Bagian 25
Shinta kini termenung di depan meja riasnya, dia menyisir pelan rambutnya yang masih sedikit berantakan, sebab dia terburu-buru pulang dari hotel. Shinta juga membubuhkan make up untuk menutupi bekas cupangan yang membekas di lehernya. Shinta mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga diri. Terlebih lagi, dia belum yakin sepenuhnya, jika yang tidur bersama dirinya semalam adalah mantan kekasihnya, ayah dari anak-anaknya.
Dia masih teringat akan kata-kata Azam. Benar memang apa kata Azam. Kesalahan tidak hanya dengan meminta maaf. Lalu Shinta pun teringat kembali peristiwa tadi malam. Peristiwa yang sama yang pernah dialami setahun yang lalu. Kalaupun orangnya nanti sama, apakah dia harus memaafkan orang tersebut. Ataukah justru orang itu tidak akan meminta maaf. Atau benarkah yang melakukan hubungan
Bagian 26"Apa maksud kalian?" ucap Ari yang sudah terlanjur masuk ke dalam apartemen Arya. Ari ingin memastikan apa yang dia dengarkan."Kau tidak sopan sekali, masuk tanpa permisi," geram Arya."Salah sendiri password masih sama," sangkal Ari."Amara, jelaskan kepadaku apa yang kau katakan tadi, apakah benar Shinta telah pergi dengan keadaan hamil?" Amara terdiam. Dia melirik selembar kertas yang tergeletak di meja. Ari yang mengikuti gerakan mata Amara juga melihat kertas itu. Dengan cekatan Ari mengambilnya."Kenapa kalian tidak mengatakan hal ini kepadaku?""Kami juga baru menemukannya," kilah Amara bahkan dia nampak shock dengan kenyataan yang baru saja dia ketahui.Apakah kau melakukan itu dengan suka sama suka, atau kau memang memperdaya Shinta?" Pertanyaan menohok yang membuat Ari bungkam. Sejujurnya, Ari setengah memaksa Shinta dan memperdaya kep
Bagian 27Setelah mengantarkan Aisyah dan Azam pulang ke rumah terlebih dahulu, Shinta dan Udin kini melanjutkan perjalanan menuju pabrik."Barang sudah dikirimkan, tapi kenapa kita masih diminta untuk datang? Apakah ada kesalahan? Ataukah barang kita tidak sesuai dengan permintaan mereka?" tanya Shinta yang sambil memeriksa laporan yang dikirim oleh anak buahnya di desa. Semua data sudah menunjukkan jika sudah sesuai dengan permintaan."Kurang tahu, Ta!" jujur Udin. "Kita kesana saja dulu, dan positif thinking saja! Semoga tidak ada suatu hal yang buruk" ucap Udin berusaha tenang. Sebenarnya Udin juga tidak tahu banget tentang bagaimana berbisnis. Dia hanya tahu cara jual beli dan memasarkan barang dagangannya. Tapi sejak adanya Shinta, Udin mulai menyetujui tawaran Shinta untuk menjadi partner bisnis sekaligus supir pribadi Shinta. Dan menjual belikan barang dalam jumlah yang lebih besar."Kau nampak tegang sekali Ta." Shinta membenarkan di dalam
Episode 28Shinta masih betah di dalam mobil, melihat kondisi bagian luar pabrik yang lumayan lengang. "Udin, kira-kira apa yang akan dibahas nanti?" Sumpah, sebetulnya bukan itu yang mengganjal di hati Shinta. Dia merasa belum siap jika harus dipertemukan dengan kekasihnya kembali. Kalau bertemu, apa yang harus dia lakukan? Itulah yang membuatnya dilema saat ini."Tata, aku yakin semua baik-baik saja. Aku malah berharap pak Adi puas dengan kualitas barang yang kita kirimkan, sehingga pabrik menambah permintaannya." Berbeda sekali dengan Shinta, Udin kali ini begitu antusias. Pikirannya dikuasai oleh energi positif."Udin, apa kau yakin?""Tentu!"Udin turun dari mobil dengan semangat, sedangkan Shinta sebenarnya begitu gundah gulana. Entah kenapa bayangan pria yang tidur dengannya di kamar hotel selalu terlintas dipikirannya. Dan sentuhan-sentuhan itu, dia begitu mengenalnya, tapi mengapa Ar, meninggalkan dirinya send
Episode 29"Kenapa katamu?" lirih Shinta hampir tidak terdengar.Kau anggap aku ini apa Ar, kau memilih berkhianat dan membiarkan aku pergi tanpa ingin menghentikan langkahku waktu itu. Kau juga tak bicara apapun kepadaku saat kita bertemu di kafe. Dan setelah tadi malam, kau meninggalkanku di kamar hotel. Aku seperti jalang yang hanya dinikmati satu malam, lalu ditinggal pergi. Namun semua itu hanya mampu Shinta ucapkan di dalam hati."Kau sudah tahu jawabannya!" ketus Shinta yang kemudian pergi tanpa permisi. Sedangkan Ari masih diam mematung, mencoba mencerna kata-kata Shinta."Hai, Shinta, kau banyak melamun sekarang ya?"Udin mengelus rambut Shinta dengan lembut."Kau tanya apa tadi?""Aku lihat kau dan Tuan Ari keluar dari toilet. Dan kalian seperti berbicara serius. Apakah ada masalah antara kau dan dirinya? Apa dia berbuat sesuatu terhadapmu, sepertinya kau nampak tidak suka bertemu dengan dir
Episode 30.Ari berjalan pelan memasuki rumahnya, dia melewati ruang tamu begitu saja, sebab kondisinya memanglah sepi. Seorang pelayan nampak tergopoh-gopoh melewatinya begitu saja. "Bik, kenapa lari-lari," suara Ari menegur seorang pelayan yang sudah tua. Dia adalah Bik Irah, pelayan senior yang sudah mengabdi kepada keluarga Wijaya sebelum Ari dilahirkan."Anu Den, ini mau suruh orang untuk buat susu lagi buat si kecil, takutnya nanti kalau menangis!""Si kecil siapa Bik? Bukankah Amara belum melahirkan?" tanya Ari. Setahunya, saudara dekat mereka juga tidak ada yang memiliki anak kecil."Den Anton tadi pulang dari taman jalan-jalan dengan Nyonya, eh tak tahunya ketika sudah sampai di rumah, ada bayi perempuan di dalam mobilnya Den."Ari, mengernyit heran. "Bayi!" Bik Irah mengangguk mengiyakan."Bagaimana bisa?""Kurang tahu, Den! Yang pasti anak itu cantik banget, wajahnya mirip sama Den Ari da
Episode 31Sore itu, di sebuah taman kota, Aisyah dan Azam juga Mirna pergi ke taman untuk mencari udara segar. Menjelang sore seperti itu, keadaan taman cukup ramai. Banyak juga pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di pinggir jalan taman.Beberapa keluarga juga menggelar tikar untuk mereka bersantai melepas penat juga aktivitas yang membuat urat saraf mereka tegang. Aby dan Anin bermain dengan riangnya. Anin yang sudah bisa berjalan terlebih dahulu, tidak mau diam di tempat, ingin selalu kabur."Azam, aku pergi ke sana sebentar ya, tolong kamu jaga Anin," ucap Aisyah sambil membawa Aby. Azam yang sedang asyik bermain game itupun hanya mengangguk. Sebab setahunya masih ada Mirna di dekatnya."Den Azam, aku ingin ke toilet sebentar Den, perutku sepertinya mules ini.""Iya, jangan lama-lama bik!" Azam memegang gadjet tapi juga memegang Anin. Namun sepertinya dia lebih sayang dengan gadjetnya daripada Ani
Bagian 32"Udin, itu suara Anin," teriak Shinta dengan secara dia membuka pintu mobil tanpa menutupnya kembali. Dengan berlari Shinta segera memasuki rumah besar itu tanpa salam ataupun permisi. Udin yang berada di belakangnya, jauh tertinggal."Tata, tunggu Ta," teriak Udin mengikuti langkah kaki Shinta yang begitu cepat. Udin khawatir akan respon sang pemilik rumah nantinya. Shinta bahkan tidak mengucap kata salam ataupun permisi.Flashback"Siapa Udin?" Aisyah nampak curiga, sebab Udin tidak juga mengangkat ponselnya."Ini, ada apa malam-malam begini Joe menelpon," Udin memperlihatkan layar ponselnya kepada Aisyah."Joe!" Cengo Shinta."Angkat saja Udin, siapa tahu itu penting," ucap Aisyah. Udin mengalihkan pandangannya, meminta persetujuan Shinta, yang dibalas dengan anggukan lemah."Hallo, selamat malam Tuan!""Selamat malam Tuan Joe, emmh maaf sebelumnya, kenapa Anda mengh
Bagian 33Ari keluar dari ruang kerja Anton. Tujuan utamanya adalah memperbaiki hubungannya dengan Shinta. Cukup sudah akan segala penderitaan yang ditanggung oleh gadis itu sendirian. Sebenarnya, bukan maksud hati untuk melukai gadis itu, rasa cintanya yang begitu besar, membuatnya harus memilih jalan berliku. Rela berkorban perasaan demi pemilik jiwa yang begitu dia cintai.Ari membuka perlahan pintu kamar tamu yang menjadi tempat Shinta menidurkan anaknya."Shin Shin, bolehkah aku masuk?" Ingin rasanya Ari menubruk gadis ini dan membawanya kedalam pelukan. Namun sepertinya dia harus urungkan niat itu, tatapan Shinta selalu tidak bersahabat, membuat Ari mengurung niatnya di dalam hati."Aku tidak punya wewenang untuk melarang bukan?" Shinta tentu tahu pasti sifat Ari, pemaksa yang handal. Bahkan Ari dulu sering membuat Shinta melakukan yang bertentangan dengan hati, tentu saja kerena menuruti kemauan Ari. Sayangnya, sampai sekarang Shinta be
Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle
"Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi
Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa
Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy
Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka
Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal