tutup kembali."Nomor siapa ini?" Wajah Stela berkerut heran. Seseorang menelpon tapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontaknya."Halo, siapa ini?" sapa Stela kemudian."Temui aku di restoran cepat saji.""A-Angela?" pekik Stela."Tidak usah kaget begitu, aku hanya ingin bicara denganmu."Sambungan terputus, Stela urungkan niat pergi ke toilet dan segera putar balik."Untuk apa dia bertemu denganku?" batin Stela.Tidak mau berpikiran yang macam-macam, Stela terus melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.Setelah mencangklong tasnya, Stela pun bergegas turun dari mobil. Di depan sana, di tempat restoran cepat saji, sepertin
Sepulangnya dari tempat Peter, Stela menceritakan semuanya pada ibu dan kakeknya. Tepat jam makan siang, mereka mengobrolkannya di meja makan, tapi tanpa ada Bowen karena dia sedang sibuk mengurusi panen perkebunannya . Untuk Bill, tentu merasa senang dan langsung setuju jika Stela menikah dengan Peter. Namun, sebagai Ibu yang sempat membuat Stela menderita, Janete tidak langsung mengatakan setuju."Apa kau yakin, Sayang?" tanya Janete khawatir."Belum tahu, ibu," sahut Stela usai meneguk air putih. "Aku hanya merasa nyaman saat bersama Peter.""Kalau kau minta pendapat kakek, tentu saja Kakek setuju," timbruk Bill yang lebih dulu selesai menghabiskan makan siangnya. "Kakek sudah lama mengenal keluarga Peter."Janete kembali ikut bicara. "Bukan ibu tidak merestui, ibu hanya tidak ingin kau sakit hati lagi."Kalimat Janete membuat Stela merasa ragu. Meski selama ini Stela tahu Peter usil, tapi dia sangat baik. Hanya saja, tiada yang tahu bagaimana tentang isi hatinya. Bisakah Pete
Emma kembali dengan tangan hampa. Percuma saja berdebat dengan Louis kalau memang Emma juga bersalah dalam ini. Mulanya Emma pikir Louis mencintainya, tapi saat melihat murka dan penjelasan Louis, ya, menang semua hanya permainan belaka. Tidak jauh berbeda seperti saat pertama Emma kembali pada Alex.Sudah sampai di rumah, ruangan nampak sepi. Lampu-lampu juga sudah dimatikan. Ketika masuk ke dalam kamar, Alex masih belum ada di sana. Emma yakin Alex masih berada di kamar lantai dua.Hati rasanya dongkol, tapi Emma tidak berani berbuat apa-apa saat ini. Jika mendekat, Alex mungkin saja akan kembali mengamuk.Di tempat Louis, Chloe sudah keluar dari persembunyiannya. Wajahnya masih terlihat masam seperti saat pertama tadi baru ke sini."Kau sudah tahu alasan kenapa aku bersama Emma kan?" kata Louis coba menjelaskan.Chloe tersenyum kecut. "Jika semua atas nama dendam, apa harus sampai kau bercinta dengannya?""A,aku …" Louis mendadak diam."Katakan saja kau menikmati saat itu,"
Alex menjauh dari Emma untuk sesaat. Di kamarnya yang dulu saat masih beristrikan Stela, Alex tengah merenungi semuanya. Hidupnya sudah hancur, ia kehilangan Stela, perusahaan, ia juga sudah dikhianati istri barunya yaitu Emma. Meski Emma berkata sebuah penyesalan, tapi Alex sudah terlanjur sakit hati."Mungkin ini yang kau pernah rasakan dulu," gumam Stela. "Kau pasti marah, kecewa padaku saat itu. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini."Seperti bukan seorang pria perkasa, Alex jatuh tersungkur di bawah ranjang sambil menangkup kepala. Ia tidak tahan lagi jika terus menahan air matanya. Air mata itu kini mengalir dengan derasnya sampai berjatuhan membasahi kedua lututnya yang menekuk."Aku sungguh bodoh!" sesal Alex. "Andai saja kita masih bersama, aku tidak akan sekacau ini."Cekleeek!Terdengar suara pintu terbuka secara perlahan. Alex sungguh tidak peduli, ia masih tertunduk memeluk kedua lututnya sambil menangis.Perlahan, May melangkah mendekat dengan tatapan iba da
Peter pergi dengan mengendarai mobil Stela, tadi mobilnya sudah ia titipkan pada Glen sebelum pergi. Karena Peter tengah emosi dengan wajah cukup babak belur, tentunya Stela tidak mengizinkan Stela menyetir.Sampai di rumah Peter, Stela turun lebih dulu dari mobil. Ia berlari memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Peter."Ayo turun," kata Stela begitu pintu sudah terbuka."Terima kasih," sahut Peter sambil meringis menyentuh ujung bibirnya.Stela yang melihat Peter merasa kesakitan ikut mengerutkan wajah hingga mendesis kecil."Apa sakit sekali?" tanya Stela sambil menuntun lengan Peter.Peter menggeleng.Sampai di dalam, Stela memanggil Nora untuk mengambilkan air es dan handuk kecil. Sementara itu, Stela menuntun Peter membawa ke kamar di atas."Kenapa harus bertengkar?" tanya Stela sambil membantu Peter duduk di tepi ranjang.Peter masih terlihat nyengir menahan perih di ujung bibirnya dan bagian perut yang sempat kena pukul juga."Dia yang memulai," ujar Peter. "Aku
Sementara di tempat lain, Stela kini sudah sampai di rumah sang mantan suami lagi. Ia terpaksa datang kembali hanya untuk mengambil barang pribadinya yang tertinggal. Jika bukan karena itu, Stela sudah enggan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.Karena pintu luar tidak tertutup, Stela masuk begitu saja hanya dengan mengucap kata "Permisi". Biar bagaimanapun juga, Stela sudah tidak ada hak lagi di rumah ini, jadi mau mengambil apa pun harus lebih dulu menunggu penghuni rumah muncul.Dan sesuai dugaan Stela, pastilah yang muncul wanita gila itu alias si Emma. Tidak mau bertengkar, Emma langsung mengatakan apa tujuannya datang ke sini."Kau sengaja kan!" seloroh Emma sambil mendorong dada Stela."Aku datang hanya ingin mengambil ponselku saja. Kau tidak usah khawatir, setelah ini aku langsung pergi.""Enak saja!" sungut Emma. "Kau sudah sengaja meninggalkan ponselmu supaya Alex tahu kan?"Stela mengerutkan dahi karena tidak paham. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura tidak tahu kau!"