PoV DavidFlash backAku menyusul Sri yang detik itu juga bergegas melihat tamunya. Sebuah nama yang tidak asing bagiku yang tadi pagi sempat aku dengar dari seberang telepon bersama calon mertuaku. Berani sekali lelaki itu datang kemari! "Kang Farhan." Sri berbinar dan langsung menciyum punggung tangan lelaki berseragam loreng itu. Aku hanya diam terpaku untuk beberapa saat. Tubuhku sedikit gempal, tetapi postur ku tidak setinggi tentara bernama Farhan ini. "Kamu apa kabar, Sri?" tanya lelaki itu. "Sehat, Kang. Ayo, silakan duduk! Kita duduk di sini saja ya!""Ehm! Maaf, Sayang, ini siapa ya?" tanyaku menyela. Sengaja aku panggil Sri dengan kata Sayang, agar lelaki itu tahu, aku adalah calon suaminya. Wajah Sri yang semringah seperti sekarang baru kali ini aku lihat dan itu bukan untukku. "Oh, iya, Mas David, kenalkan ini Kang Farhan." Pria itu bersikap dingin. Aku pun sama. Aku membalas jabatan tangannya sambil terus menatap wajahnya. Aku sama sekali tidak takut dengan seragam y
"Kalian berdua harus bicara. Mama akan pergi ke luar sebentar." Mamaku segera pamit dari meja makan. Nasi di piringnya bahkan belum habis setengah, tetapi aku melihat kesedihan di sana. "Mbak Sri, harusnya sore ini kita akan menikah siri'kan? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran dengan hadirnya Farhan? A-apa kamu gak mau hidup dengan lelaki; ayah anak kamu?""Saya ingin hidup dengan lelaki yang mencintai saya dan anak-anak saya. Mas David menikahi saya karena anak-anak, bukan karena punya perasaan tulus pada saya. Ya'kan? Mas David gak usah khawatir. Si kembar akan disayang oleh Kang Farhan. Saya sangat kenal sekali dengan lelaki itu.""Sri, jangan begini! Masa kamu batalin. Anak-anak gimana? Mereka akan bingung karena punya bapak dan papa. Itu gak baik untuk pertumbuhan mereka. Sri, aku mohon pikirkan lagi. Jangan sampai salah langkah.""Saya udah bicara sama ibu juga semalam. Sesuai dengan keinginan ibu juga bahwa saya harus menikah dengan orang yang mencintai saya. Mas David juga ka
PoV SriAkhirnya setelah melewati banyak hal, hari ini seharusnya aku bahagia karena telah menikah dengan kang Farhan. Hari ini aku sudah dah menjadi istrinya dan langsung diboyong ke rumahnya. Mimpi mempunyai rumah tangga seperti orang lain akhirnya kesampaian juga. "Kenapa bapak gak ikut, Bu?" pertanyaan polos Aji membuat aku tersadar dari lamunan. "Mulai sekarang, bapaknya Aji dan Denis adalah papa Farhan ya," suara kang Farhan menjawab. Dua putraku kembali diam. Keduanya serentak menoleh ke arahku. Tidak ada hubungan antara aku dan mas David membuat lelaki itu tidak memiliki hak sama sekali atas si Kembar. Mungkin itu juga yang membuatnya akhirnya mengikhlaskan kembar ikut bersamaku. "Kita sudah sampai." Ibu mertuaku yang duduk di depan mengeluarkan suara. Sayang sekali mobil berhenti di depan jalan besar karena gang masuk rumah mas Farhan kecil. Paling kuat dua motor saja. Aku pun turun sambil menggandeng tangan Aji dan Denis. Sayang Denis mengantuk berat, sehingga aku berinis
Aku mencuci pakaian yang banyak sekali. Pakaian kotor keringat, bercampur dengan pakaian Mutia yang beraroma pesing karena putri sambung ku itu masih ngompol. Ada juga seprei besar bau ompol. Semua pekerjaan rumah tangga aku kerjakan dengan perasaan sedih. Aku kasihan dengan anak-anakku. Mereka sepertinya akan menderita bila di dekatku.Kang Farhan tidak pulang semalam. Ponselnya juga tidak aktif. Aku tidak tahu harus mencari ke mana. Aku tanya sama ibu di mana Kang Farhan jaga? Ibu gak mau jawab. "Aduh, kamu nyuci lama sekali, Sri! Katanya kamu dulunya pembantu, masa nyuci manual aja kamu lama! Cepetan, Ibu dan Mutia lapar. Belum lagi masak.""Bu, bikin nasi goreng saja nanti kita sarapannya." Aku lekas menghapus air mata tanpa dilihat oleh ibu mertua. "Yah, gak kenyang dong. Kamu kan banyak uang dari omanya kembar, beli lauk apa gitu yang mateng kalau kamu gak sempat masak. Ibu pengen makanan di online-online itu boleh. Bento, bento, gitu, namanya, tahu gak?" aku mengangguk. "Bu
"Tanganmu ringan sekali? Apa memang terbiasa melakukan hal ini? Kamu berubah, Kang! Aku gak kenal sama kamu la----""Sudah, jangan kebanyakan bicara, Sri! Aku lagi ingin, kamu malah mengomel terus! Udah sini, tinggal rebahan dan mendesah aja, repot banget!" Aku, ia dorong kembali ke atas ranjang. Aku benar-benar ketakutan. "Aku gak bisa, Kang!" Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga, tetapi pria itu bergeming. Tamparan di pipiku amat pedih. "Sri, kamu cukup nikmati saja! Kamu mau aku tampar lagi? Hah!" Aku menggelengkan kepala. Aku merasa begitu jijik dengan sentuhan Kang Farhan. Tidak, aku tidak bisa. Ini terlalu menjijikkan. Bau alkhohol dari mulut, air liur yang.. Uek! Uek! Kang Farhan menghentikan gerakannya. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan wajah marah. "Kamu bau alkohol, Kang. Aku gak bisa! Aku mau muntah!" Aku benar-benar muntah dan mengenai dadanya. Wajah pria itu kembali meradang, tetapi aku tidak mau ambil pusing. Aku segera berlari untuk memuntahkan isi perutku y
"Kamu nggak usah cerita apa-apa karena anak-anak sudah cerita semua. Lengkap dengan foto kamu." Aku mengerjap beberapa kali. Ini adalah menit kelima setelah aku sadarkan diri setelah terakhir aku sampai di rumah David dalam keadaan gelap. Pria itu terus menatapku dengan tatapan iba. Wajah pertama yang aku lihat setelah aku sadar adalah David. "Cerita apa, Mas? Anak-anak mana?" aku menatap ruang rawat inap yang sepi, hanya ada aku dan mas David saja. Ruangannya besar sekali dan di samping ranjang ku ada buket bunga mawar besar dan juga aneka buah. "Anak-anak aman. Mereka ada sama papa dan mama. Semalam, setelah anter kamu ke rumah sakit, papa dan mama bawa anak-anak ke hotel. Terus pagi ini mereka mau ke Bali." "Bali?" "Iya, setelah mendengar cerita Aji dan Denis. Mama marah besar. Apalagi perut cucunya kempes karena kelaparan. Jadinya mereka memutuskan untuk membawa Aji dan Denis. Ada teman papa yang nikahin putranya di Bali. Jadi sekalian. Kamu gak papa kan?" aku mengangguk pe
PoV Farhan"Gue balik dulu. Udah capek gue main, kagak pernah menang juga." Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Duduk di warung kopi sejak siang sampai malam bermain slot, mata sampai perih. Modal habis banyak, tapi gak menang juga. Soalnya double hari ini. "Lu jaga besok ya?" tanya Asep; teman nongkrong bermain slot. "Gue udah resign jadi satpam komplek. Ada kerjaan yang lebih seru dan gak bikin gue capek. Bisa nge-modal main bareng lo pada dengan rupiah yang lebih besar," kataku jumawa. Memikirkan duduk santai di rumah, dimanjakan istri yang mantannya orang kaya, rasanya aku bisa hidup lebih lama lagi. Berasa umur panjang. "Lah, ngapa lo resign? Udah ada gantinya belom? Kalau belum, gue mau dah," kata Asep lagi dengan semangat. "Ya udah, gue kirim nomor Pak Adit. Lu tanya aja dia. Orangnya baik kok. Emang belom dapat setahu gue." Aku pun segera mengirimkan kontak Pak Adhi, selaku komandan satpam di tempatku bekerja pada Asep. Bukan main si Asep girangnya. "Makasih, Han,
"Ibu tahu aku kan, Bu. Gak mungkin aku pengedar barang-barang gitu, Bu. Aku cuma mabok minuman. Ini pasti perangkap, Bu. Mana berani aku, Bu. Aku kan tahu seperti apa, " rengek Farhan pada ibuny dari balik jeruji besi. Lelaki itu terlihat begitu kusut dan tidak berdaya. "Tapi mereka nemu barang itu di motor kamu, Han. Mana bisa ngelak. Ck, kamu bikin masalah aja. Emangnya kamu gak ketemu Sri?""Nggak, Bu, Sri sama anak-anak gak ada. Sepi, mobil dan motor di rumah itu juga gak ada. Kayaknya gak ada orang. Lagian Sri gak mungkin ke sana, dari mana dia ada ongkos?" jawab Farhan lemah. "Duh, semua gara-gara istri kamu itu. Niatnya untung, malah buntung. Lepas dari Sukma, malah masuk penjara sekarang. Ibu gak tahu caranya keluarin kamu gimana? Pasti duitnya gak sedikit." Farhan menggeleng tidak tahu. Ya, tentu saja ia tidak tahu harus bagaimana kehidupannya dan Mutia, juga ibunya jika ia terus mendekam di penjara. Kasus barang haram seperti ganja bukanlah kasus ringan. Meski cuma enol k
Somay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata