“Menginap? kamu memang bawa pakaian ganti? coba sini Papa mau bicara sama om Zidan, kok mendadak amat mengajak menginap?” Eliot menghela nafas panjang kala mendapatkan panggilan dari Pilar pukul satu siang dan mengatakan jika om Zidan menjemputnya di sekolah dan mengajak Pilar menginap bersama para sepupunya. Eliot mendengarkan penjelasan singkat Zidan dan akhirnya ia memberikan izin setelah Gayatri di depannya menganggukkan kepala menyetujui putrinya menginap di kediaman Zidan. “Pakai baju sepupunya katanya untuk pakaian dalam punya banyak yang masih baru. Ukuran mereka hampir sama, ya sudah biarkan. Pilar jarang menginap tempat saudara, mungkin karena papanya akan sendirian. Sekarang dia paham kalau sudah ada mamanya yang temani.” Eliot menganalisis sendiri. “Bisa jadi, atau mungkin omnya memberikan iming-iming,” terka Gayatri. “Padahal kita mau makan malam ya, mau jalan jam berapa Sayang? aku sudah rese
Gayatri menatap langit-langit kamar dengan tarikan nafas pelan, jam di nakas menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Eliot sudah membersihkan diri dari satu jam lalu dan ia pun sudah terlebih dulu bersih serta sudah dibuatkan coklat hangat oleh suaminya. Gayatri tengah menunggu suaminya membuatkan roti bakar karena ia kelaparan. “Makan di kamar sungguh?” Eliot yang masuk membawa empat tangkup roti bakar dan dua gelas air putih dalam nampan. “Malas bangun aku, capek. Enggak apa-apa sesekali, bukan makanan yang banyak remahnya juga. Terima kasih, Sayang.” Gayatri duduk di pinggir ranjang dan mulai makan perlahan. “Aku yang terima kasih, masih sakit pinggangnya?” Eliot membelai pelan pinggan kanan Gayatri yang duduk bersila dengan pakaian tidur tipisnya. “Dikit, nanti juga baik. Gara-gara ke pentok kemudi ya, harusnya aku lebih kalem,” kekeh Gayatri. Eliot melepas tawa kecil mengangguk,
“Mama ... aku boleh pergi sama teman? Kita mau cari buku sama komik.” Pilar mendatangi Gayatri yang sedang berbincang dengan Rachel membahas rencana membuka rumah fashion. “Boleh dong, siapa temannya? Ke sinu apa bertemu di toko buku?” tanya Gayatri. “Sama ... Gio.” Pilar menjawab ragu-ragu. “Eh cowok?” Gayatri masih memandang Pilar dengan posisi duduk sedangkan Pilar berdiri di hadapannya dan Rachel, meja memisahkan mereka. “Gio yang pakau dasi kupu-kupu di perayaan ulang tahun kamu itu? Boleh Pilar boleh, sana pakai gaun yang manis eh jangan ... kamu sendiri sudah manis. Ayo Tante akan lihat lemari kamu dan pilihkan mana yang cocok untuk jalan sama crush.” Rachel langsung bangun dengan semangat setelah menepuk paha Gayatri. “Gio bukan crush aku, Tante. Hanya teman satu kelas,” bantah Pilar. “Iya iya enggak apa-apa kamu bilang teman satu kelas. Dia jemput kan? pakai apa? en
Gayatri tengah mematut diri di depan cermin ketika ponselnya berdering lantang, terbaca nama Rachel di sana. Dengan melanjutkan perawatannya, ia mengangkat panggilan video call sang manager. “Apa?” tanya Gayatri. “Gaya ... help me,” rajuk Rachel. “Apa lagi?” Gayatri menimpali dengan santai. “Gua mau lepas IUD temani ya,” rengek Rachel. “Kapan? sekarang? akhirnya elu mau juga bunting?” Gayatri bertanya dengan mengedipkan sebelah matanya. “Iya gua siap, yang enggak siap itu lepas IUD. Zean mau sih temani tapi akunya yang menolak. Lebih tenang kayanya ditemani perempuan saja,” keluh Rachel. “Ok Chel, jadi kapan? kalau sekarang, tinggal pakai bedak sama lipstik.” Gayatri memfokuskan pandangan pada layar ponselnya. “Besok saja, hari ini mau ke rumah mak gua. Heran rajin banget loh punya laki seminggu empat kali ke rumah mak gua,” kelakar Rachel.
“Zean ke Inggris lagi katanya?” Eliot membuka percakapan dengan Gayatri setelah Pilar berpamitan untuk tidur pada pukul sembilan malam. Pilar akan bermanja-manja dengan Gayatri setiap kali hendak tidur malam setelah menyelesaikan semua tugas sekolahnya. Tidak melulu di kamar, seringnya di ruang keluarga bertiga dengan Eliot. Pilar akan menempeli Gayatri dan Eliot akan sesekali membelai kepala maupun punggung putrinya dan menyelipkan membelai lengan istrinya juga. “Iya, ibunya sakit, sama Rachel juga kok. Baru berangkat semalam, padahal sudah siap perang mereka,” kekeh Gayatri “Perang?” Eliot menolehkan kepala pada wanita di sampingnya yang memberikannya sebuah krim anti stretch mark yang sudah menjadi rutinitasnya setiap malam. “Rachel baru lepas IUD tadi pagi aku antar, dia sudah siap untuk hamil katanya karena mama mertuanya menginginkan cucu walau tidak bicara secara langsung sama Rachel. Dia ketakutan
“Oh ya? dijual pada siapa? kenapa memangnya? hotel baru kan itu?” berondong Gayatri. “Dijual sama Marisa tanpa sepengetahuan orang tuanya, Marisa ... oh sorry mari kita sebut wanita itu ... sejarahnya kurang baik untuk kita,” kekeh Manuel. “Aku sudah tidak mendendam sama Marisa, jadi bagaimana ceritanya? apa Eliot belum tahu ya? dia punya andil di sana kan?” Gayatri sedikit bergumam, jika Manuel yang mantan Manager saja tahu masa suaminya enggak tahu. “Kemungkinan belum tahu, karena baru banget kemarin kehebohannya di sana. Atau mungkin enggak lama lagi akan tahu. Bagaimanapun suami kamu salah satu investor kan. Bapaknya kalang kabut mengurusi sedangkan anaknya justru di Turki jalan-jalan. So crazy right?” Manuel menggelengkan kepala. “Ya Tuhan .... “ “Marisa ... aku sebut gila mungkin ya. Dia gonta-ganti pasangan dan beberapa kali sampai dipanggil pihak berwajib karena melakukan kerusuhan
“Pilar tolong ambilkan Papa air dingin, Nak. Mama kamu wajahnya sudah seperti jaksa penuntut umum yang menuntut penjelasan,” kekeh Eliot. Eliot baru sampai rumah lima belas menit lalu dan ia langsung membersihkan diri, ketika ia keluar dari kamar mandi ternyata Gayatri dan Pilar sudah duduk menunggunya dia atas ranjang dengan wajah-wajah penuh ketidaksabaran. “Ok Pa.” Pilar bergegas keluar untuk membuatkan apa yang papanya minta. “Aku pakai baju dulu loh Sayang ... jangan dipelototi,” kekeh Eliot. Gayatri berdecap kecil dan mengangguk, memilih memperhatikan suaminya berpakaian dengan tenang. “Ya ampun aku ganti baju di pelototin,” kekeh Eliot. “Perut kamu sepertinya mulai berkurang kotak-kotaknya,” celetuk Gayatri. Eliot melepas tawa dan segera memakai pakaiannya sebelum Pilar datang membawa apa yang ia minta. Meletakan handuk di kursi rias istrinya dan kemba
“Kenapa belum mau belajar mobil, Sayang?” tanya Gayatri. “Belum berani, Ma. Nanti saja kalau sudah berani,” ringis Pilar. “Oh belum berani, iya enggak apa-apa. Mama malah berharapnya kamu selalu bisa Mama antar ke mana-mana. Jadi kamu akan selalu mama antar ke sini, mama antar ke sana. Senang kalau kamu ketergantungan sama Mana,” kekeh Gayatri.Pilar tertawa. “Aku malah inginnya bisa mandiri biar enggak selalu Mama ini Mama itu.” “Iya bagus bisa mandiri, tapi Mama enggak keberatan sama sekali kamu panggil-panggil terus buat minta tolong sesuatu. Kalaupun nanti ada adik kamu yang sudah pasti akan panggil-panggil Mama 24 jam, kamu jangan mau kalah,” kikik Gayatri. “Siapa tahu nanti adik panggilnya Kakak Pilar, Kakak Pilar,” kelakar Pilar. “Benar juga ya, aduh Mama bisa jadi pengangguran nanti.” Gayatri membelai perut besarnya di balik kemudi. Gayatri tengah melakukan acara gir
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia