"Maaf, jika bukan mahram, gak boleh berduaan saja di dalam rumah kontrakan ini. Memang ada dua anak kecil, tapi mereka belum mengerti. Jadi, sebaiknya Mas nunggu di luar saja. " Pak Suroto bersungut. Pria dewasa sangat kesal padaku. Entah kenapa, aku pun tidak tahu. Mungkin ia mengira ayah kembar sudah metong. "Baik, Pak, biar saya tunggu di teras saja. Saya mau bawa anak-anak ke rumah sakit. Saya hanya ingin menunggu," jawabku sambil tersenyum. "Anak kecil tiga tahun begini mana bisa ke rumah sakit. Hayo, ngaku, Mas-nya mau menculik kembar dan ibunya ya? Mentang-mentang Sri ----""Mas, ayo, saya dan anak-anak udah siap!" Aku bersyukur Sri datang tepat waktu. Denis dan Aji masih kebingungan menatapku dan ibunya bergantian. "Pak, ini ada sedikit uang untuk beli kopi. Makasih sudah menunggui anak-anak saya selagi ibunya banyak urusan." Aku memberikan sepuluh lembar uang merah pada lelaki yang bernama Suroto itu. Wajahnya tampak tertegun untuk beberapa saat, ketika ia menyadari ada ba
"Bagaimana menurut kamu, dokter Wahyu, Nak?" Nindi tersenyum begitu semringah setelah Mayang masuk ke dalam rumah. Ia baru saja mengantar dokter Fatih dan putra sulungnya yang bernama Wahyu. Dokter Wahyu Presetya, usia tiga puluh lima tahun, tapi belum menikah. "Dokter Fatih baik. Anaknya pun terlihat baik. Hanya saja, kalau harus buru-buru menjalin hubungan serius, Mayang belum ingin, Ma, Pa.""Terus mau kapan? Usia kamu semakin bertambah. Kami ingin melihat kamu bahagia. Pilihan kamu pertama bukan dari dunia kedokteran, bikin kamu sakit'kan? Nah, setelah tiga tahun berlalu, Papa dan mama berhak ikut menentukan pilihan kamu!" Ujar Azis tegas. Mayang menghempaskan bokongnya di sofa. "Gak perlu ungkit masa lalu, Pa.""Gimana gak mau ungkit? Kamu jadi begini karena lelaki bernama David itu! Cuma modal cinta awalnya, sampai nikah. Belum jadi pengantin, udah khianat! Udahlah, pokoknya kamu harus dapat suami sesuai dengan passion kamu. Apa itu? Dokter! Mau dokter hewan, mau dokter umum,
David berjalan keluar dari kamar perawatan saat melihat layar ponselnya. Heru yang menelepon. Setelah sekian lama tidak satu kantor lagi, tapi hubungan keduanya tetap baik. Baik sebagai teman. Ia sudah mengira pasti Heru meneleponnya untuk menanyakan foto yang ia upload di akun instagram. "Halo, Her.""Halo, Bro, gimana?" David tertawa bahagia. "Lu denger gue ketawa kan? Tandanya gue lagi happy. Lu pasti mau nanya soal foto yang gue upload?""Iya, itu, gue kaget lu uplod foto bocah. Anak lu sama pembantu lo?""Iya, bener. Akhirnya gue ketemu mereka. Mau gue kerangkeng pake buku nikah biar gak pada kabur melulu ha ha... ""Alhamdulillah, gue turut senang Bro. Selamat ya. Jangan lupa gue diundang.""Iya, mulai besok sampai gue nanti nikah, kontak lu gue blokir ya, biar gak kirim video anuan lagi.""He he he... Iya, Vid, kagak lah. Gue juga kapok.""Lo di mana?""Gue lagi di rumah sakit.""Lah, siapa yang sakit? Bini lu? Rumah sakit mana?""Rumah sakit Bina Keluarga. Iya, keguguran lag
"Ini rumah siapa, Bu?" tanya Aji yang terdiam di halaman besar rumah oma Eva. Begitu Eva menginginkan si Kembar memanggilnya. "Ini rumah Bapak," jawab David. "Oh, besar ya? Emang boleh masuk? Abang sama ade boleh masuk?""Iya ya, Dek, waktu kita ke rumah juragan Nengsih, kita gak boleh masuk karena katanya orang miskin." "Kata siapa? Denis dan Aji nanti adalah pemilik rumah ini juga. Ayo, masuk sama Bapak. Ibu juga ikutan masuk." Sri hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Meskipun dengan langkah ragu, si Kembar mau juga berjalan menuju pintu masuk rumah keluarga David. Sri memandangi halaman rumah yang sangat asri. Beda saat ia masih bekerja. Tampak halaman dipenuhi tumbuhan menghijau dan ada beberapa bunga warna-warni. Kolam ikan koi juga diperbesar dari sebelumnya. "Wah, ada ikan!" Seru Aji senang. Mereka berjongkok untuk mendekati kolam ikan dengan wajah semringah. "Kolamnya lebih besar ya, Mas," komentar Sri. "Iya, sejak jadi pengangguran, pasti selalu saja ada yang aku k
Balikan? Jika pria di depannya ini bicara satu bulan yang lalu atau bahkan seminggu yang lalu, pasti akan lain cerita. Namun, sekarang sepertinya sudah terlambat. Dahulu, ia sangat bangga putrinya dekat dengan aparat negara. Putrinya akan mengangkat harkat dan martabatnya sebagai orang kampung yang dipandang hina, tapi kini, setelah semua yang dilewati oleh Sri. Asih paham, kebahagiaan si Kembar adalah yang utama. "Bu, Sri ada di mana? Saya sudah dengar kabar tentang Sri. Saya gak masalah Bu. Saya juga punya satu putri yang berumur dua tahun. Saya menerima msa lalu Sri dan saya ingin membina semuanya dari awal lagi." Asih hanya bisa menghela napas panjang. Apa yang harus ia katakan pada Farhan? "Nak Farhan, Sri memutuskan untuk kembali bersama ayah dari anak-anaknya," suara Asih terdengar mencicit. Meskipun Farhan bicara dengan nada lembut, tetap saja seragam hijau loreng yang dikenakan pria di depannya ini membuat nyalinya sedikit ciut. Ditambah lagi ia baru sembuh. "Dengan anak m
PoV MayangAku menggeser tirai yang tertutup rapat karena sejak tadi ada suara anak kecil menangis, tetapi tidak ada yang menenangkan. Ke mana orang tuanya? "Sus, ini kenapa?" tanyaku padaku pada salah satu suster yang sedang bolak-balik sibuk di IGD. "Sesek napas, Dok. Positif DB juga.""Ya Allah, orang tuanya mana? Itu nangis terus dari tadi?""Orang tuanya lagi cari pinjaman. Masih nunggak BPJS, belum dapat kamar." "Terus kenapa gak dipasang oksigen?" Aku melongok lagi ke dalam bilik itu dengan perasaan iba. "Lagi dicari, Dok. Banyak yang pakai!""Di lantai dua pasien anak kamar dua tiga udah udah bisa pulang. Coba ambil ke atas. Ini harus cepet dioksigen! Ibunya mana?" Aku benar-benar ikut panik. Tidak tega melihat anak kecil, perempuan pula sedang menangis dengan napas yang sesak. "Baik, Dok. Saya lihat ke atas.""Cepat! Tunggu, kertas ini biar saya yang pegang!" Aku mendekati ranjang itu sambil mengusap air matanya. "Sabar ya. Kalau kamu nangis terus, nanti malah tambah sa
"Ma, gak bisa seperti ini, Ma. Bisa-bisanya kita ditipu mereka. Astaghfirullah." Papaku mengepalkan tangan. Bahkan vas bunga yang ada di ruang ganti pecah karena ia melemparnya ke tembok. Aku tidak bisa menangis. Rasanya air mata ini susah sekali dipaksa untuk turun. Sudah banyak ujian hidupku, sehingga aku rasa menangis pun percuma, pria yang akan menikahi ku itu pergi entah ke mana. "Sabar, Pa. Mama juga bingung. Kenapa bisa kacau seperti ini?" Mama menenangkan papaku. "Mbak, ini minum!" Tasya memberikan segelas air putih. Aku masih duduk di bawah lengkap dengan kebaya pernikahanku. Tubuhku lemas tidak bertulang. "Apa salah kita di masa lalu, Ma. Sampai-sampai anak kita seperti ini?" "Coba, Papa yang ingat-ingat!" Papaku menunduk. "Itu sudah lama sekali, Ma. Papa susah taubat. Mama tahu kan, Papa bahkan sempat bermalam di penjara karena urusan itu." "Pa, Ma, mungkin Mayang tidak ada jodohnya di dunia." Papa dan mamaku menoleh serentak. "Mayang, jangan bicara aneh! Bicara yang
"Kamu keramas, Sayang?" tanya mamaku sambil menahan senyum. "Iya, Ma, gerah," jawabku santai. Mas Aldi menarik kursi untukku, lalu ia duduk di sampingku. Aku celingak-celinguk mencari sosok Lea. "Mana Lea, Ma? Dibawa Tasya ya?""Iya, Tasya mau beli lontong sayur. Lagi pengen katanya. Jadi minta ditemani Lea. " Mama tersenyum sangat manis padaku, lalu beralih pada suamiku. Terus saja tatapan itu menyorot pada rambut kami berdua. Mama nampaknya bahagia. Padahal semalam tidak terjadi apa-apa. "Ayo, makan yang banyak, kalian pasti lapar kan?" kali ini papa ikutan menggoda. Mama dan papaku seperti tidak pernah muda saja. Perasaan waktu aku menikah dengan David, mama dan papa tidak seheboh ini. Oh, apa karena David pingsan? Pingsan setelah mendengar bahwa Sri hamil ha ha ha ha... Jika diingat lagi, aku benar-benar tak habis pikir. Bisa ditipu oleh orang yang paling aku percaya. "Selain lapar, mereka juga capek, Pa," sambung mama. Ingin sekali menganggah candaan kedua orang tuaku, tapi a
Somay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata