Happy Reading*****Melacak keberadaan Radit melalui nomor ponsel yang diberikan oleh putri sulungnya, Farel menemukan tempat persembunyian lelaki bajingan itu. Bersama salah satu aparat kepolisian, Farel mendatangi tempat tinggal Radit yang berada di pinggiran kota.Satu jam perjalanan, Farel dan aparat kepolisian tiba. Rumah itu sangat sepi dan jauh dari pemukiman warga. Mencoba mengetuk pintu, sebentar saja sudah ada yang membukakan."Mau sembunyi ke mana lagi kamu, Dit? kata Farel yang melihat Radit ancang-ancang lari.""Aku nggak akan lari, Om. Lagian bukan cuma aku yang salah, Dara juga ikut andil dalam masalah aborsi itu. Putrimu bukanlah prempuan baik-baik."Belum selesai Radit menjelaskan semuanya, Farel sudah menamparnya terlebih dulu."Jangan pernah mengatakan kejelekan Dara jika ternyata kamu lebih bajingan dari dia. Jangan dikira aku nggak tahu semua kebusukanmu selama ini. Dara bukanlah korban satu-satunya. Kamu selalu berlindung di bawah ketiak ayahmu yang seorang penga
Happy Reading*****Semua orang yang ada di sana menatap Rosma dan Hirawan. "Wah, rupanya sang mempelai sudah nggak sabar pengen berduaan saja. Sampai-sampai si Mbak pengantin harus berteriak memanggil masnya," kata Pak Penghulu, "Baiklah saya akan mengakhiri tausiahnya."Semua orang bersorak ramai menyoraki kedua mempelai. Hirawan cengengesan sama sekali tidak malu, sedangkan sang istri menunduk tak berani menatap siapa pun.Acara tausiah selesai dilanjut dengan acara santai menikmati makanan yang disiapkan oleh sang empunya hajat. Iklima dan Farel dengan ramah mempersilakan tamunya menikmati hidangan yang tersaji. Perlu dicatat bahwa biaya pernikahan Hirawan ditanggung sendiri oleh lelaki itu. Farel dan Ilklima sudah menolak, tetapi sang menantu tetap bersikeras untuk menanggungnya. Di saat para tamu undangan sibuk menikmati hidangan yang tersaji. Dara mendekati kedua mempelai. "Selamat, ya, Dik. Kalian berdua cocok. Semoga langgeng sampai maut memisahkan," kata Dara lancar tan
Happy Reading*****Rosma mulai gelisah. Bukan tidak siap dengan kata malam pertama, tetapi dia tak menyangka akan secepat itu melakukannya. Membayangkan, entah mengapa mulai ada ragu. Salah satu penyebabnya tentu karena tidak ada kesiapan. Kurang dari sepuluh menit setelah persimpangan jalan yang memisahkan Hirawan dengan keluarganya. Mereka sampai di sebuah perumahan yang cukup dibilang mewah. Pada penghujung blok, Hirawan menghentikan laju kendaraannya. "Dik, kita sudah sampai. Turun, Yuk," pinta Hirawan lembut. Menganguk dan segera membuka pintu, Rosma turun setelah suaminya keluar terlebih dahulu untuk membuka gerbang. Sepertinya, rumah itu tak berpenghuni. "Adik tunggu di teras. Setelah Mas masukin mobil, baru kita masuk bersama-sama ke rumah," instruksi si lelaki yang diangguki istrinya.Rumah itu memang tak ditinggali siapa pun. Keluarga Hirawan memilih tinggal bersama neneknya. Alasan yang cukup klise, karena Rofikoh hanya memiliki papanya. Setelah memasukkan mobil ke ga
Happy Reading*****Membuka pintu pagar dengan hanya memakai kaos tipis dan celana pendek. Wajah Hirawan ditekuk tak karuan. Sungguh tidak tepat kedatangan sang kurir saat ini, begitulah pikiran Hirawan. "Lama sekali bukain, Dik," kata seorang lelaki yang mengenakan helm fullface.Menepuk kening sendiri, Hirawan menyadari kekeliruannya. "Maaf, Pakde," katanya pada lelaki yang tak lain adalah Harun. "Pakde ke sini di suruh mamamu antar makanan. Nih!" Harun menyerahkan rantang susun empat pada bungsu Riswan. "Masuk dulu, Pakde," kata Hirawan tak enak telah mengumpat dalam hati tentang lelaki di depannya. "Kenapa Mama repot-repot sampai nyuruh njenengan ngantarin ini." Mereka berjalan ke teras. "Mamamu takut kalian berdua laper, sedangkan di sini belum ada bahan dan persediaan makanan. Pakde nggak usah masuk, ya. Takut ganggu kalian," ujar Harun. Dia duduk di kursi teras walau tidak dipersilakan oleh sang empunya.Pernah menikah tentu membuat lelaki paruh baya itu paham bahwa saat me
Happy Reading*****"Maksud ibu apa?" tanya Hirawan masih bingung. Lelaki itu benar-benar tidak mengetahui maksud pertanyaan sang tetangga. "Masak aku harus jelaskan secara gamblang, Wan? Nikah terburu-buru jaman sekarang kalau nggak kecelakaan apalagi. Kalian masih sangat mudah untuk menikah. Baru juga mulai kuliah," sindirnya menyakitkan hati. Hirawan mulai jengah. Sekarang dia mulai memahami ke mana arah pembicaraan tetangganya itu. Saat menoleh pada istrinya, tampak raut sedih. Dituduh melakukan perbuatan yang tak pernah dilakukan, sangat menyakitkan sekali. "Gini, deh, Bu. Mungkin prinsip keluarga kita berbeda. Ibu lebih suka anak-anaknya berpacaran dan melakukan ha-hal yang dilarang syariat. Sangat berbeda dengan prinsip Papa sama Mama, mereka akan sangat mendukung putranya menikah walau sedang berkuliah. Karena apa? Orang tua saya lebih menjaga muruah keluarga. Nggak ingin anak-anaknya mendekati zina dengan berpacaran. Kalau ibu anggap bahwa saya sudah menghamili istri saya
Happy Reading*****Suara panggilan Riswan pada istrinya, menyelamatkan pertanyaan sang mertua yang menuntut jawaban. Rosma beranjak dan mulai mengisi piring-piring yang sudah berisi nasi dan lauk-pauk. Mengambilnya satu per satu dan menuang kuah soto yang masih mengepulkan asap. Pembacaan selawat sudah selesai dan kini saatnya para tamu undangan menikmati hidangan. Memepet sang menantu untuk mendapatkan jawaban pertanyaannya tadi, Risma kembali membisikkan pertanyaan yang sama. "Jangan pernah menjawab belum, Dik. Tanda di leher sudah membuktikan semuanya. Putra Mama ternyata ganas juga," kata Risma karena sang menantu tak kunjung menjawab. Rosma makin menunduk malu. Beberapa karyawan dan keluarga lain termasuk bundanya malah tertawa. "Sudahlah, Ris. Si adik wajahnya dah kayak kepiting rebus. Lagian kamu bisik-bisik, tapi suara masih keras," kata Iklima."Emang sengaja kali, Mbak," jawab Risma enteng. Rasa bahagia itu membuncah. Setidaknya, Risma tak perlu khawatir bahwa menantun
Happy Reading*****Setelah drama perdebatan di awal pernikahan yang baru berumur satu hari. Rosma memutuskan untuk libur kuliah satu hari ini, demikian juga dengan Hirawan. Keduanya memutuskan untuk tetap berada di rumah, mengembalikan tenaga dan pikiran mereka."Sekarang mana jadwalnya, Mas? Kita cocokkan, jadi biar nggak ada salah paham dan perdebatan lagi. Adik nggak mau nanti saling menyalahkan karena jadwal berbenturan," kata Rosma. Pagi ini memang mereka sudah berdebat tentang jadwal harian dan juga kuliah.Sejak baru bangun dan mengetahui bahwa Rosma terlambat. Dia uring-uringan dan menyalahkan Hirawan karena semalaman tak membiarkannya istirahat dengan tenang. Alhasil bangun kesiangan dan terlambat kuliah. "Nih." Hirawan menyodorkan kertas yang sudah berisi jadwal kuliah dan kerja. "Sudah, kan? Karena hari ini kita masih bebas, jadi mari bersenang-senang." Dia sudah meletakkan kepalanya di atas bahu sang istri sambil menciumi leher jenjang nan mulus. "Mas, ih. Nggak bosen a
Happy Reading*****Hirawan dan Rosma saling pandang tak mengerti. Kedua bola mata si lelaki menuntut jawaban pada mamanya. "Salim dulu, Dik. Nanti Mama jelaskan, deh. Sini!" pinta Risma sambil melambaikan tangan kanannya. Dia juga menepuk sisi sebelah kiri yang kosong tempat duduknya sekarang. Hirawan dan istrinya menyalami semua tamu dan keluarga yang ada di sana sesuai perintah mamanya. Lalu, Rosma duduk di dekat Risma, sedangkan Hirawan duduk di antara Fattah dan Riswan. "Jadi, ada apa sebenarnya? Mengapa aku menjadi tersangka?" tanya Hirawan menatap kedua orang tua senja. Intan tersenyum. "Karena kamu nikah muda, Senja sama Fattah juga ikut-ikutan pengen nikah juga," jelasnya. "Bagus, dong, Tan. Nggak nambah dosa zina karena kepikiran gadis yang kita cintai, terus kalau ketemu nggak bisa curi-curi kesempatan. Mas Fattah itu meskipun masih kuliah, tapi sudah mapan secara ekonomi. Jiwa raga juga sudah siap untuk menikah. Kenapa mesti ditunda-tunda?" Hirawan mulai berani menyua
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw