Aku duduk terdiam sambil menyusui bayiku dengan kepala yang tak henti berpikir. Bagaimana mungkin bos di tempatku kerja menaruh rasa padaku. Bahkan berpikir ke sana pun aku tidak pernah.Ingatanku kembali pada saat baru bekerja di konveksi milik Pak Hamid itu. Aku yang tidak tahu caranya mengoperasikan mesin jahit khusus konveksi tetap diterima meskipun Khadijah harus mengajariku lebih dulu.Kembali teringat olehku bagaimana raut dongkol Khadijah karena waktunya tersita untuk mengjariku, di ruangan khusus."Pelan-pelan injak pedal dinamonya!" teriak Khadijak saat aku terlalu bersemangat."Injak pelan sambil pegangi kain bagian ini.""Ini arahnya lewat sini, beda sama mesin jahit yang hitam itu." Khadijah jengkel ketika aku belum terlalu hafal bagaimana rute benang yang tak sengaja terputus.Suara teriakan Khadijah terdengar menyeramkan, tapi karena tekanan keadaan dan kebutuhan membuatku mampu bertahan.Gaji yang kudapat di bulan pertama juga tidak sesuai dengan kesepakatan ketika int
PoV. RasyidSepiring nasi yang telah disiapkan oleh Ibu di meja makan sama sekali tidak membuatku ingin menyentuhnya. Aku sedang duduk berpangku tangan sambil menikmati lamunan.Aku kembali teringat saat telingaku mendengar obrolan Anita bersama temannya di dalam kamar perawatan sebelum aku pergi meninggalkan mereka. Kalau tidak salah aku melihat nama konveksi yang tertera di seragamnya adalah "Khanza Convection"Aku tercenung setelah mendengar obrolan Anita dengan rekannya. Serta tulisan Khanza Convection yang ada di baju perempuan tadi, seperti tidak asing bagiku. "Mungkin Mbak Khadijah yang bilang sama Bapak." Suara Anita menyahuti."Ngga tahu juga. Tapi kalau beneran Bapak naksir sama Mbak Nita, aku akan senang sekali. Bapak tuh wajahnya berkharisma banget, Mbak. Dengar-dengar usianya juga belum genap empat puluh tahun, kalo sama usia Mbak pas banget. Karakternya yang berwibawa dan santun cocok sama Mbak yang kalem gini. Ish kalau beneran begitu, aku dukung pokoknya!""Kamu ini.
PoV RasyidMobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju tempat tinggal Aisyah. Sebenarnya aku enggan untuk menjemputnya dan membawanya bertemu Nata, tapi dia selalu memaksakan kehendaknya padaku.Aku bisa apa ketika Aisyah sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu air mata. Mendengar suara tangisannya menjadikanku tak mampu berkutik apalagi menolak.Diriku seperti sedang dililit keadaan yang menyulitkan kedua tanganku untuk bergerak bebas. Aku hanya mampu melangkah mengikuti jalan yang sudah terpampang nyata di depan mataku, dengan kedua kaki."Mas, mengapa lama sekali?" ujar Aisyah ketika aku baru saja sampai di depan rumah. Ia menyambutku dengan wajah yang cemberut karena aku datang tidak tepat waktu."Iya, jalanan macet." Aku beralasan. Sebenarnya aku hanya menunda keberangkatan saja. Aku hanya menunggu moodku baik untuk kembali mengahadapi Aisyah dengan segala kemanjaannya."Pasti capek ya?" tanyanya saat melihat wajahku yang kusut.Kepalaku mengangguk."Mas istirahat sebentar ya
PoV Rasyid Napas Anita terengah-engah, merasai hati yang panas akan ucapan Aisyah. Ah Aisyah, sudah ku bilang jangan memantik pertikaian, tapi tak dihiraukannya. Emosi Anita ini, adalah respon yang wajar setelah mendengar ucapan Aisyah. Sayangnya semua sudah terlanjur terjadi."Pergi kalian!" usir Anita lagi dengan lantang. Matanya membelalak menatap kami sambil tangannya menunjuk arah pintu yang terbuka.Aku bingung harus bagaimana. Di sebelahku ada Aisyah yang sedang menangis karena bentakan Anita, sementara di depanku ada Nata yang tampak tak nyaman dalam gendongan Anita."Dik, jangan begini. Kami baru saja datang, apa iya langsung diusir begini," ujarku seraya berjalan mendekati Anita. Kasihan Nata jika terus dalam gendongannya yang sedang emosi. Bahkan aku khawatir mamanya Nata itu terkena baby blues karena emosi yang berlebihan."Untuk apa datang jika kalian hanya membuat kami tidak nyaman? Pergi, Mas! Pergi!" usir Anita lagi. Teriakannya yang lantang itu bahkan sampai membuat
Napasku terengah setelah mengusir sepasang suami istri tidak tahu diri itu, lalu kututup pintunya dengan keras agar mereka tahu bahwa aku tidak main-main. Sungguh muak melihat mereka datang ke rumah ini. Bukannya merendah, meminta maaf atau mengambil hati, mereka malah ingin merebut apa yang sudah mereka sia-siakan.Aku bersandar di daun pintu yang tertutup rapat. Kepalaku terasa berat, seperti ada beban yang menindihi. Pandanganku terasa berputar-putar, lalu setelahnya aku limbung. Kesadaranku lenyap seketika.Aku mendengar suara bulik berteriak-teriak, tapi aku tidak mampu menjawab ucapannya. Aku tidak apa-apa, hanya saja entah kenapa kepalaku terasa nyeri sekali.Badanku terasa melayang, seperti sedang digendong seseorang. Dibawa kemana aku ini? Bulik sedang berada di sisiku saat aku membuka mata. Raut khawatir terlihat jelas dalam wajahnya yang kini makin banyak dipenuhi garis-garis penuaan. Sesekali, tangan keriputnya itu menyusut air mata yang mengalir dari sudut netranya.Ar
"Bulik, siapa yang pesan taksi ini?" tanyaku sebelum aku malu."Loh, bukannya kamu? Tadi bulik lihat mobilnya berhenti tepat di depan rumah, ya bulik panggil aja mendekat." Bulik bicara dengan santainya, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun."Bulik, kita salah taksi. Ini bukan taksi pesanan saya.""Ngga apa-apa. Sudah terlanjur masuk, biar saya antar," ucap pemilik suara yang duduk di depan kemudi. Pak Hamid, ya laki-laki di depan kemudi itu adalah bosku juga pimpinan Mas Rasyid."Tapi ini jauh, Pak. Mau keluar kota."Pak Hamid kembali menoleh seraya tersenyum. "Ngga apa-apa. Biar saya antar.""Tapi, Pak—""Wes to, Nduk. Bapaknya bilang mau ngantar, ya sudah kamu naik saja. Toh kita juga akan bayar nantinya," sela bulik menghentikan ucapanku."Tapi Buli—""Sudah ngga apa-apa. Kamu naik saja," sahut Pak Hamid lagi.Aku jadi serba salah begini. Hendak menolak tapi bulik sudah terlanjur duduk di dalam. Meminta bulik turun juga dicegah sama bapak. Tak punya pilihan lain, aku pun terpaksa
"Berkenalan?" ucap bulik mengulangi ucapan Pak Hamid."Iya. Saya ingin kenal lebih dekat dengan Dik Anita, karena saya berniat untuk menjadikannya istri saya," ujar Pak Hamid dengan mimik serius. Laki-laki itu bahkan tidak mau tahu dengan penolakanku yang begitu keras sejak di dalam mobil tadi."Istri?" ucap bulik mengulangi perkataan Pak Hamid."Iya, istri. Saya serius ingin menjalani biduk rumah tangga dengan dik Anita."Apa-apaan pak bos ini, membuat kepalaku makin terasa nyeri saja. Baru saja selesai menghadapi Mas Rasyid dengan istrinya yang luar biasa itu, kini aku ganti dihadapkan dengan laki-laki yang terlalu ngoyo ini.Bulik tidak berani menjawab. Ia melirikku yang sedang memasang wajah menahan kesal. Saudara orang tuaku itu pun mengendikkan bahunya. Cukup tragedi diam menahan hajat di dalam mobil tadi, sepertinya ia tidak ingin kejadian itu kembali terulang."Kalau begitu, tanya langsung sama orangnya. Saya tidak berani memutuskan." Bulik menjawab setelah melirikku dengan e
Kulempar ponsel ke atas kasur. Rasanya malas sekali untuk menanggapi pesan itu. Terdengar bunyi notifikasi lagi dari ponselku, tapi aku tidak peduli.Aku merebahkan diri di atas kasur, tepat di sebelah Nata yang sedang terlelap. Kupandangi wajah yang masih mulus ini, betapa malang nasibnya. Bayi sekecil ini lahir tanpa ayah yang membersamainya.Derit pintu kamat terdengar beriringan dengan suara langkah kaki. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa pemilik langkah tersebut."Nduk," sapa bulik sambil meletakkan bobot tubuhnya di sampingku, tepat di bibir ranjang tempatku terbaring."Jangan lagi membahas soal laki-laki dengan Anita, Bulik." Aku mendahului bulik dengan ultimatum keras."Tidak. Bulik hanya menyampaikan pesan dari Nak Hamid untuk kamu."Aku diam, membiarkan bulik melanjutkan ucapannya."Nak Hamid itu sudah lama menikah tapi tidak kunjung punya anak. Berobat kemanapun sudah dilakukannya hingga sang istri mendapatkan serangan stroke berat. Apa yang diharapkan dari wanita
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu