“Hah?” Rachel membuka mulutnya lebar. “Telepon Pilar hanya mengajak makan tiramisu. Sudah, begitu doang teleponnya langsung dimatikan saat Pilar tanya keberadaan Marisa. Lagi enggak sadar kali ya dia.” Gayatri menghabiskan isi gelasnya. “Bisa jadi sih ... kata Pilar suaranya bagaimana? apa sengau atau bagaimana?” tanya Rachel. “Pilar mana tahu suara orang teler, Chel.” Gayatri menggelengkan kepala dan membuat Rachel meringis kembali. “Mungkin kode sesuatu .... “ “Kode apa? jangan banyak menonton drama deh Chel. Kamu horor sekali ah, aku sudah mencoba positif thinking tahu dari kemarin ditenangin Eliot. Eh malah kamu juga berpikir sama kaya aku. Aku takutnya dia nekat lagi seperti dulu.” Gayatri mengutarakan kecemasannya. “Sory Gaya, refleks saja begitu,” kekeh Rachel. “Aku sudah pesan sama Pilar untuk enggak berdiri di luar sekolah dan tempat les sendirian se
“Bagaimana, Sayang?” serbu Gayatri begitu sang suami tiba di rumah dua jam kemudian. “Kami bicara, ternyata dia sama gilanya dengan adiknya tapi masih sedikit waras.” Eliot melepas kancing kemeja satu persatu. “Papa kalau jelaskan yang jelas dong, kami menunggu tahu,” protes Pilar.Eliot menghela nafas panjang. “Ini urusan Papa sama dia, Sayang. Dua laki-laki dewasa yang berbisnis, intinya dia tidak akan lagi menemui kamu maupun mama di manapun berada dan tidak akan mencelakai kamu dan mama. Untuk bagaimana rinciannya, Papa enggak bisa cerita sama kamu karena kamu belum dapat memahami sepenuhnya mengenai kerjasama papa dan tante Marisa yang dicurangi dia. Mengenai pasal-pasal yang bisa seret dia ke meja hijau karena melanggar banyak sekali peraturan. Kamu akan mengantuk dan pusing kalau Papa jelaskan. Papa ... tepatnya mengancam karena berani sekali dua buat kamu ketakutan di sekolah. ” Eliot mengusap kepala Pilar dengan senyuman geli.
“Sayang ... Mama ... mau burger enggak?” Seruan Eliot menjadikan Gayatri menarik nafas panjang. “Iya ... enggak pakai tomat timun,” jawab Gayatri. Gayatri dan Pilar tengah duduk di teras depan di minggu pagi, setelah dua hari penuh Eliot mengurusi fitnah hotel Marisa, akhirnya Eliot bertemu dengan Marisa di kediamannya di Bali. Berbicara berdua serta Marisa meminta maaf pada dirinya. Marisa tahu ia akan celaka jika bermain-main dengan Eliot. “Papa mengajak kita belanja baju adik bayi, Ma. Mama ikut tapi pakai kursi roda katanya,” ringis Pilar. “Enggak ah, Mama sehat kok di suruh duduk di kursi roda. Justru jalan kaki pada ibu hamil besar itu bagus untuk membuat kepala bayi di bawah. Kalau Mama merasa enggak sanggup atau sakit pasti Mama yang akan minta gendong duluan,” terang Gayatri. Pilar tertawa mengangguk, ia yang diminta papanya membujuk sang mama agar mau pakai kursi roda saat mengeli
“Elu dengar dari mana?” Eliot bertanya dengan menyandarkan punggungnya. “Dunia bisnis sempit sudah pasti akan bersinggungan juga, gila beritanya parah sekali elu menggelapkan dana selama menjadi tunangannya Marisa. Mungkin bagi yang benar-benar kenal akan tidak percaya tapi untuk calon-calon relasi baru akan berpikir dua kali bekerja sama dengan elu.” Zidan menjelaskan dengan serius. “Itu bukan menjadi masalah buat gua, gua bisa buktikan sepeserpun enggak pernah menggelapkan uang hotel Marisa. Hotel itu bahkan berhutang sangat banyak sama gua dan sepertinya enggak bisa dibayar juga. Memang licik sekali ternyata Marisa, gua sedang menunggu saat yang tepat menyeretnya sampai bersih. Yang gua cemaskan adalah anak bini gua,” desah Eliot. “Eh kenapa dengan Gayatri sama Pilar?” Zidan mengerutkan kening dalam. “Rusel licik, dia menemui anak bini gua. Membuntuti lebih tepatnya, bahkan mendatangi sekolah Pilar samp
“Mama ... ini semuanya mau di laundry dulu kan?” Pilar bertanya saat mereka tengah membongkar semua belanjaan pakaian adiknya di atas karpet ruang tengah. “Iya dong Sayang, ssemua sampai bantal, guling, selimut. Nanti diambil ke sini, kita masukkan tas besar saja sama koper biar nanti datang sekalian masuk ke sana. Baju anak cowok memang tidak banyak modelnya selain kemeja dan kaos. Tapi pilihan kamu lucu-lucu sekali Mama suka,” tukas Gayatri. “Aku hanya pilih beberapa, selebihnya pilihan Mama dan keren-keren. Ini sampai usia tiga tahun bisa enggak beli baju ini, adek,” kekeh Pilar. “Banyak sekali ya kita belinya? Biarkan ... kata papa kamu boleh borong kok,” kelakar Gayatri. Pilar mengangguk dengan ringis lebar melihat hamparan pakaian mungil-mungil di sekitar mereka. “Mama mau melahirkan normal?” tanya Pilar. “Inginnya normal dan semoga bisa normal ya, Sayang. Yang menentuka
“Pulang saja yuk,” pinta Gayatri. Eliot yang masih memeluk Gayatri yang duduk di tepian bangkar UGD dengan kaki bergelantungan. Membelai pinggang sang istri sedari satu jam lalu, setelah di periksa ternyata belum saatnya lahir dan Gayatri baru mengalami kontraksi palsu dan sekarang setelah dua jam sudah membaik hilang total sakit diperutnya. “Nanti tunggu dokter periksa lagi ya, sabar dulu.” Eliot membujuk dengan membelai kepala sang istri yang tenggelam di dadanya. “Kamu panggil saja, kasihan Pilar sama Rachel masih menunggu di luar,” lirih Gayatri. “Mereka sedang makan di foodcourt aku sudah minta mereka makan dulu karena enggak ada yang mau pulang. Mau bareng kamu katanya, jangan pikirkan yang lain Sayang. Yang harus kamu pikirkan adalah yang positif-positif seperti kata dokter. Semoga enggak ada lagi kontraksi palsu ya Sayang. Kontraksinya pas mau lahiran saja, setengah jam saja kalau boleh minta,” papa
“Memang masih terlihat seksi dengan badan sebesar ini? kadang aku suka berpikir begini Sayang. Ehem .... “Eliot tersenyum melihat bagaimana Gayatri tiba-tiba mengambil aba-aba untuk mengutarakan isi kepalanya dan merendahkan suaranya saat kendak berbicara.“Suami aku masih nafsu enggak ya lihat badan istrinya sebesar ini. Mana makan mulu, kucel mulu. Sedangkan di luar sana cewek-cewek cantik bertebaran. Padahal dulu aku berpikir wanita paling cantik dan seksi adalah wanita yang sedang hamil. Eh pas sendiri hamil dan bercermin, astaga besar sekali badan ini,” kekeh Gayatri.Eliot bukan tertawa tapi justru berkaca-kaca, hal tersebut membuat Gayatri mengulas senyuman. Ia tahu apa yang membuat suaminya berkaca-kaca. Gayatri membelai pipi sang suami masih dengan senyuman.“Iya serius aku lumayan lama merasa insecure karena kehamilan sekarang berat badan naiknya berkali lipat dari pada pas Pilar. Melendung di mana-mana terutama wajah bulat sekali. Tapi saat kita ... aku tahu kamu masih me
“Masih tidur?” bisik Rachel. “Iya Tante,” jawab Pilar berbisik juga. “Papa kamu mana?” Rachel mendekati ranjang dan meneliti Gayatri yang tidur pulas dengan wajah bengkak serta tarikan nafas pelan. “Beli kopi di bawah, enggak ketemu tadi di jalan? belum lama kok keluarnya,” jawab Pilar. Rachel menggelengkan kepala, masih berdiri membelai kening Gayatri dengan teramat pelan. Ia takut membangunkan sang sahabat, matanya berkaca-kaca. Rachel mendapatkan pesan singkat dari Pilar jika Gayatri mengalami pecah ketuban dua hari sebelum HPL dan harus melahirkan hari itu juga lantaran pembukaan sudah banyak. Sedangkan Rachel sedang berada di puncak bersama suaminya menghadiri satu acara dari rekan Zean. Rachel langsung pulang ke Jakarta meninggalkan Zean yang masih memiliki urusan yang harus diselesaikan segera. Rachel menerima kabar berkala dari Pilar yang menunggu sendirian di luar ruangan bersalin sementara sang p
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia