Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 24
Tiga Rangkaian Kembang
Aku berjalan sambil menjinjing paperbag bergambar bunga pemberian Mas Damar di tanganku. Mataku tak henti mengamati sekitar, tumben sekali kondisi kampung ramai di jam segini, apa yang sedang terjadi?
"Eh Mbak Dewi, kemana saja? Nggak kasihan sama suaminya?" ucap Arum. Ia tengah ngerumpi bersama tetangga lain di depan rumahnya.
"Maksud kamu apa,Rum?" tanyaku penuh selidik. Kuhentikan langkahku untuk mendengar penjelasan atas ucapannya.
"Loh kok malah tanya sama kita, situ yang punya suami gimana? Masak keadaan suaminya ngga tahu?" sergah tetangga lainnya. Sedangkan Arum hanya mencebik sambil memandangku.
"Waah sudah pintar melayani tamu sekarang jadi suka pergi-pergi. Habis ini bebas mau kemana aja, Mbak!" sindir Arum. Keningku berkerut mendengarnya.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 25Wanita Cantik"Om yang waktu itu?" seru Kirani saat melihat seseorang yang datang paling akhir di pemakaman ayahnya."Hai cantik, Om turut berduka cita ya?" jawab Mas Damar sambil mengusap kepala Kirani."Terima kasih, Om." Segaris senyuman terbit dari bibir Kirani. Ia yang sedari tadi hanya menunduk, kini sedikit sumringah saat Mas Damar datang menyapa."Mas Damar kenapa bisa sampai di sini?" tanyaku kaget. Aku lantas berdiri dari pusara Mas Bima, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan lelaki di depanku ini. Setelah bersalaman denganku, Mas Damar ganti mengarahkan tangannya pada Mbak Sari juga Danisa. Keduanya tersenyum ramah menyambut kedatangan Mas Damar ke sini."Sebentar, saya berdoa dulu," ucapnya. Tanpa menunggu jawabanku, Mas Damar segera berjongkok di depan nisan Mas Bima.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 26Kembali Mengubur Rasa"Ibu! Bapak!" teriakku melihat kedua orang tuaku datang setelah mengantar Sindy ke depan. Kondisi rumah kami yang berjauhan membuat mereka berdua tak bisa datang tepat waktu saat Mas Bima belum disemayamkan."Sabar ya, Nak!" ucap Ibu saat aku sudah berada dalam pelukannya. Tangisku pecah dalam pelukan wanita yang sudah melahirkanku ini. Betapa hatiku hancur mengalami beberapa musibah yang begitu menyayat hati tanpa beliau yang kukasihi di sisi. Ibu pun demikian, beliau menangis sambil memelukku.Sedangkan bapak hanya mengusap pundakku pelan sambil menahan air mata saat melihatku terisak dalam pelukan ibu. Aku tahu mata bapak itu mengeluarkan air mata kesedihan, karena ia yang telah menerima pinangan Mas Bima yang sekarang lebih dulu meninggalkan istrinya ini. Rasa bersalah itu tersirat dari matanya yang berair. Namun
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 27Sebuah Hadiah.Selama doa bersama aku menunduk dengan khusyuk. Dengan bibir bergetar kuikuti tiap bacaan yang diucap oleh sang pemimpin tahlil. Bahkan sesekali air mataku menetes mengingat tujuan doa ini adalah untuk Mas Bimaku. Mas Bima yang sudah berjanji untuk sehidup semati denganku.Saat nama Bimantara Setya dibaca sebelum doa dibacakan, air mataku jebol dari pertahanan. Sesak kian terasa mengingat kini gelarnya sudah berganti menjadi "Almarhum". Suara riuh "Aamin" dalam ruangan ini membuat kepalaku semakin pusing seiring sesak yang kian menghimpit dada. Namun aku terus memaksa diri untuk kuat bertahan hingga acara selesai.Meskipun sudah sekian bulan aku merawat Mas Bima, tapi tetap saja ada rasa kehilangan yang menyeruak dalam dada. Kebiasaan yang sudah rutin kulakukan tiap pagi hari, jelas esok akan berubah. Suasana kamar yan
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 28Sebuah KeputusanSebesar apapun cinta yang pernah kumiliki untuknya, sekuat apapun hati untuk meraih kembali apa yang menjadi penghuninya, tetap salah jika kehadirannya menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Kutata kembali hati ini agar tak serakah mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Semoga bisa melalui ini semua, dan ini menjadi awal langkahku ke depannya.Belum juga aku kembali masuk ke dalam setelah kurir itu pergi, Danisa melewatiku hendak pergi ke sekolah. Tanpa pamit dan tanpa salam, ia pergi begitu saja, mengabaikanku yang berdiri mematung melihat tingkahnya.Segitunya kah dampak ucapan tetangga kemarin yang membuatnya hilang rasa hormat padaku. Padahal ia hanya mendengar tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tidakkah aku memiliki kesempatan untuk menjelaskan perihal apa yang terjadi padaku selama ini.&n
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 29Lelaki Di Pusara SuamikuRuang tamu besar dengan sofa empuk tertata rapi di dalamnya. Sebuah meja sudut dengan hiasan bunga cantik sudah berdiri dengan indahnya. Terdapat beberapa lukisan menempel di dinding di atas sofa. Beberapa bingkai foto tertata rapi di sebelah lukisan itu.Ada sedikit rasa khawatir saat melihat wajah dalam bingkai foto itu. Namun jalan sudah terlanjur dipilih, semoga tak akan terjadi hal yang buruk setelah ini. Karena niatku hanya ingin bekerja untuk menghidupi kedua putriku saja.Setelah beberapa saat menunggu, seorang lelaki paruh baya yang kukenal datang menghampiri. Ia duduk di sofa single di depan sofa yang kutempati ini."Cepat sekali kamu datang? Kukira menunggu hingga tujuh hari suamimu lebih dulu." Wajahnya tersenyum ramah. Tampak wajah berwibawa dalam raut tua itu, tapi aku tak t
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 30Damar Ar Rasyid"Mau kemana kamu? Nggak lihat bisnis Papa lagi kena masalah?" hardik papa saat aku hendak keluar kota. Aku telah membuat janji dengan kekasihku yang kusanggupi akan kunikahi di sebuah desa kecil. Dewi Saraswati namanya. Ia gadis yang baik, setia juga penuh cinta. Aku jatuh hati saat pertama kali melihatnya di taman kota. Ia sedang bercengkrama dengan beberapa temannya. Saat itu aku sedang berkunjung ke rumah saudara karena sebuah acara."Damar mau keluar, Pa!" sergahku. Aku tak ingin begitu saja mengabaikannya. Setidaknya aku akan memberi kabar bahwa aku harus membantu bisnis papa lebih dulu."Usiamu masih muda, bukan berarti kamu bisa senang-senang sesuka hati kamu! Kalau tidak belajar mulai sekarang, bagaimana kamu akan menjadi penerusnya kelak?" sahut papa. Aku sebagai anak tunggal tak mungkin bertindak ses
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 31Lamaran Kedua"Ibu punya hadiah untuk Mbak Danisa," ucapku pada Danisa sambil menyerahkan sebuah bungkusan plastik kepadanya. Dengan cepat aku berjalan dari depan gang setelah turun dari angkutan umum untuk menyerahkan ini padanya. Pasti ia senang mendapati aku membawa hadiah ini mengingat tasnya sudah tak layak pakai.Namun, tanpa suara Danisa hanya melirik sekilas bungkusan yang masih berada dalam genggaman tanganku tanpa berniat sedikitpun untuk mengambilnya. Ia hanya duduk di atas ranjang sambil memeluk boneka kesayangan pemberian sang ayah. Tak menyerah, aku pun berusaha untuk terus membujuknya."Terimalah Mbak, pasti suka. Ini hadiah buat Mbak." Aku pun duduk di sampingnya sambil mendekap tas dalam kantong plastik yang belum mau ia terima."Enggak! Itu ibu dapatkan dari hasil kerja ikut Mbak Arum ka
