Bagian 39
"Aby, Anin selalu saja bersama pria menyebalkan itu. Dan semua orang selalu memuji dan menyebut-nyebut namanya seakan dialah pria paling agung, paling baik, paling keren dan paling maco di dunia ini. Bahkan Udin, seakan dia lupa siapa diriku. Dia memilih membetulkan mobilnya Ar daripada ikut denganku." Shinta menggerutu sambil terus berjalan menyusuri pematang sawah.
"Akan aku tunjukkan padanya, bahwa aku juga tidak kalah hebat dengan dirinya." Shinta ingat saat kedua anaknya dan seisi rumah lebih nyaman bicara dan bergurau dengan Ari.
Hari ini dia harus melihat kebun melon yang sebentar lagi siap panen. Tempatnya berada di persawahan yang tempatnya sedikit lebih tinggi daripada persawahan lainnya.
Sebelumnya penduduk sekitar tidak berani menanam buah melon ini dalam jumlah yang banyak, selain minimnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana cara budidaya melon ini, juga terkendala oleh modal. Selain itu, petani juga dirugikan
Bagian 40"Udin, kenapa hatiku rasanya tidak tenang. Aby dan Anin juga sedari tadi selalu rewel. Mungkinkah terjadi sesuatu kepada Shinta?" Ari mondar-mandir seperti orang gila. Sesekali duduk dan menyeruput kopi miliknya, bangkit lagi guna melihat kedua anaknya yang baru saja terlelap sebab lelah menangis. Lalu bangkit lagi memeriksa jalanan kemana arah Shinta pergi. Kadang dia juga berdiri lama disana, berharap wanita yang dikhawatirkan saat ini datang. Hatinya diliputi rasa was-was dan cemas yang dia sendiri tidak tahu apa sebabnya, yang pasti hanya ada nama Shinshin di pikiran."Duduklah, Tata memang seperti itu. Dia sering datang terlambat. Palingan juga mampir ke warungnya mbok Mirah, minta segelas kopi." Udin tetap santai sambil membaca sebuah buku panduan menanam berbagai macam sayuran. "Lagian anaknya juga sudah tidur. Jadi santai sajalah."Ari yang bingung dan merasa cemas pun teringat akan motor cross yang berada di garasi. "Udin, bolehkah aku p
Bagian 41"Kejar dia, Stupid! Kenapa kau biarkan dia terlepas?" Marlina geram sendiri akan kebodohan anak buahnya."Maaf Nona, dia menginjak kaki saya tadi." Bukannya mengejar Shinta yang semakin menjauh, malah menunjukkan bekas kakinya yang diinjak oleh Shinta."Ngapain berhenti? Kejar dia!" Dengan jengkel memukul kepala kedua anak buahnya bergantian. "Apa salahku ya Tuhan, mengapa punya anak buah yang bodohnya melebihi orang idiot," kesal Marlina memijat pelipisnya, dia juga melihat betapa kencangnya Shinta berlari. Bahkan kedua anak buahnya nampak jauh dibelakang Shinta. Alamat bakal kehilangan target lagi, hukuman nikmat yang memuakkan terlintas jelas di kepala Marlina. Keinginan terlepas dari atasan mesum sepertinya akan lebih sulit, jika kali ini dia gagal."Dapatkan dia! Jangan sampai gagal," teriak Marlina ikut mengejar."Hai, berhenti kau!" tidak di gubris ucapan kedua manusia yang masih semangat mengejarnya, dengan serib
Bagian 42"Cari wanita itu sampai ketemu, atau Bos akan murka dan kalian tanggung sendiri akibatnya," gertak Marlina dengan jengkel. Pikiran dan tenaga terasa terkuras habis hanya untuk menangkap satu orang."Maafkan kami Bos! Tapi menurutku, wanita itu bisa jadi masih berada di tempat yang tadi. Sebab satu-satunya jalan yang kita lalui hanya searah," kata salah satu anak buahnya."Iya Bos, kita juga tidak menemukan tanda-tanda dimana wanita itu berada sampai sejauh ini. Padahal kita sudah berpencar." Yang satunya menimpali."Bukankah Kalian bilang tidak ada siapapun di sana?" Geram Marlina. Andai dia punya kekuatan super, sudah pasti anak buahnya tidak bisa berdiri lagi."Maaf, Bos! Itu karena kami ingin menjalankan taktik kami yang sebenarnya. Kami pura-pura pergi agar wanita keluar dari persembunyiannya. Tidak mungkinkan Bos, wanita itu hilang begitu saja.""Iya Bos, pasti bersembunyi di tempat tertentu yang kemungkinan
Bagian 43"Kenapa kau mengurungku di tempat ini? Apa maumu? Apa tujuanmu sebenarnya?""Kau pikir?" ucap Marlina dengan begitu santai, berjalan pelan mendekati Shinta, sambil menghisap rokok dengan cara yang elegan, lalu menyembulkan asapnya tepat di wajah Shinta. "Aku sendiri tidak tahu apa tujuanku." Menyesap sekali lagi tapi kali ini lebih lama dari sebelumnya. "Aku hanya ingin hidup lebih layak juga tercukupi." Asap mengepul kembali, Shinta berulang kali terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangannya seolah-olah mengusir asap yang menurutnya beracun."Kita tidak punya masalah sebelumya bukan? Tapi kenapa kau menangkap diriku. Apa salahku?" tanya Shinta sedikit lebih tinggi dari ucapan sebelumnya. "Terima kasih karena kau sudah menolongku malam itu, tapi aku juga tidak menyukai perlakuan burukmu padaku. Kuharap itu sudah cukup untuk membuatmu puas, tapi nyatanya kini kau membawaku kemari, tempat yang sama sekali asing bagiku. Apa tujuanmu sebenarnya?"
Bagian 44"Apakah Anda baik-baik saja, Tuan, Bos?" Joe nampak khawatir dengan keadaan Ar yang hampir saja terjungkal."Kalau mau cari mati bilang Joe!" Sewot Ari."Maaf Tuan! Tadi ada kucing lewat." jawab Joe sambil cengengesan. "Kucing buta rambu lalu lintas lintas kayaknya Bos!" Bukan itu sebenarnya yang Joe lihat, tapi lebih kepada sebuah mobil yang baru saja melesat melewati mobil yang dia kendarai. Joe masih mencoba mengenali mobil siapakah itu? Sangat familiar. Sayangnya dia harus berhenti sejenak guna menghindari seekor kucing yang menyebrang tanpa mematuhi peraturan lalu lintas."Kau yang buta apa kucingnya?" Ari masih tidak terima. Kini dia malah membuka pintu mobil dan menyuruh Joe keluar. "Keluar!""Tuan, maafkan saya Tuan!" Takut jika Ari akan memukul atau lebih tepatnya menghajar dirinya. Bukannya tidak mampu melawan, hanya kurang etis saja, gara-gara seekor kucing lewat, dia jadi ketiban apes. Jika benar, dia a
Bagian 45Marlina kini telah sampai pada sebuah rumah sakit, tujuannya adalah ruang perawatan bayi. Dadanya sering kali bergemuruh saat mendekati ruangan ini. Berbagai rencana baik ataupun buruk telah dia susun sedemikian rupa agar bisa memuaskan hatinya, meskipun apa yang dia perjuangkan sebenarnya telah pergi. Marlina hanya hidup bersama luka yang membuat hatinya menjadi jahat. Beberapa kejadian, mengubah seorang Marlina yang baik hati. Dengan perlahan dia berusaha untuk tidak menangis, kenangan kenangan masa lalu, terlintas dalam ingatan, menyisakan titipan yang terus membangkitkan luka.Seorang dokter diikuti oleh suster baru saja keluar dari sana."Nona Marlina! Apa kabar?" Marlina tersentak sejenak, menyembunyikan air mata yang hampir saja menetes."Kabar baik, Dok, bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?""Sejauh ini kondisinya semakin membaik. Dia juga sudah membuka mata dan mulai bisa menggerakkan tangan. Sungguh s
Bagian 46Langkah kaki Marlina terhenti saat melihat sosok pria yang begitu dikenalnya. Dia mendekat dengan hati-hati. Dari lawan arah Arya bersama Amara tengah mengambil nomer antrian. Rupanya hari ini mereka hendak melakukan cek kandungan seperti biasa. Lumayan ramai juga, kursi tunggu hampir penuh."Apa yang dia lakukan disini?" Pikir Marlina. Menyisipkan tubuhnya dibalik tembok. "Dasar playboy! Wanita yang satunya dalam bahaya, tapi dia enak-enak berduaan dengan wanita lain. Buaya memang tidak pernah kekurangan mangsa. Jika dia disini bersama orang lain, lalu untuk apa aku repot-repot mengurung Shinta. Sama saja tidak ada untungnya bagiku. Lalu bagaimana dengan balas dendamku? Haruskah aku akhiri? Tidak! Aku harus menyelesaikan tujuanku."Marlina hendak maju untuk melabrak sepasang suami-istri yang tengah bahagia. Tapi langkahnya terhenti. "Tidak! Jika aku kesana, sudah pasti akan terjadi keributan dan menjadi tontonan banyak orang. Lagian ini di
Bagian 47"Temukan Shinta! Bagaimanapun caranya, temukan dia." Ari mengamuk bagaikan singa kelaparan. Beberapa perabot rumah yang tersisa hancur berantakan. Belum puas meluapkan kemarahannya, Ari melempar kepingan material itu ke dinding. Alhasil banyak bagian dinding yang retak karenanya.Satu jam telah berlalu, Shinta belum juga ditemukan. "Dimana kecerdasan yang selama ini kau bangga-banggakan itu Joe." Kini ganti menarik kerah Joe, sebelumnya Ari memukul dan menampar semua orang yang ada di sana. "Bahkan sekarang aku hanya memiliki orang-orang bodoh dan bisu." Hancur sudah harga diri Joe. Tapi itu tak sebanding dengan rasa kecewa dan sakit oleh luka cinta yang dirasakan Ari. Pria itu merosotkan tubuhnya kelantai."Apa yang akan aku katakan kepada mereka? Aku tidak bisa menjaga ibu mereka. Setelah ini, mereka pasti akan membenciku." Joe yakin, jika yang dimaksud Ari adalah Si Kembar.Waktu terasa berhenti saat kita merasa tak berarti.