Arvan's POV
Setelah makan aku mengajaknya ke mall. Dia membantuku memilihkan baju untuk Rama juga adik-adiknya. Aku memberitahu Anggun dengan mengamati anak-anak pengunjung mall. Kira-kira sebesar itu adik-adiknya Rama. Aku tidak tahu pasti karena hanya melihat beberapa kali dari kejauhan. Ketika aku sengaja lewat depan rumahnya.
Anggun menolak saat aku menawarkan untuk membeli sesuatu. Bahkan waktu aku memilihkan blouse yang menurutku sangat bagus. "Nggak, Pak. Terima kasih," tolaknya.
Dari mall, Anggun mengajakku mampir ke toko orang tuanya. Kami masih menunggu karena mereka sedang sibuk. Ada satu orang pemuda yang membantu di toko itu.
"Ayo, duduk sini, Nak Arvan!" Ayahnya Anggun mempersilakan duduk di bangku semen sebelah kiri depan toko mereka.
Anggun keluar sambil membawakan teh botol untuk kami. Hampi satu jam aku dan ayahnya Anggun berbincang-bincang. Mengenai p
Arvan's POVMinggu siang itu seperti janjinya, Bang Petra dan Melinda datang ke rumah mengajak anak-anaknya.Kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu. Netra tuanya mengembun ketika Rama menyalami dan mencium tangannya. Disusul ketiga adiknya. Mereka anak-anak yang manis dan pintar."Vita, Puspa, ini Om Arvan." Bang Petra bicara pada dua putrinya. Aku tersenyum pada dua gadis kecil yang imut dan cantik itu. Tentunya mereka belum tahu kalau antara mereka bertiga dengan Rama beda ayah.Kami berbincang-bincang sambil menikmati kue dan cemilan yang disediakan ibu. Wanita yang melahirkanku itu tidak henti memandang cucu lelakinya dan Melinda. Wanita yang gagal kubawa untuk jadi menantunya.Pembicaraan kami membuat adik-adiknya Rama mulai bosan. Akhirnya Bang Petra mengajak ketiga anaknya bermain di luar. Kebetulan cuaca sedang redup. Mereka berlarian di halaman. Tinggal
Arvan's POVAku menolak saat Bang Petra meminta agar aku dan Ibu ikut di mobilnya. Aku memilih naik mobilku sendiri yang di sopiri temanku. Jujur saja aku tidak ingin tenggelam dalam kenangan bersama Melinda. Sebagai laki-laki aku bisa merasakan, dibalik keramahan Bang Petra, dia juga menyimpan cemburu padaku. Tapi dia pria dewasa yang bijaksana. Dia tahu bagaimana mengendalikan perasaannya.Kendaraan beriringan di jalan protokol menuju rumah mempelai wanita. Dadaku kian berdebar kencang ketika mobil hampir mendekati rumah Anggun. Meski telah lebih dari cukup usia untuk menikah, tapi tak bisa kupungkiri gemuruh dalam dada menghadapi acara sakral ini.Aku tidak menyangka menemukan jodoh di sini. Jauh beribu-ribu kilometer dari kampung halamanku. Pernikahan yang tidak lagi aku pikirkan setelah berpisah dengan Melinda. Namun aku dipertemukan pendamping hidup setelah bisa menjalin hubungan baik dengan putra dan wanita yang p
Arvan's POVTepat jam tujuh malam mobil memasuki halaman sebuah hotel. Sebenarnya ini bukan di tempat wisata, yang penting kami bisa memiliki banyak waktu berdua. Perjalanan dari rumah ke hotel sebetulnya hanya butuh waktu dua jam. Tapi tadi kami masih mampir di masjid untuk Salat Maghrib.Aku menunjukkan bukti booking hotel online seminggu yang lalu. Resepsionis menyuruh seorang pelayan hotel untuk mengantarkan kami ke kamar.Anggun tersenyum sambil memperhatikan seluruh kamar yang di tata sedemikian rupa. Spesial untuk pengantin baru. Aroma vanila menguar diseluruh penjuru ruangan. Seprai putih di taburi kelopak mawar berbentuk love pas di tengah-tengah. Ada lilin aromaterapi di sudut kamar."Suka?" tanyaku pada wanita yang masih berdiri memperhatikan ruangan dan memandang lampu-lampu di kejauhan dari jendela kaca kamar yang gordennya terbuka.Dia mengangguk dan t
Arvan's POVAku kembali masuk kerja usai cuti singkat kemarin. Anggun menemani Ibu di rumah. Orang tua Anggun tidak keberatan kalau kami memutuskan untuk tinggal di rumahku. Mereka berdua juga masih muda, baru umur lima puluhan. Setiap hari juga berada di toko. Makanya kami merencanakan kalau akhir pekan saja akan menginap di rumah mereka.Tiga tiket pesawat sudah aku booking untuk perjalanan pulang. Kedua mertuaku tidak bisa ikut serta karena ada hajatan di rumah abangnya ayah mertua. Rama juga tidak mau karena bukan waktunya libur sekolah. Tapi dia bilang akan ikut lain waktu.Adik-adikku sering menelepon, tidak sabar ingin segera bertemu wanita yang berhasil menaklukkan kakaknya. Mereka juga pada kangen dengan Ibu.Anggun telah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk kerabat di sana. Dia juga memutuskan untuk berhijab, aku sangat bersyukur dalam hal ini. Tanpa kuminta, dia sadar deng
Vi Ananda's POV"Ayo, makan dulu, Mas. Habis ini minum obat. Obat maagnya tadi udah di minum, 'kan?" kataku pada Mas Ilham sambil membawakan semangkuk bubur hangat dari dapur. Kusentuh keningnya, tidak sepanas kemarin."Iya, lima belas menit yang lalu."Sudah tiga hari ini makan bubur. Dia demam dan tensinya sempat drop kemarin. Kesibukan mengurus kerjaan, stres yang berlebihan membuatnya kelelahan. Dokter menyarankan agar istirahat total dalam waktu seminggu ini.Mangkuk kuletakkan di nakas. Lalu mengambil termogun di laci, hasil di sana menunjukkan angka 37°C."Mas boleh makan nasi, nggak?" tanya Mas Ilham sambil duduk. Mungkin dia bosan makan bubur terus."Boleh, sih. Tapi perut Mas rasanya gimana?" Aku memandangnya. Sengaja tidak kuberi makan nasi karena maagnya sempat kambuh juga kemarin."Udah baikan ini."
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T