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 32Hari Pertama BekerjaMbak Ningsih telah membukakan pintu ruang tamu untukku yang baru datang sebagai asisten baru. Sebelum kami mulai bekerja, lebih dulu Mbak Ningsih membawaku untuk bertemu istri Tuan Bram."Jangan asal iya-iya aja dong, Pa! Gimana nama baik kita kalau Damar sampai batalin acara lamarannya? Papa ngga malu?!" Suara teriakan seorang wanita terdengar hingga tempatku dan Mbak Ningsih berdiri."Kalau anak nggak suka ya mau gimana lagi? Jangan memaksa kehendak kamu pada anak! Damar sudah dewasa, bukan anak kecil lagi!""Bukan maksa kehendak, Pa! Kemarin-kemarin sudah setuju. Bahkan sudah setuju untuk mengadakan acara lamaran. Masak sekarang gara-gara ketemu wanita di masa lalunya asal batalin semua acara yang sudah disusun? Malu dong, Pa!""Dari pada anakmu bercerai lebih
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 64Pesta PernikahanHatiku kian berdebar menanti acara ini. Dua kali ijab qabul tak menjamin calon pengantin tak merasa resah. Aku pun demikian. Tak terbayang bagaimana indahnya dekorasi pelaminanku yang dalam proses pemasangan. Ah hidupku, sungguh mengesankan. Setelah sepuluh tahun aku berjuang membangun bahtera rumah tangga dengan lelaki yang tak kucintai, kini saat aku telah menerima takdir itu Allah ambil semuanya dan diganti dengan keinginan yang telah lama kupendam.Sungguh Allah Maha Baik karena telah memberi sesuatu yang kuinginkan setelah perjuanganku menerima kehendakNya. Rasa pahit yang dulu terpaksa kutelan perlahan menjadi nikmat dan mulai pudar berganti dengan rasa manis yang memabukkan. Kini akupun merasakan apa yang Mas Bima rasakan. Adakalanya masa lalu tetap menjadi rahasia antara aku dengannya. Akan tetap menjadi rahasia kami bagaimana awal mula pertemuan kami di sebuah tempat karaoke. Tuan Bram. Ya kini ia menjadi Papa mertuaku.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 63Cinta Pertamaku"Ada apa, Bang?" tanya Mas Damar pada seseorang saat mobil kian dekat dengan keramaian. "Pak De Karman meninggal, Pak."Tubuhku lemas seketika mendengar nama yang disebut oleh lelaki itu. Tiba-tiba saja air mataku mengalir deras tanpa jeda. Getar hebat dalam jantungku tak lagi bisa kukendalikan. Aku limbung. Aku pilu mendengar kabar duka yang baru saja kudengar. Cinta pertamaku telah Allah ambil tanpa aku disisinya. Harusnya aku ada saat hembusan napas terakhirnya. Harusnya aku ada untuk membacakan doa sebelum nyawa itu lepas dari raga. Harusnya aku yang memeluknya saat ruhnya terlepas dari raga yang selama ini telah melindungiku dari segala mara bahaya hingga aku dewasa. Lelaki pertama yang memelukku kini telah pergi. Tak lagi bisa kugambarkan bagaimana rasanya. Aku seperti seonggok kain yang tak berguna. Aku merasa menjadi anak yang paling sial karena tak bisa membersamai Bapak berjuang melawan maut. Kupaksa kakiku untuk berjal
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 62Mendapati suami yang perhatian adalah sebuah kebahagiaan buatku. Namun terkadang perhatian yang ia berikan membuatku terikat. Susah untuk bebas. Mau ini ngga boleh, mau itu ngga boleh, saking perhatiannya. Ia mau segala sesuatu yang terbaik untukku. Cukup menyenangkan diperlakukan seperti itu, namun terkadang ada rasa kesal menelusupi hati. Aku jadi seperti memiliki satpam yang siap siaga menjagaku dari segala sesuatu yang kubutuhkan juga dari segala mara bahaya. Seringkali perhatiannya membuatku tersenyum senang. Senang diperlakukan bak ratu dalam istana. Setelah menginap semalam di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku untuk pulang. Meskipun kakiku masih harus memakai perban namun itu tak jadi masalah. "Akhirnya aku boleh pulang, Mas," ujarku senang. Binar kebahagiaan tersirat dari bibirku yang sejak tadi tak lepas dari senyuman. Pun dengan Mas Damar. "Alhamdulillah. Setelah ini kamu cukup di rumah saja! Ngga boleh kemana-mana." Mata co