"Cerai? Jangan bercanda, Dek!" ucap Mas Rasyid tak terima. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah dan menghadapku. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang amat sangat.Ya, sengaja memang. Harus begini agar Mas Rasyid tahu rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Ini juga sebagai pelajaran agar ia menjaga hati dan perasaannya untuk wanita yang telah mengabdi padanya. Jika pun kami telah bercerai, ini harusnya bisa jadi pelajaran untuk wanita yang akan hadir dimasa depannya.Dendam? Tidak. Aku hanya ingin dia belajar bagaimana caranya mensyukuri nikmat."Aku ngga bercanda, Mas!" pekikku seraya menatap matanya tajam. "Lalu bagaimana dengan Naila? Apa kamu tega membiarkan Naila hidup tanpa bapak?" Sorot mata itu kian sayu seiring dengan nada bicaranya yang mulai melemah. Tingginya nada suaraku rupanya cukup membuatnya sedikit tersadar."Naila pasti akan mengerti, Mas. Lagi pula aku tidak minta diceraikan sekarang, aku akan menunggu dua bulan lagi sampai Naila selesai ujian ak
Sejak setelah sarapan, aku selalu mengamati gerak-gerik Mas Rasyid. Hatiku masih tak percaya dengan apa yang terjadi ini. Sungguhkah apa yang terjadi semalam adalah bagian dari rencananya untuk membuatku terikat padanya dan tetap berada di sisinya sekalipun badai sedang menerjang?Sungguh, egois jika memang benar demikian. Tapi sayangnya, aku sudah meminum obat penangkal yang akan menghentikan apa yang diharapkannya. Bukan aku ingin membunuh calon janin yang sudah terlanjur masuk ke dalam rahimku, hanya saja aku mencoba menghentikan apa yang seharusnya tidak terjadi sebab aku butuh waktu untuk menenangkan diri.Menambah momongan tidak bisa hanya diinginkan oleh satu pihak saja, harus berdasarkan keputusan bersama. Karena istri juga akan turut menanggung semuanya, terlebih jarak kami yang sudah terbentang jauh. Akan berat untukku menjalani jika memang benar-benar aku mengandung. Bahkan aku tak bisa membayangkan bagaimana kami akan merawat anak itu nanti setelah hatiku tak sepenuhnya u
Aku melengos. Bosan mendengar permintaannya yang itu-itu saja. Selalu memintaku untuk menghargai orang lain tapi mereka lupa caranya menghargaiku."Dek, dia sudah datang jauh-jauh untuk mendekatkan dirinya padamu dan Naila. Sambut dia sebagai wujud kepedulian terhadap sesama," ucap Mas Rasyid sedikit meyakinkan.Aku menghadapkan wajahku ke arah Mas Rasyid lagi. Mataku menatap wajah yang sedang memohon di depanku dengan tatapan memohon. Seharusnya ia tahu bahwa di dalam mataku terdapat kobaran amarah yang tercipta karena perbuatannya. Tapi sayang, ia tidak mau tahu akan hal itu."Sudahlah, Mas. Aku bosan dengan permintaanmu yang seperti itu. Aku memberi izin kamu menikah dengan dia, tapi jangan paksa aku untuk menerima kehadirannya di rumah ini. Ini berat buatku, Mas! Tidakkah kamu sadar bahwa ini menyakitiku?""Mas tahu. Kamu hanya butuh waktu untuk bisa menerimanya di sini. Maka belajarlah untuk hal itu mulai saat ini. Hargai dia karena sudah berbaik hati untuk mau dekat denganmu."A
"Naila salim dulu sama Ibu," ucap Mas Rasyid pada Naila. Ia hendak pulang untuk mengantar Naila ke tempat Ibu. Sebenarnya aku ingin Naila tetap di sini bersamaku, demi sebuah rencana yang ada di pikiranku. Tetapi Mas Rasyid bersikeras untuk membawa Naila pulang.Wajah Naila tampak berat untuk pergi setelah mendengar perdebatan aku dan Mas Rasyid barusan. Perubahan yang terlihat di wajahnya itu seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya."Besok kan Naila bisa ke sini lagi sama nenek setelah pulang sekolah. Sekarang Naila pulang dulu," rayu Aisyah. Ia merangkul bahu Naila untuk dituntun ke arahku."Benar ya, Yah, besok Naila boleh ke sini lagi? Naila tidak mau jauh-jauh dari Ibu. Naila mau nungguin Ibu," ucap Naila dengan suara berat sambil menatap Mas Rasyid dengan pandangan memohon."Boleh, Sayang. Besok kan kamu harus sekolah, kalau besok pagi berangkat dari sini Ayah bisa terlambat." Mas Rasyid menimpali.Mendengar penjelasan ayahnya, Naila tak lagi menyangkal. Ia tak berani
"Mbak, Mbak Nita," panggil seseorang yang seketika membuatku tersadar dari buruknya mimpi.Mataku mengerjap mencari Naila di sisiku. Seketika aku mengangkat badan untuk mencari keberadaan putriku itu."Dimana Naila?" ucapku panik. "Tadi dia badannya panas sekali," racauku lagi sambil mengitari sekeliling dengan dua ekor mataku.Dahi Aisyah mengernyit. Ia menatapku keheranan. Kemudian mengambil segelas air yang ada di atas nakas dan diulurkannya padaku."Minum dulu, Mbak. Mbak pasti mimpi buruk tadi," ucap Aisyah lagi. Ia mengamatiku yang sedang meneguk air dalam gelas pemberiannya dengan sabar.Usai menelan separuh air dalam gelas itu, barulah aku sadar sepenuhnya bahwa itu hanyalah mimpi. Tetapi mimpi itu terasa nyata dan seperti bukan mimpi. Lalu, apakah aku akan memaksakan diri pergi dengan kondisi seperti ini? Bagaimana jika apa yang kualami dalam mimpi tadi terjadi di dunia nyata? Kepalaku menunduk seketika. Bahuku jatuh seiring dengan helaan napas panjang dan dalam yang keluar
Aku berjalan menyusuri jalan raya yang padat menuju sebuah alamat. Dengan dada berkecamuk aku mempercepat langkah untuk bisa segera menghadap orang yang kumaksud. Bibirku sudah tidak sabar untuk mengungkapkan apa yang mengganjal di pikiran.Sambil berjalan, kepalaku kembali mengingat pembicaraanku dengan Ibu kemarin."Ibu mendukungmu. Ibu juga tidak habis pikir dengan mereka sampai meminta Naila memanggilnya dengan sebutan bunda. Apa-apaan itu!""Ibu tahu kalau itu mereka yang minta?" tanyaku kaget."Ibu tanya Naila sendiri. Dia bilang itu permintaan Aisyah atas persetujuan Rasyid. Menerima juga tidak begitu caranya. Dengan kamu memperlakukan dia secara baik saja sebenarnya itu sudah cukup. Ngga perlu meminta Naila memanggilnya dengan bunda!" kesal Ibu.Aku tertegun. Bagaimana bisa Mas Rasyid bersikap demikian dengan Naila. Dimana akal sehatnya?"Lalu bagaimana dengan respon Naila saat Ibu bertanya hal itu? Apa dia juga menerima?""Ngomong apa kamu! Ya nangis!" jawab Ibu kesal. "Rasan
"Apa yang kamu pikirkan, Dek! Mas kan sudah bilang untuk tidak membawa masalah ini kepihak sekolah! Ini bisa merusak semuanya! Mengapa tidak kau pikirkan ucapnku tempo hari?!" sungut Mas Rasyid dengan kilatan amarah di dalam kelopak matanya.Aku terdiam tak menjawab. Mataku hanya sibuk menikmati kilatan amarah yang tertuju padaku itu. kugigit bibirku bagian bawah, betapa luapan amarah di depanku ini demi melindungi wanita itu dari apa yang sudah kupinta pada kepala sekolah. Mas Rasyid bahkan lupa bahwa aku juga tersakiti atas apa yang mereka perbuat padaku. Astagfirullah."Aisyah kena sanksi gara-gara aduan kamu ke kepala sekolah. Dia sedih bukan kepalang. Mengapa tidak kamu pikirkan dahulu dampak dan akibatnya sebelum mengadu?""Astagaaa!!!" sungutnya keras sambil meraup wajahnya dengan kasar. Sesekali mata yang penuh kilatan amarah itu menatapku dengan tajam lalu kembali melengos.Sementara aku, tanganku mencengkeram ujung blouse yang kukenakan. Rasanya lelah untuk meladeni Mas Ras
"Kenapa, Nak? Mengapa menangis? Siapa yang menyakitimu?" tanyaku panik. Aku membalas pelukannya lalu mengusap punggung gadis kecilku dengan lembut. Kurasakan jantungnya berdebar kencang sekali hingga menyalur ke dadaku. Ini membuatku makin merasa bersalah. Melihat bahu Naila yang bergerak tak beraturan membuatku urung meminta penjelasan. Terpaksa kubiarkan ia menyelesaikan tangisnya dulu hingga napasnya kembali seperti biasa."Katakan pada Ibu, apa yang membuat Naila sedih? Siapa yang menyakiti Naila?" tanyaku saat Naila sudah tenang. Napasnya kembali normal."Sudah cukup Ibu berbuat baik pada Ayah. Naila ngga mau punya ayah lagi! Naila marah sama ayah! Naila benci ayah!""Hei, Sayang. Tenang dulu. Ada apa dengan ayah? Ayah baik kok. Ayah sayang sama Naila." Aku berusaha membujuk Naila."Tidak Ibu! Ayah jahat!" teriak Naila dalam tangisnya."Ayah baik, Nak. Ayah sayang sama Naila!""Ayah jahat sama Naila." Naila kembali terisak. Hatinya seperti terdapat sebuah gumpalan amarah tentan
"Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe
Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma
"Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed
"Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal
Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak
Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj
Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti
Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw
Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu