Bagian 35
"Ya!""Apa yang kamu rasakan setelah bertemu dengan dirinya?"
"Marah, dan juga sedih. Dia banyak berbohong kepadaku." Shinta merebahkan kepalanya di pangkuan Fatma. Pangkuan renta nan rapuh, namun terasa nyaman dan nampu menguatkan hati Shinta. Bangku panjang itu kini berubah menjadi saksi dimana Shinta menumpahkan kesedihannya.
"Seorang yang marah, kecewa dan merasa dikhianati, adalah hal yang membuat jiwa kita semakin dewasa. Semua itu adalah proses pendewasaan yang membuat kita bisa semakin bijak dalam menentukan keputusan yang tepat. Meninggalkan segala sesuatu yang baik, dan tetap berdamai dengan kebaikan."
"Apa di hatimu tidak ada niat untuk kembali kepadanya?""Tidak!"
"Kenapa?"
"Karena sebuah janji yang pernah aku ucapkan kepada seseorang. Aku pernah mengatakan, akan hidup demi masa depan. Aku tidak akan memikirkan pria itu lagi, sehingga menjadi beban yang tidak berkesu
Bagian 36 Aby dan Anin bermain dengan lincah di halaman. Mirna berlari kesana-kemari mengikuti langkah kecil Anin, sedangkan Aby yang masih merangkak, mengikuti kemanapun Anin melangkahkan kaki kecilnya. "Hati-hati Anin, jangan diinjak jari adeknya!" teriak Mirna memperingati, walaupun tahu jika anak kecil itu tidak akan mengerti. Mirna dengan setia mengambilkan bola yang menggelinding untuk Aby. Dan sesekali mengejar Anin yang hampir terjatuh. Ina datang setelah pulang dari les menjahit. "Halo twins, apa kabar kalian hemmh?" Baru datang langsung melemparkan tasnya ke bangku dan ikut bergabung dengan si kembar. Duduk di rerumputan yang hijau. Ina merebahkan tubuhnya di sana, disusul oleh Aby dengan begitu antusias. "Ma ma ma." suara imut itu membuat Ina terkekeh. "Tahu saja kamu, kalau gadis cantik ini merindukan dirimu. Gantengnya adik kakak." Ina mencium pipi gembul Aby. Anin yang tadinya ingin berjalan lagi, akhirnya putar
Bagian 37"CK. Dia tidak akan membicarakan ketampanan ku yang paripurna ini kepada orang lain. Secara kan dia ingin memiliki diriku hanya seorang saja." yah pedenya si Ari."Berani sekali kau berkata begitu!"DegShinta yang baru saja pulang dari tempat kerja, dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang terhubung ke bagian halaman samping rumah Fatma, tanpa mereka sadari telah mencuri dengar perdebatan Ina dan Ari."Kenapa tidak berani, memang itu kenyataannya, bukan?" Ari tersenyum miring, seakan mengatakan bahwa Shinta memang selalu terjebak oleh pesonanya. Terlihat jelas dari cara Shinta yang tidak lagi bisa mengeluarkan kata-kata."Sombong sekali." Shinta mencebik. Tangannya terulur untuk mengambil Anin dari Ari. Bukannya senang, tapi anak itu seketika mengeratkan tangannya yang bergelantungan di leher Ari. Respon yang ditunjukkan oleh Anin, membuat Mirna melebarkan bibirnya. Dugaannya semakin kuat, jika Anin dan A
Bagian 38Shinta sungguh dibuat jengkel oleh Ari seharian ini. Bagaimana tidak, kemanapun Shinta pergi, pria yang mengaku sebagai suami Shinta tanpa diminta, selalu membuntutinya."Siapa ini Mbak? Ganteng banget, Pacarnya ya?" tanya Mak Mak yang baru saja dilewati oleh Shinta. Ari langsung merangkul pundak Shinta."Bukan! Saya suaminya Shin shin?" Ari segera bersuara sebelum Shinta mematahkan rasa percaya dirinya. Ari terkekeh bahagia, bola matanya seakan berkata, bahwa dia menang sekarang. "Bukankah begitu sayang?" Mengelus pundak Shinta dengan lembut."Pantesan, wajahnya begitu mirip dengan si kembar," kata Mak satunya."Iya, tampan seperti Aby, dan Anin versi perempuan." Mak yang sebelahnya."Shinta, kenapa punya suami setampan ini malah diumpetin? Kemana saja dia? Ih tampan lho." Salah satu Mak paling tua terkekeh sambil mencubit pipi Ari tanpa permisi. Shinta dibuat geli karenanya, terle
Bagian 39"Aby, Anin selalu saja bersama pria menyebalkan itu. Dan semua orang selalu memuji dan menyebut-nyebut namanya seakan dialah pria paling agung, paling baik, paling keren dan paling maco di dunia ini. Bahkan Udin, seakan dia lupa siapa diriku. Dia memilih membetulkan mobilnya Ar daripada ikut denganku." Shinta menggerutu sambil terus berjalan menyusuri pematang sawah."Akan aku tunjukkan padanya, bahwa aku juga tidak kalah hebat dengan dirinya." Shinta ingat saat kedua anaknya dan seisi rumah lebih nyaman bicara dan bergurau dengan Ari.Hari ini dia harus melihat kebun melon yang sebentar lagi siap panen. Tempatnya berada di persawahan yang tempatnya sedikit lebih tinggi daripada persawahan lainnya.Sebelumnya penduduk sekitar tidak berani menanam buah melon ini dalam jumlah yang banyak, selain minimnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana cara budidaya melon ini, juga terkendala oleh modal. Selain itu, petani juga dirugikan
Bagian 40"Udin, kenapa hatiku rasanya tidak tenang. Aby dan Anin juga sedari tadi selalu rewel. Mungkinkah terjadi sesuatu kepada Shinta?" Ari mondar-mandir seperti orang gila. Sesekali duduk dan menyeruput kopi miliknya, bangkit lagi guna melihat kedua anaknya yang baru saja terlelap sebab lelah menangis. Lalu bangkit lagi memeriksa jalanan kemana arah Shinta pergi. Kadang dia juga berdiri lama disana, berharap wanita yang dikhawatirkan saat ini datang. Hatinya diliputi rasa was-was dan cemas yang dia sendiri tidak tahu apa sebabnya, yang pasti hanya ada nama Shinshin di pikiran."Duduklah, Tata memang seperti itu. Dia sering datang terlambat. Palingan juga mampir ke warungnya mbok Mirah, minta segelas kopi." Udin tetap santai sambil membaca sebuah buku panduan menanam berbagai macam sayuran. "Lagian anaknya juga sudah tidur. Jadi santai sajalah."Ari yang bingung dan merasa cemas pun teringat akan motor cross yang berada di garasi. "Udin, bolehkah aku p
Bagian 41"Kejar dia, Stupid! Kenapa kau biarkan dia terlepas?" Marlina geram sendiri akan kebodohan anak buahnya."Maaf Nona, dia menginjak kaki saya tadi." Bukannya mengejar Shinta yang semakin menjauh, malah menunjukkan bekas kakinya yang diinjak oleh Shinta."Ngapain berhenti? Kejar dia!" Dengan jengkel memukul kepala kedua anak buahnya bergantian. "Apa salahku ya Tuhan, mengapa punya anak buah yang bodohnya melebihi orang idiot," kesal Marlina memijat pelipisnya, dia juga melihat betapa kencangnya Shinta berlari. Bahkan kedua anak buahnya nampak jauh dibelakang Shinta. Alamat bakal kehilangan target lagi, hukuman nikmat yang memuakkan terlintas jelas di kepala Marlina. Keinginan terlepas dari atasan mesum sepertinya akan lebih sulit, jika kali ini dia gagal."Dapatkan dia! Jangan sampai gagal," teriak Marlina ikut mengejar."Hai, berhenti kau!" tidak di gubris ucapan kedua manusia yang masih semangat mengejarnya, dengan serib
Bagian 42"Cari wanita itu sampai ketemu, atau Bos akan murka dan kalian tanggung sendiri akibatnya," gertak Marlina dengan jengkel. Pikiran dan tenaga terasa terkuras habis hanya untuk menangkap satu orang."Maafkan kami Bos! Tapi menurutku, wanita itu bisa jadi masih berada di tempat yang tadi. Sebab satu-satunya jalan yang kita lalui hanya searah," kata salah satu anak buahnya."Iya Bos, kita juga tidak menemukan tanda-tanda dimana wanita itu berada sampai sejauh ini. Padahal kita sudah berpencar." Yang satunya menimpali."Bukankah Kalian bilang tidak ada siapapun di sana?" Geram Marlina. Andai dia punya kekuatan super, sudah pasti anak buahnya tidak bisa berdiri lagi."Maaf, Bos! Itu karena kami ingin menjalankan taktik kami yang sebenarnya. Kami pura-pura pergi agar wanita keluar dari persembunyiannya. Tidak mungkinkan Bos, wanita itu hilang begitu saja.""Iya Bos, pasti bersembunyi di tempat tertentu yang kemungkinan
Bagian 43"Kenapa kau mengurungku di tempat ini? Apa maumu? Apa tujuanmu sebenarnya?""Kau pikir?" ucap Marlina dengan begitu santai, berjalan pelan mendekati Shinta, sambil menghisap rokok dengan cara yang elegan, lalu menyembulkan asapnya tepat di wajah Shinta. "Aku sendiri tidak tahu apa tujuanku." Menyesap sekali lagi tapi kali ini lebih lama dari sebelumnya. "Aku hanya ingin hidup lebih layak juga tercukupi." Asap mengepul kembali, Shinta berulang kali terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangannya seolah-olah mengusir asap yang menurutnya beracun."Kita tidak punya masalah sebelumya bukan? Tapi kenapa kau menangkap diriku. Apa salahku?" tanya Shinta sedikit lebih tinggi dari ucapan sebelumnya. "Terima kasih karena kau sudah menolongku malam itu, tapi aku juga tidak menyukai perlakuan burukmu padaku. Kuharap itu sudah cukup untuk membuatmu puas, tapi nyatanya kini kau membawaku kemari, tempat yang sama sekali asing bagiku. Apa tujuanmu sebenarnya?"
Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle
"Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi
Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa
Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy
Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka
Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal