David syok untuk beberapa saat. Teman-teman kerja mengelilinginya mencoba bersimpati, tetapi ada juga yang senang akan kemalangan yang diterima lelaki itu. Belum lagi panggilan telepon dari mama, papa, dan juga saudara-saudaranya terus bergantian. Ada banyak pertanyaan yang muncul dari teman-teman satu ruangannya, tetapi lelaki itu tidak bisa menjelaskan karena video tiktok yang sedang FYP itu adalah rekaman percakapan antara dirinya dengan Mayang. Di sana juga ada screenshot pesan percakapan keduanya. Mau menjelaskan juga percuma karena pasti banyak yang tidak percaya. "Gue turut prihatin, Vid," kata Heru yang ikut mengantar David sampai di lobi parkir. "Maafin gue, gara-gara gue semuanya jadi berantakan. Gue awalnya iseng doang, Vid. Gue gak tahu kalau video itu berakibat buruk banget buat lo yang notabene masih perjaka. Gue salah, Vid." Heru terus meminta maaf pada teman baiknya itu sambil membantu membawakan kardus berisi barang-barang David yang ada di mejanya. "Udah terjadi
"Gara-gara kamu, anakku kehilangan suaminya. Bayi di perut anakku, kehilangan papanya. Kamu biang masalah, Sri! Dasar perem---""Ya, Allah, Sri! Bu Nindi!" Sambil menggendong bayinya, rambut Sri ditarik oleh Nindi. Wanita itu penuh amarah mengerjai Sri yang sedang menggendong putranya sekuat tenaga. "Mbak Nindi, apa yang Mbak lakukan? Astaghfirullah!" David berhasil menarik tangan ibu mertuanya. Sri menggigil ketakutan. Eva langsung membawa Sri masuk ke dalam rumah. "Perusak rumah tangga orang! Kenapa kamu harus muncul lagi?!" "Mama, apa yang Mama lakukan? Mama bisa melukai bayi saya!""Dia bukan bayi kamu. Itu anak hasil zin4! Dia anak ibunya. Nasabnya ikut ibunya. Kamu gak perlu tanggung jawab pada perempuan itu dan bayinya. Yang harus kamu berikan tanggung jawab penuh adalah Mayang dan bayi dalam perutnya, David! Apa yang kamu lakukan ini pasti akan ada balasannya dari Tuhan!" David tergugu dengan mulut setengah terbuka. "Harusnya kamu mikir, pasti kamu dijebak oleh pembantu it
Lisa duduk di pinggir jalan. Ia tidak tahu mau ke mana karena tidak punya uang sepeser pun. Cincin emas yang diberikan oleh Heru sudah ia buang karena ternyata bukan emas, melainkan imitasi. Langit semakin malam dan angin berembus sangat kencang. Lisa mengambil kain panjang dari dalam tasnya untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Lampu sorot mobil perlahan mendekat ke arahnya. Seorang pria keluar dari dalam mobil dan menghampiri Lisa yang tidur sambil bertumpu pada kedua tangannya. "Hei, Mbak!" Lisa tersentak. "Maaf, saya ketiduran." Lisa segera bangun tanpa melihat siapa yang bicara padanya. "Jangan ditangkap, Pak. Saya bukan gelandangan!" Suara Lisa bergetar menahan tangis. "Hei, Mbak saya yang di toko emas tadi." Lisa yang sedang ketakutan akhirnya mengangkat wajahnya untuk memastikan wajah pria yang bicara padanya. "Kenapa di sini? Ini sudah jam sebelas malam," tanya pria dewasa itu. "Saya gak punya tempat tujuan, Pak. Udah diusir mertua dan lelaki yang menikah saya. Nia
PoV Sri"Bu, ini obatnya udah ada. Ayo, diminum dulu," kataku pada ibu yang sudah terbaring lemah di ranjang selama dua bulan ini. "Dari mana kamu punya uang untuk beli obat Ibu? Pinjam lagi sama juragan Nengsih ya?" aku tersenyum getir. Sudah dua bulan sejak ibu sakit, aku tidak bekerja. Dua anak kembarku juga harus aku urus. Tadinya aku bekerja sebagai admin di sebuah klinik di pinggir kota, saat anak-anak diurus oleh ibu, tetapi sejak ibu sakit, aku benar-benar libur bekerja. Untung saja Dokter Desi menolongku dengan memberikan sembako beras satu karung yang lima kilogram, telur, gula, mi instan, dan juga sarden. Makan kami hanya mengandalkan dari pemberian dokter Desi. Tidak tahu juga berapa lama dokter Desi bisa memberi sedekahnya pada kami untuk itu aku harus putar otak untuk mendapatkan rejeki. "Ibu gak usah pikirin duit Sri dari mana? Ini dari dokter Desi. Katanya obat ini bisa sedikit meringankan nyeri di dada Ibu. Sakit Ibu ini sakitnya orang kaya. Jadi obatnya agak mahal
Badan ibu mendadak panas. Belum sembuh sakit sesak karena jantungnya, kini badan ibu kembali panas. Jika saja aku punya uang, pasti aku ikut program BPJS, sayang sekali, baik ibu, aku dan anak-anak tidak ada yang ikut BPJS. Pernah ikut BPJS saat masih bekerja di bu Eva, tapi setelah itu aku tidak bisa membayar lagi. Setelah melahirkan si Kembar, pembayaran BPJS-ku mandek karena uang gajiku dari bagian administrasi klinik hanya cukup untuk makan dan susu si Kembar. "Nenek sakit ya, Bu. Nenek anget," kata Aji. "Iya, tunggu di sini jagain nenek ya. Ibu ke rumah Pak Suroto minta obat untuk nenek." Si Kembar mengangguk paham. Aku bergegas keluar rumah meski dalam keadaan gerimis. "Pak, Pak!" Duda beranak lima itu membuka pintu dan menatapku heran. "Saya kalau udah kamu yang ketuk pintu, pasti langsung gak enak perasaan saya. Ada apa? Mau minjem duit lagi?""Pak, ibu mendadak panas badannya. Apa saya boleh pinjem sepeda, mau panggil Mak Yah di kampung sebelah.""Oh, minjem sepeda. Ya ud
"Sri, kamu gak punya baju yang bagus?" tanya Mak Yah sambil memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah."Gak ada, Mak. Adanya ini saja. Saya emang gak pernah punya baju cakep orang urusannya di dapur terus," jawabku sambil tersenyum. Padahal saat ini detak jantungku tidak beraturan. Semakin lama mobil melaju meninggalkan rumah Mak Yah, maka semakin cepat pula detaknya."Duh, takutnya keburu gak selera orangnya." Mak Yah mengigit bibir seperti sedang memikirkan sesuatu."Pak Sopir, janjian sama Pak Bos jam berapa ya?""Oh, bapak bilang jam tiga sore, Mak. Ini baru jam sebelas. Mau mampir dulu?""Iya, Pak, mampir ke mall yang di dekat sini saja. Obatnya pak bos biar saya rapihin dulu. Mana mau minyak telon kamu, Sri." Mak Yah menggelengkan kepala. Mana pernah aku pakai parfum. Pernah punya, diberikan oleh Robi, tapi aku tinggal saat aku keluar dari rumahnya. Sering sekali aku mengingat keluarga Bu Eva, apakah mereka juga sama? Jujur, aku rindu suasana rumah besar Bu Eva, tetapi m
Aku pasti salah orang. Lelaki ini bertubuh gemuk dan juga bercambang. Bukan mas David. Aku sudah salah sebut. "Mbak Sri?" aku terpaksa menahan napas. Ia tahu namaku. Aku masih menatap lelaki ini tanpa berkedip. "Mbak Sri'kan? Ini saya David. Mbak gak kenali saya?" "Maaf, t-tapi kalian hanya mirip suaranya saja. David gak gemuk dan gak kumisan serta cambangan begini. Ini saya apa salah kamar ya? Saya mungkin harus----""Tunggu! Ini saya David. Saya pasien Mak Yah. Mbak Sri gak salah kamar. Saya David. Saya ayah anak-anak, Mbak." Lelaki itu langsung manahan tanganku sehingga aku kembali duduk di ranjang. Ia lalu menarik bed cover putih untuk menutupi tubuhku yang setengah terbuka. Rasanya malu sekali. Ingin aku hilang saja dari muka bumi setelah orang yang paling aku hindari harus berjumpa dalam keadaan memalukan. "Ganti bajunya, Mbak. Jangan pakai seksi begini. Nanti bisa kena lagi sama saya he he he..." Aku seperti dihipnotis. Aku menurut saja saat David membawaku ke kamar mandi
FlashbackPoV DavidAku tidak bisa memaksa Sri untuk tetap tinggal di Jakarta. Aku menghormati keputusannya, meski hatiku berat. Ia berkata aku akan tetap bisa berhubungan dengan anak kembarku, tetapi tidak untuk tinggal bersama. Aku pun tidak boleh egois. Aku khawatir Mbak Sri kabur lagi jika aku memaksa. Selain itu, mbak Sri bilang, ia tidak cinta dan ia hanya mau menikah dengan orang yang mencintainya dengan tulus, begitu juga sebaliknya. Bukan malah menikah karena tanggung jawab dan kasihan. Nanti anak-anak juga yang jadi korban. Mama dan papaku sempat keberatan. Mereka ingin aku dan mbak Sri menikah. Tentu saja tidak semudah itu. Mbak Sri sendiri pasti ada trauma bersamaku. Membayangkannya saja aku belum berani. "Mas, ayo, papa dan mama udah di rumah mbak Sri, tuh!" Robi berdiri di depan kamarku. "Masih berat ya. Tenang aja, sih, kita tahu rumah mbak Sri ini. Mbak Sri udah janji kalau kita boleh sering-sering jenguk kembar. Mbak Sri orang yang amanah, Mas. Buktinya, si Kembar
Somay gondrongPecel lele stasiun SenenNasi uduk tanah abangAsinan BogorAlpukat mentega metik langsung di kebunAneka kukisRendang asli dari PadangAku merasa sedikit sakit kepala saat membaca list makanan yang diinginkan istriku. Ini tidak mudah, tapi akan aku usahakan terpenuhi. "Mas, gimana?" tanyanya manja sambil menyandarkan kepalanya di lenganku. "Sayang, ini sih, kecil. Kemarin temenku ada yang istrinya hamil, ngidam suaminya lompat ke jurang dan harus dilakukan kalau nggak, istrinya yang mau lompat." Sri terbahak sambil memukul gemas lenganku. "Ih, serem banget, Mas. Ini gak sulit kan?" tanyanya lagi. "Tidak sayang. Ini sangat mudah. Tapi gak mungkin semua dapat hari ini, Sayang. Harus pesen tiket ke Padang dulu kan?""Dua hari ya. Rendang Padang boleh besok, sisanya hari ini. Anggap saja ini rapelan dengan kembar. Waktu hamil kembar, saya kan sendirian." Aku bergeser ke kanan untuk menatap wajah istriku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku. "Siapa suruh ka
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata