[ POV Yudha ]
"Apa yang sudah ibu lakukan pada istriku, hingga ia tak mau lagi tinggal di rumah ini?!"Aku ingin dengar dari ibu sendiri. Bertanya pada Karin, ia pasti menutupi perbuatan Ibu.Ini bukan kejadian pertama kali. Tak mungkin karena hal sepele lalu ia minta pulang dan tak bisa dicegah lagi.Terlebih lagi, kulihat sisa tangisan masih terlihat jelas, meski berusaha ia tutupi dengan senyuman di depanku.Tak kudengar suara ibu, selain isakan."Maafkan ibu, Yudha."Hanya itu yang beliau ucapkan, lantas menutup mulutnya dengan telapak tangan. Isakan makin terdengar. Bahunya mulai terguncang.Sayangnya, aku tak lagi iba. Aku sudah bosan melihat sandiwara seperti ini."Berhentilah ikut campur rumah tanggaku, kalau masih mau melihatku di rumah ini.""Apa maksudmu, Yudha?" sambar ibu."Harus kukatakan berapa kali, Bu, Karin itu hidupku. Kebahagiaanku. Kalau ibu menyakiti hatinya, sama saja ibu menyakiti hatiku."Ibu justru mencebik. Cepat sekali ekspresinya berubah."Kasihan sekali anakku. Matanya buta karena cinta."Ibu menatapku tajam. Aku tak peduli. Yang ada di pikiranku sekarang hanya istri dan anakku."Aku akan membawa Karin ke rumah orang tuanya setelah ini, biar ibu bisa berpikir."Kutinggalkan Ibu seorang diri, lalu menuju ke kamar, di mana belahan jiwaku berada."Kita berangkat sekarang?" tanyaku, setelah duduk di sisinya yang baru selesai menyusui.Ia segera beralih dari posisi berbaring ke posisi duduk. Beberapa anak rambut menutup sebagian wajah, menambah kadar kecantikan wanita yang kucintai sepenuh hati.Kurapikan rambutnya yang keluar dari ikatan, hingga kulihat rona kemerahan di pipinya yang semakin berisi."Baiklah, aku akan siap dalam sepuluh menit," ujarnya dengan senyuman.Ia menurut, lantas beranjak ke meja rias. Ia mulai menyapukan isi botol di atas meja, bergantian ke wajahnya.Aku menunggu sambil memeriksa ponsel. Go-car yang kupesan sebentar lagi datang. Ia akan mengantar kami ke terminal, sebelum menaiki bus.Kuperiksa sekali lagi isi tas yang akan kami bawa. Kuambil beberapa potong pakaian, kutambahkan serta ke dalam tas tersebut."Mas.""Ya?" Aku mengalihkan pandang pada istriku yang telah selesai berdandan."Boleh aku bicara?""Boleh, dong, ada apa? Bicaralah."Aku setia menunggu, akan bicara apa kiranya istriku?"Jangan terlalu keras pada ibu. Beliau ibumu, wanita yang melahirkan kamu, seperti aku yang melahirkan anakmu. Apa kamu lupa bagaimana aku berjuang melahirkan anak kita?"Suaraku tadi pasti terdengar olehnya. Dia selalu seperti ini, berusaha menenangkan saat aku tak terkendali."Tentu saja aku ingat. Aku yang menunggumu, kan?"Bagaimana aku bisa lupa, menemani ia yang merasakan kontraksi hingga anak kami lahir.Jika saja bisa, ingin rasanya kutukar rasa sakit itu, biar aku saja yang merasakan. Sayangnya, itu hal yang mustahil."Nah, makanya. Pelankan suaramu kalau bicara sama ibu, Mas."Ia berkata sambil meraih Dinar, lalu membungkusnya dengan kain gendongan.Lihatlah, Bu. Sesayang ini menantumu. Kenapa hatimu tak terketuk juga hingga sekarang? Kenapa ibu masih juga terlihat tak menyukai istriku ini?"Baiklah, Sayang. Tak salah aku memilihmu sebagai istri. Sayangnya, ibu harus diberi pelajaran, supaya tetap berbuat baik pada wanita pilihanku."Kuambil tas dengan tangan kiri, lalu beriringan kami ke luar kamar.Kedua mata ibu masih basah dan merah saat kami sampai. Dinar segera diambil alih, lalu didekap erat sambil terisak.Lima menit menunggu, belum ada tanda-tanda beliau menyerahkan kembali cucu yang sedang didekap. Untung saja anakku anteng."Sudah cukup, Bu. Kami berangkat sekarang. Ibu hati-hati ya, di rumah," ujarku, lalu mengambil Dinar dari dekapan Ibu.Karin mengulurkan tangan untuk berpamitan, tapi ditepis oleh beliau. Aku mendengkus kesal melihat itu."Ayo, Dek," ajakku kemudian.Lalu lalang kendaraan sangat ramai saat aku ke luar dari rumah ini.Beriringan kami menuju go-car yang telah menunggu di depan toko ibu. Toko yang berjasa menghidupi kami selama ini.Ibu mengantar kepergian kami dengan tangisan. Oh, ibu, berhentilah menangis. Aku hanya pergi sebentar, paling lama tiga hari di sana.Mobil yang kami naiki perlahan bergerak dan meluncur mulus di jalan raya. Masih kulihat ibu mematung di tempatnya..Menempuh perjalanan 18 jam, sampailah kami di desa Karin. Desa yang sesungguhnya, sebab jauh dari keramaian. Hamparan sawah yang hijau dapat ditemukan dengan mudah di sekitar sini."Kasih kabar ke rumah, Mas," tegur Karin, begitu aku merebahkan badan.Remuk redam rasa badanku ini. Ingin segera memejamkan mata, setelah berbasa-basi dengan keluarga istri.Lihatlah, Bu. Aku bahkan tak ingat memberi kabar, justru menantu yang kau buat menangis ini yang mengingatkan."Kami sudah sampai, Bu," ujarku, setelah sambungan telepon terhubung.Karin memijit pundak dan punggung sementara aku berbicara dengan ibu. Dinar telah menjadi pusat perhatian kedua simbahnya sejak baru tiba, jadi kami bisa istirahat sejenak."Kalau begitu lekaslah pulang," pinta ibu di ujung telepon.Baru juga sampai, Bu. Istirahat pun belum, sudah diminta pulang. Tiba-tiba saja rasa bersalah itu datang. Teringat kemarin saat aku bersuara keras pada ibu."Iya, Bu," jawabku singkat."Kalau lapar nggak usah masak, ke rumah Bulek saja, gampang, tinggal bayar, biar nggak repot," tambahku lagi.Ibu mengiyakan, lalu menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.Baru berpisah sebentar, tapi rinduku sudah datang. Tak bisa kusembunyikan kekhawatiran, sebab ibu seorang diri di rumah. Ke rumah bulek pun jaraknya lumayan, mesti naik motor lima belas menit baru sampai.Sekarang aku mengerti, kenapa istriku serindu ini dengan anak sulungnya.Terkadang, memang keberadaan seseorang baru terasa saat terpisah oleh jarak, seperti yang kurasakan sekarang.Lantas, masih maukah istriku kubujuk untuk tinggal bersama ibu lagi setelah ini?Ataukah kuturuti permintaannya untuk mencari kontrakan, demi baiknya hubungan menantu dan mertua?.Aku menikmati perjalanan yang tersisa.Membuang pandang ke luar jendela, lalu tersenyum melihat pemandangan di luar sana.Matahari telah bergeser ke arah barat, saat kendaraan roda empat yang kami naiki memasuki desa kelahiranku.Desa yang tak pernah kukunjungi setahun terakhir. Kelebat kenangan masa dulu, melintas satu persatu.Ibu menyambut kedatangan kami bertiga dengan sukacita. Sementara bapak masih di sawah. Silvi anakku, masih belum terlihat."Istirahatlah dulu, sebentar lagi bapak pulang. Silvi masih ngaji di TPA," ujar ibu setelah kutanya keberadaan mereka berdua.Mas Yudha segera membersihkan diri, setelah berbincang sebentar dengan ibu dan keluarga yang tinggal dekat ibu.Dinar, ia telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia menghadirkan senyum bagi banyak orang yang baru ia jumpai."Ibu ... ."Silvi menghambur memelukku, begitu melihat sosokku berdiri tegak di depan pintu, menyambut kepulangannya dari TPA.Anakku telah besar sekarang. Ada rasa haru menyeruak,
Sepeninggal bapak, kuurus keperluan Silvi, sementara Dinar dipegang ibu.Biasanya ibu ikut ke sawah juga, tapi kali ini beliau memilih tinggal, sebab kedatangan cucunya yang lain."Biar saya yang antar Silvi ke sekolah, Bu," pintaku, setelah anak sulungku siap dengan pakaian seragam dan tas sekolahnya. Ibu mengiyakan. "Berangkat sama ibu ya, Nak?" tawarku, yang segera disambut dengan anggukan.Kupastikan Dinar kenyang dan pulas tertidur, sebelum akhirnya aku melajukan motor, mengantar anakku ke sekolah. Hal yang selama ini belum pernah kulakukan, sebab terpisah jarak."Karin!"Silvi baru memasuki halaman sekolah, aku pun baru akan menstarter sepeda motor, saat kudengar namaku dipanggil.Bibirku melengkungkan senyum, begitu mengetahui siapa pemilik suara tadi. Tiwi, temanku SD, yang terlihat memakai seragam, seperti guru TK yang lain. Aku bergegas turun dari motor. Tak sopan rasanya duduk di atas motor sambil berbincang, meski dengan teman lama sekali pun."Kapan pulang?" tanyanya, s
Awalnya, kupikir Dinar akan rewel sebab beradaptasi dengan suasana baru di desa ini.Nyatanya, ia justru anteng, lebih anteng dan tidurnya lebih nyenyak. Sama sepertiku, terbawa suasana tenang di sini, membuat aku bangun dengan badan segar, sebab istirahatku tak terganggu semalaman."Dia capek di perjalanan, biar Ibu pijit, ya?" pinta ibu pagi tadi.Aku mengiyakan, sebab ibu memang biasa memijit bayi tetangga jika diminta.Ibu dengan telaten memijit seluruh badannya sebelum dimandikan pagi tadi. Setelah itu, ia tidur nyenyak hingga hampir tengah hari.Silvi sendiri terlihat asyik mengajak adiknya bercanda, meski dijawab dengan bahasa bayi, tak mengurangi tawa di wajah kecil itu. Ia bahkan mengajak beberapa teman sepermainan ke rumah, demi memamerkan adik kecilnya yang baru datang.Lewat tengah hari, datang seorang kerabat jauh, membawa sebuah undangan pernikahan."Kebetulan ada Karin di rumah. Kakakmu mau nikah, kamu bisa datang, kan, Rin?"
Ia segera berbalik arah, lantas menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, ia telah kembali dengan rambut dan wajah yang basah. Kemeja yang ia kenakan tadi, telah ia lepas, hingga menampilkan dada dan tulang rusuk yang seakan berlomba ke luar.Melihat itu, seketika teringat ucapan ibu, bahwa suamiku kian kurus setelah beristri aku. Ya, bagaimana nggak kurus, dia hampir begadang setiap malam, belum lagi kerja dari pagi hingga sore. Waktu istirahatnya hanya sedikit. Makan pun baru tengah hari, itu pun pemilih sekali. Sudah mikir keras mau masak apa, ujungnya milih jajan juga. Bingung sendiri kadang-kadang.Tangannya masih memegang handuk, lalu mengusap kepala hingga aroma harum shampoo menguar dari sana. Kuambilkan kaos untuk ia kenakan."Mas, maaf, ya," pintaku, sambil mendekat ke tempat ia berdiri. Ia telah kembali rapi dan wangi. Kuulurkan tangan yang segera disambut."Iya, dimaafin. Kenapa, sih, sensi amat, tumben. Kangen ya, habis ditinggal
Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah."Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah."Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti."Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi."Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.Kuserahka
Belum sempat kulangkahkan kaki, tangan ibu telah mencekal lenganku. "Yudha."Aku menoleh, menemukan wajah ibu yang memandang tajam ke dalam mataku."Iya, Bu, gimana?""Perempuan itu milik suami dan keluarganya kalau sudah menjadi istri, apa kamu lupa? Kenapa kamu biarkan dia di sana, sedangkan kamu di sini. Rumah tangga macam apa yang kamu jalani, Nak?"Aku terkesiap mendengar penuturan ibu. Tak mengerti, kenapa selalu mempersalahkan rumah tanggaku."Maksud Ibu apa?"Ganti aku yang menatapnya penuh tanya. Tatapan ibu tak setajam tadi. "Asal ibu tau, ya. Semua ini gara-gara ibu! Aku hanya mau anak dan istriku di sini. Tapi ibu telah membuat ia pergi dan tak mau kembali!"Aku bersuara dengan keras, meluapkan isi hati. Tak bisa kukendalikan lidah ini. Tak teringat lagi pinta Karin untuk bersuara pelan di depan wanita ini, wanita yang telah melahirkanku. Ibu tentu saja terperanjat dengan sambutanku.Kondisi fisikku memang sedang lelah,
Aku mulai menjalani hari-hari tanpa Mas Yudha.Tanpa ibu dan bapak juga, sebab sibuk sekali di sawah, meninggalkan aku seorang diri di rumah, mengurus dua orang anakku.Ya, meski Silvi sudah bisa main di luar bersama teman-teman dan sepupu yang tinggal berdekatan. Tetap saja ada ulahnya yang menyita perhatian dan waktuku, seperti pagi menjelang siang ini."Adek cantikk!"Kedua mata yang sempat terpejam, kembali terbuka lebar. Bayi kecil itu mulai menangis, sebab terkejut oleh suara kakaknya. "Astaghfirullah!"Aku pun ikut terlonjak, sebab kedatangan yang tiba-tiba, saat aku hampir ikut terlelap. Tanpa sadar, kedua mata ini melotot ke arah anak sulungku.Sepasang tangan kecil itu menggantung di udara, tepat di samping bayiku yang kini menendang-nendang udara di antara suara tangisnya. Silvi mengkerut di tempat, lalu menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia pasti ikut terkejut dengan sambutan yang ia dapat."Kakak, maaf ya, a
Melihat sosoknya, seakan menyedotku ke masa itu. Masa kelam di hidupku … .Seperti sebuah kaset yang diputar ulang, semua muncul begitu saja di dalam benak tanpa bisa dicegah lagi."Rin! Karin!"Aku yang sedang membilas cucian, segera menghampiri Mas Firman, suamiku.Ia tengah berkacak pinggang di depan meja makan saat aku sampai."Iya, saya Mas," jawabku takut-takut.Kutundukkan kepalaku, tak berani menatap ke wajahnya yang selalu datar jika berhadapan denganku."Mana sarapanku? Kenapa tak ada apa pun di atas meja ini?!" serunya lagi, membuat aku terjingkat."M-maaf, Mas. Semua persediaan di dapur sudah habis, jadi aku tak bisa memasak pagi ini," jawabku apa adanya. Badanku pun gemetar, sebab tak terisi apa pun sejak semalam.Ia hanya memberiku seratus ribu untuk belanja seminggu, dan itu sudah habis sejak dua hari lalu. Semalam aku meminta tambahan uang belanja, sebab sudah tak ada apa pun lagi di da
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern