Di samping Peter, Paula tengah mengulum senyum. Rapat siang ini sepertinya membuahkan hasil yang sangat memuaskan."Bagus kalau kau menolak perusahaan itu," kata Paula sambil melirik Peter yang sudah sibuk bermain dengan ponsel. "Perusahaan itu tidak akan menguntungkan untuk kita."Peter tidak memperdulikan ocehan Paula dan tetap menatap layar ponselnya sambil sesekali mendesis dan berdecak."Kau budeg ya!" hardik Paula hingga membuat Peter sontak mendongak."Ada apa? Kau mengagetkanku!""Ah, sudahlah!" Paula acuh lalu membereskan beberapa lembar berkas sisa meeting kemudian pergi dari ruangan tersebut lebih dulu.Peter tetap tidak peduli, lagi-lagi ia mendesis dan meremas ponselnya dengan kuat."Di mana dia?" gumam Peter. "Beberapa kali ku telpon tapi tidak aktif."Peter mulanya ingin bertanya pada seseorang yang selalu mengikuti Stela atas perintahnya. Namun, Peter berpikir itu sangatlah tidak baik dan memilih meminta orang suruhannya itu mengikuti seperlunya saja.Peter kemudian be
Peter sudah meletakkan Stela di atas ranjang, menyandarkannya pada dinding ranjang lalu berlari keluar untuk mengambilkan minum."Minumlah dulu." Peter kembali dan mengulurkan segelas air putih untuk Stela.Lengannya yang mungil perlahan menjulur lalu jari-jemarinya yang gemetaran meraih gelas tersebut. Peter segera duduk di hadapan Stela dengan tatapan iba.Perlahan air putih itu mengalir membasahi tenggorokan. Stela hanya menghabiskan setengahnya saja karena tidak lama setelah itu Stela kembali membanjiri wajahnya dengan air mata."Katakan, apa yang terjadi?" tanya Peter lirih. "Apa suamimu?"Stela menatap Peter dengan mata basah dan sembab, kedua tangan memeluk lutut dengan kuat."Apa aku terlihat begitu menyedihkan?" Suara Stela terdengar parau.Peter bingung harus memberi jawaban apa. Jika di tanya tentang itu, maka Peter memang akan menjawab iya. Namun, Peter berpikir ulang sebelum memberikan jawaban tersebut secara jujur."Tidak terlalu," jawab Peter akhirnya.Stela menarik ing
Lagi-lagi Stela tidak pulang ke rumah sang suami lagi. Ia kembali menginap di rumah kayu milik Peter. Stela tidak bisa pungkiri kalau rumah ini terasa begitu nyaman. Udaranya yang sejuk, di sini juga terasa hangat dan tenang.Meski sudah hampir setengah jam berbaring di ranjang, Stela tak kunjung bisa tidur. Jujur saja ia masih berharap sang suami akan mencarinya, menelpon atau mungkin sebatas mengirim pesan.Ternyata harapan Stela melenceng. Alex sama sekali tidak menghubunginya sama sekali. Entah karena hasutan atau bukan, Stela mencoba tidak memikirkan dan mencoba memejamkan mata."Kenapa Emma tidak mengangkat telponku?" gerutu Alex saat beberapa kali mencoba menghubungi selingkuhannya itu.Mungkin yang ada dipikiran Alex saat lelah dan kacau adalah sebuah sentuhan atau rangsangan. Alex berharap berolah raga bersama Emma. Ya, memang Alex sudah tidak terlalu begitu tertarik dengan tubuh Stela. Bagi Alex memang akhir-akhir ini Stela nampak begitu kacau.Tidak sadarkah Stela begitu ka
"Apakah aku termasuk berselingkuh juga? Aku tidur bersama pria lain. Aku dipeluknya, aku merasa hangat, rasanya begitu nyaman. Perlahan tangan kekar itu semakin melingkar erat memelukku. Embusan napas halus, menggelitik telingaku dan membuatku enggan beranjak. Oh astaga! Aku seperti tersengat listrik. Mataku terbuka, tapi ragaku sulit kugerakkan."Di atas ranjang, Stela sedang termenung tanpa bisa berkutik. Seseorang memeluknya dari arah belakang dengan begitu erat, belum lagi satu kaki panjangnya yang menindih bagian paha, membuat Stela semakin sulit bergerak.Tidak berat, tapi … ah, entahlah! Stela bergidig pelan sambil mengedipkan mata."Peter," panggil Stela lirih. Stela mendongakkan kepala mencoba mengarah ke belakang. "Peter," panggilnya sekali lagi."Hmmm." Peter perlahan membuka mata lalu segera menyingkirkan tangan dan kakinya dari tubuh Stela. "Maaf."Stela tersenyum kaku. Ia sendiri sedang merasa gugup dengan situasi seperti ini. Jantungnya selalu saja berdegup kencang saat
Sampai sore hari, Stela Wen masih berada di rumah kedua orang tuanya. Ia enggan pulang apalagi jika harus bertemu dengan ipar, mertua dan selingkuhan sang suami. Namun, sebagai sosok ayah, Bowen tidak membenarkan hal tersebut. Bukan menginginkan Stela terluka, tapi hanya ingin Stela dan suaminya segera merampungkan masalah yang ada."Pulanglah, Nak!" perintah Ayah. "Selesaikan masalah kalian.""Iya, Ayah. Ayah tidak perlu khawatir, aku pasti menyelesaikan semuanya." Stela tersenyum getir.Memandang kedua orang tuanya, Stela merasa tak tega jika mencurahkan isi hati terlalu dalam. Stela tahu kedua orang tuanya sedang merintis usaha lagi setelah perusahaannya bangkrut. Sampai detik ini Stela tidak pernah bertanya mengapa perusahaan ayah bisa bangkrut, Stela tidak pernah bertanya. Hanya saja, terkadang Stela berpikir atau merasa kedua orang tuanya baik-baik saja meski saat ini hanya mengurus perkebunan buah anggur dan lain-lain."Apa mau ayah antar?" tawar Bowen."Aku terbiasa kemana-man
"Kenapa kau mendadak lesu begitu?" tanya Emma.Alex terlihat melamun tapi tetap fokus saat menyetir."Hei!""Ya." Alex menoleh sebentar. "Ada apa?" Ia kembali menatap lurus ke jalanan.Emma berdecak kesal dan melipat kedua tangan. "Aku bertanya karena khawatir, kau malah melamun.""Maaf, aku tidak dengar tadi," sahut Alex. "Memangnya kau tanya apa?"Kali ini Emma mendengus. Ingin marah, tapi ia tahan. "Kenapa kau mendadak lesu begitu?" Emma akhirnya mengulang pertanyaan."Oh, aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang sedikit mengganggu pikiranku," jelas Alex."Apa karena Stela?"Alex tidak langsung menjawab. Untuk memberi jawaban pertanyaan tersebut, sepertinya membutuhkan beberapa waktu supaya tidak salah paham. Melihat tampilan Stela tadi, tidak bisa dipungkiri kalau Alex begitu terpesona. Sudah lama Alex tidak melihat Stela berpenampilan modis dan cantik seperti tadi. Biasanya Stela hanya memakai sembarang baju dan jarang menata rambutnya kecuali menggulung dengan japit rambut."Ke
Peter sudah sampai di pusat perbelanjaan. Sampai di depan pintu masuk, Peter mencoba menelpon ibunya untuk mengirim lokasi berada."Ibu di mana? Aku sudah sampai."Jane yang duduk di jok belakang, menoleh lebih dulu ke arah wanita cantik yang kini duduk di sampingnya. "Ibu sudah di perjalanan pulang.""Lho?" Peter melongo. "Ibu pulang dengan siapa? Apa dompetnya ketemu?"Tenang saja, dompetnya sudah ketemu.Peter sudah merasa lega, pada akhirnya ia kembali lagi ke kantor."Mau mampir dulu?" tawar Jane pada Stela saat sudah turun dari mobil taksi.Stela tersenyum. "Tidak usah, Bibi. Lain kali saja.Mobil taksi sudah tertutup kembali. Saat mobil berputar, Jane melambaikan tangan. "Sekali lagi terima kasih."Dari balik cermin, Stela mengangguk senyum.Mobil melaju semakin jauh, Stela duduk bersandar sambil mendesah. "Jadi itu rumah orang tua Peter?"Stela duduk tegak dan menoleh ke kaca belakang, memandangi rumah mewah yang kini semakin menjauh. Kemudian, Stela kembali menghadap depan da
David yang baru pulang begitu terkejut melihat putranya datang. Tidak biasanya Peter datang berkunjung kalau memang tidak ada kepentingan yang mendesak. Putra kedua dari pasangan David dan Jane itu memang sudah terbiasa hidup sendiri sejak terjun ke dunia bisnis."Tumben?" tanya David singkat.Peter yang sebenarnya baru sampai dan belum sempat mengobrol dengan ibu, segera menoleh ke arah ayah. "Ibu membuatku khawatir."David mengerutkan dahi lalu meletakkan tas kerjanya di atas meja dan kemudian duduk di samping sang istri yang tersenyum tipis."Apa yang terjadi?" tanya David."Tadi dompetku hilang saat belanja di mall," ujar Jane masih memasang wajah panik meskipun dompetnya sudah kembali."Kok bisa?" sahut David. "Lalu sekarang bagaimana?"Jane kembali tersenyum dan menatap dua orang kesayangannya itu bergantian. Mereka pasti juga ikut panik."Tenang saja, dompetnya sudah ketemu," kata Jane. "Kekasihmu yang menemukannya.""Kekasihku?" Peter mengerutkan dahi dan sejenak nampak berpik
Hari pernikahan pun datang. Stela dan Peter sudah siap dibimbing sang Pendeta untuk mengucapkan ikrar janji suci. Acara digelar dengan sederhana yang hanya menghadirkan pihak keluarga dan tamu bisnis saja.Dari balik kain putih berbahan tutu, Peter bisa melihat wajah Stela yang dirias begitu cantik. Sederhana dan terlihat elegan di padukan dengan gaun putih yang menutupi kedua kaki."Kau sangat cantik," kata Peter. Di balik kain tersebut, Stela hanya tersenyum.Detik berikutnya, pengucapan ikrar janji pun terlontar. Pemasangan cincin bergantian dan riuh tepuk tangan mulai terdengar. Mereka berdua kini sudah sah menjadi sepasang suami istri.Rasa bahagia dan haru, dirasakan semua orang yang hadir. Kedua orang tua Stela dan Peter mereka bahkan sampai tidak sadar menitikkan air mata."Selamat untuk kalian berdua." Kata Jane serasa memeluk mereka berdua.Mereka yang lain pun bergantian memberi ucapan selamat.Pagi berlalu meninggalkan acara sakral yang kini sudah beralih ke rumah s
Bill tidak pernah main-main dengan perkataannya. Menyangkut pelecehan pada Stela, semua bukti sudah ada dan Alex harus berakhir hidup di jeruji besi sesuai dengan ketentuan dari pengadilan. Asal keluarga aman, Bill rela melakukan apa saja.Satu tahun Bill diam tanpa berkomunikasi dengan putri dan cucunya, tak lain karena hanya sekedar ingin membuktikan bahwa keluarga Alex memang buruk. Belum lagi keburukan masa lalunya dengan Muchtar. Semua ada jalan cerita masing-masing."Kau sudah merasa tenang sekarang, bukan?" tanya Peter sambil menunduk menyusuri wajah Stela yang kini sedang bersandar di pundaknya. "Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun."Stela mendongak dan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang dalam kehidupanku."Sesaat keduanya terdiam menikmati pemandangan air danau yang jernih nan tenang. Hanya sedikit bergelombang saat beberapa daun kering berjatuhan tertiup angin.Sudah lama Stela tidak berkunjung ke tempat ini. Tiada yang berubah selain bertambah terasa nyaman
"Kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan napas masih memburu usai menghajar Alex.Berdiri di samping mobilnya, Stela masih sesenggukan sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Sementara Alex sudah melesat pergi dalam keadaan babak belur."Sebaiknya aku antar kau pulang."Stela terpaksa meninggalkan mobilnya di jalan, ia ikut mobil Louis. Setidaknya bersama Louis lebih aman saat ini. "Di mana rumahmu?" tanya Louis sebelum melajukan mobilnya."Putar balik, rumahku ada di jalan sana," jawab Stela lemas.Louis sesekali melirik Stela yang tengah bersandar sambil memandangi ke luar jendela. Wajahnya masih masam dan ada raut kecemasan.Mobil Louis sudah masuk ke pekarangam rumah Stela sekitar pukul tuju malam. Stela yang masih tertegun, bahkan tidak sandar kalau mobil sudah berhenti di halaman rumah. Pikiran Stela masih melayang-layang teringat akan perbuatan Alex yang begitu keji.Louis turun lebih dulu. Ia memutari mobil lalu berpindah ke pintu samping di mana ada Stela yang
Stela tentunya sangat penasaran dengan apa yang kakek dan keluarga Peter bicarakan, Setela obrolan terakhir dirumah saat makan siang. Saat beberapa menit hampir masuk ke kompleks perumahan, Stela berhenti dulu di pom bensin. Baru saja hendak turun dari mobil, ponsel di dalam tas berdering. Pintu yang sudah terbuka sebagian pun Stela tutup kembali."Nomor siapa ini?" Wajah Stela berkerut heran. Seseorang menelpon tapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontaknya."Halo, siapa ini?" sapa Stela kemudian."Temui aku di restoran cepat saji.""A-Angela?" pekik Stela."Tidak usah kaget begitu, aku hanya ingin bicara denganmu."Sambungan terputus, Stela urungkan niat pergi ke toilet dan segera putar balik."Untuk apa dia bertemu denganku?" batin Stela.Tidak mau berpikiran yang macam-macam, Stela terus melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.Setelah mencangklong tasnya, Stela pun bergegas turun dari mobil. Di depan sana, di tempat restoran cepat saji, sepertin
Sepulangnya dari tempat Peter, Stela menceritakan semuanya pada ibu dan kakeknya. Tepat jam makan siang, mereka mengobrolkannya di meja makan, tapi tanpa ada Bowen karena dia sedang sibuk mengurusi panen perkebunannya . Untuk Bill, tentu merasa senang dan langsung setuju jika Stela menikah dengan Peter. Namun, sebagai Ibu yang sempat membuat Stela menderita, Janete tidak langsung mengatakan setuju."Apa kau yakin, Sayang?" tanya Janete khawatir."Belum tahu, ibu," sahut Stela usai meneguk air putih. "Aku hanya merasa nyaman saat bersama Peter.""Kalau kau minta pendapat kakek, tentu saja Kakek setuju," timbruk Bill yang lebih dulu selesai menghabiskan makan siangnya. "Kakek sudah lama mengenal keluarga Peter."Janete kembali ikut bicara. "Bukan ibu tidak merestui, ibu hanya tidak ingin kau sakit hati lagi."Kalimat Janete membuat Stela merasa ragu. Meski selama ini Stela tahu Peter usil, tapi dia sangat baik. Hanya saja, tiada yang tahu bagaimana tentang isi hatinya. Bisakah Pete
Emma kembali dengan tangan hampa. Percuma saja berdebat dengan Louis kalau memang Emma juga bersalah dalam ini. Mulanya Emma pikir Louis mencintainya, tapi saat melihat murka dan penjelasan Louis, ya, menang semua hanya permainan belaka. Tidak jauh berbeda seperti saat pertama Emma kembali pada Alex.Sudah sampai di rumah, ruangan nampak sepi. Lampu-lampu juga sudah dimatikan. Ketika masuk ke dalam kamar, Alex masih belum ada di sana. Emma yakin Alex masih berada di kamar lantai dua.Hati rasanya dongkol, tapi Emma tidak berani berbuat apa-apa saat ini. Jika mendekat, Alex mungkin saja akan kembali mengamuk.Di tempat Louis, Chloe sudah keluar dari persembunyiannya. Wajahnya masih terlihat masam seperti saat pertama tadi baru ke sini."Kau sudah tahu alasan kenapa aku bersama Emma kan?" kata Louis coba menjelaskan.Chloe tersenyum kecut. "Jika semua atas nama dendam, apa harus sampai kau bercinta dengannya?""A,aku …" Louis mendadak diam."Katakan saja kau menikmati saat itu,"
Alex menjauh dari Emma untuk sesaat. Di kamarnya yang dulu saat masih beristrikan Stela, Alex tengah merenungi semuanya. Hidupnya sudah hancur, ia kehilangan Stela, perusahaan, ia juga sudah dikhianati istri barunya yaitu Emma. Meski Emma berkata sebuah penyesalan, tapi Alex sudah terlanjur sakit hati."Mungkin ini yang kau pernah rasakan dulu," gumam Stela. "Kau pasti marah, kecewa padaku saat itu. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini."Seperti bukan seorang pria perkasa, Alex jatuh tersungkur di bawah ranjang sambil menangkup kepala. Ia tidak tahan lagi jika terus menahan air matanya. Air mata itu kini mengalir dengan derasnya sampai berjatuhan membasahi kedua lututnya yang menekuk."Aku sungguh bodoh!" sesal Alex. "Andai saja kita masih bersama, aku tidak akan sekacau ini."Cekleeek!Terdengar suara pintu terbuka secara perlahan. Alex sungguh tidak peduli, ia masih tertunduk memeluk kedua lututnya sambil menangis.Perlahan, May melangkah mendekat dengan tatapan iba da
Peter pergi dengan mengendarai mobil Stela, tadi mobilnya sudah ia titipkan pada Glen sebelum pergi. Karena Peter tengah emosi dengan wajah cukup babak belur, tentunya Stela tidak mengizinkan Stela menyetir.Sampai di rumah Peter, Stela turun lebih dulu dari mobil. Ia berlari memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Peter."Ayo turun," kata Stela begitu pintu sudah terbuka."Terima kasih," sahut Peter sambil meringis menyentuh ujung bibirnya.Stela yang melihat Peter merasa kesakitan ikut mengerutkan wajah hingga mendesis kecil."Apa sakit sekali?" tanya Stela sambil menuntun lengan Peter.Peter menggeleng.Sampai di dalam, Stela memanggil Nora untuk mengambilkan air es dan handuk kecil. Sementara itu, Stela menuntun Peter membawa ke kamar di atas."Kenapa harus bertengkar?" tanya Stela sambil membantu Peter duduk di tepi ranjang.Peter masih terlihat nyengir menahan perih di ujung bibirnya dan bagian perut yang sempat kena pukul juga."Dia yang memulai," ujar Peter. "Aku
Sementara di tempat lain, Stela kini sudah sampai di rumah sang mantan suami lagi. Ia terpaksa datang kembali hanya untuk mengambil barang pribadinya yang tertinggal. Jika bukan karena itu, Stela sudah enggan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.Karena pintu luar tidak tertutup, Stela masuk begitu saja hanya dengan mengucap kata "Permisi". Biar bagaimanapun juga, Stela sudah tidak ada hak lagi di rumah ini, jadi mau mengambil apa pun harus lebih dulu menunggu penghuni rumah muncul.Dan sesuai dugaan Stela, pastilah yang muncul wanita gila itu alias si Emma. Tidak mau bertengkar, Emma langsung mengatakan apa tujuannya datang ke sini."Kau sengaja kan!" seloroh Emma sambil mendorong dada Stela."Aku datang hanya ingin mengambil ponselku saja. Kau tidak usah khawatir, setelah ini aku langsung pergi.""Enak saja!" sungut Emma. "Kau sudah sengaja meninggalkan ponselmu supaya Alex tahu kan?"Stela mengerutkan dahi karena tidak paham. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura tidak tahu kau!"