Episode 29
"Kenapa katamu?" lirih Shinta hampir tidak terdengar.
Kau anggap aku ini apa Ar, kau memilih berkhianat dan membiarkan aku pergi tanpa ingin menghentikan langkahku waktu itu. Kau juga tak bicara apapun kepadaku saat kita bertemu di kafe. Dan setelah tadi malam, kau meninggalkanku di kamar hotel. Aku seperti jalang yang hanya dinikmati satu malam, lalu ditinggal pergi. Namun semua itu hanya mampu Shinta ucapkan di dalam hati.
"Kau sudah tahu jawabannya!" ketus Shinta yang kemudian pergi tanpa permisi. Sedangkan Ari masih diam mematung, mencoba mencerna kata-kata Shinta.
"Hai, Shinta, kau banyak melamun sekarang ya?"
Udin mengelus rambut Shinta dengan lembut."Kau tanya apa tadi?"
"Aku lihat kau dan Tuan Ari keluar dari toilet. Dan kalian seperti berbicara serius. Apakah ada masalah antara kau dan dirinya? Apa dia berbuat sesuatu terhadapmu, sepertinya kau nampak tidak suka bertemu dengan dir
Episode 30.Ari berjalan pelan memasuki rumahnya, dia melewati ruang tamu begitu saja, sebab kondisinya memanglah sepi. Seorang pelayan nampak tergopoh-gopoh melewatinya begitu saja. "Bik, kenapa lari-lari," suara Ari menegur seorang pelayan yang sudah tua. Dia adalah Bik Irah, pelayan senior yang sudah mengabdi kepada keluarga Wijaya sebelum Ari dilahirkan."Anu Den, ini mau suruh orang untuk buat susu lagi buat si kecil, takutnya nanti kalau menangis!""Si kecil siapa Bik? Bukankah Amara belum melahirkan?" tanya Ari. Setahunya, saudara dekat mereka juga tidak ada yang memiliki anak kecil."Den Anton tadi pulang dari taman jalan-jalan dengan Nyonya, eh tak tahunya ketika sudah sampai di rumah, ada bayi perempuan di dalam mobilnya Den."Ari, mengernyit heran. "Bayi!" Bik Irah mengangguk mengiyakan."Bagaimana bisa?""Kurang tahu, Den! Yang pasti anak itu cantik banget, wajahnya mirip sama Den Ari da
Episode 31Sore itu, di sebuah taman kota, Aisyah dan Azam juga Mirna pergi ke taman untuk mencari udara segar. Menjelang sore seperti itu, keadaan taman cukup ramai. Banyak juga pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di pinggir jalan taman.Beberapa keluarga juga menggelar tikar untuk mereka bersantai melepas penat juga aktivitas yang membuat urat saraf mereka tegang. Aby dan Anin bermain dengan riangnya. Anin yang sudah bisa berjalan terlebih dahulu, tidak mau diam di tempat, ingin selalu kabur."Azam, aku pergi ke sana sebentar ya, tolong kamu jaga Anin," ucap Aisyah sambil membawa Aby. Azam yang sedang asyik bermain game itupun hanya mengangguk. Sebab setahunya masih ada Mirna di dekatnya."Den Azam, aku ingin ke toilet sebentar Den, perutku sepertinya mules ini.""Iya, jangan lama-lama bik!" Azam memegang gadjet tapi juga memegang Anin. Namun sepertinya dia lebih sayang dengan gadjetnya daripada Ani
Bagian 32"Udin, itu suara Anin," teriak Shinta dengan secara dia membuka pintu mobil tanpa menutupnya kembali. Dengan berlari Shinta segera memasuki rumah besar itu tanpa salam ataupun permisi. Udin yang berada di belakangnya, jauh tertinggal."Tata, tunggu Ta," teriak Udin mengikuti langkah kaki Shinta yang begitu cepat. Udin khawatir akan respon sang pemilik rumah nantinya. Shinta bahkan tidak mengucap kata salam ataupun permisi.Flashback"Siapa Udin?" Aisyah nampak curiga, sebab Udin tidak juga mengangkat ponselnya."Ini, ada apa malam-malam begini Joe menelpon," Udin memperlihatkan layar ponselnya kepada Aisyah."Joe!" Cengo Shinta."Angkat saja Udin, siapa tahu itu penting," ucap Aisyah. Udin mengalihkan pandangannya, meminta persetujuan Shinta, yang dibalas dengan anggukan lemah."Hallo, selamat malam Tuan!""Selamat malam Tuan Joe, emmh maaf sebelumnya, kenapa Anda mengh
Bagian 33Ari keluar dari ruang kerja Anton. Tujuan utamanya adalah memperbaiki hubungannya dengan Shinta. Cukup sudah akan segala penderitaan yang ditanggung oleh gadis itu sendirian. Sebenarnya, bukan maksud hati untuk melukai gadis itu, rasa cintanya yang begitu besar, membuatnya harus memilih jalan berliku. Rela berkorban perasaan demi pemilik jiwa yang begitu dia cintai.Ari membuka perlahan pintu kamar tamu yang menjadi tempat Shinta menidurkan anaknya."Shin Shin, bolehkah aku masuk?" Ingin rasanya Ari menubruk gadis ini dan membawanya kedalam pelukan. Namun sepertinya dia harus urungkan niat itu, tatapan Shinta selalu tidak bersahabat, membuat Ari mengurung niatnya di dalam hati."Aku tidak punya wewenang untuk melarang bukan?" Shinta tentu tahu pasti sifat Ari, pemaksa yang handal. Bahkan Ari dulu sering membuat Shinta melakukan yang bertentangan dengan hati, tentu saja kerena menuruti kemauan Ari. Sayangnya, sampai sekarang Shinta be
Bagian 34Jika semua kau anggap permainan, maka aku akan memilih menangguhkan. Cinta yang ku punya telah pecah menjadi serpihan hati yang ku benci.Aku memberikan ketulusan hati dan pengorbanan dengan sepenuhnya, namun yang kurasakan hanyalah goresan luka yang membuatku enggan merasakan cinta lagi. ~Shinta~Pagi terlihat cerah, secerah mentari pagi yang tersenyum ceria. Tapi tidak dengan Shinta yang terlihat tidak bergairah.Kejadian semalam masih membekas di ingatannya. Perhatian dan kekhawatiran yang ditunjukkan oleh Ari, membuatnya semakin merana. Shinta bahkan tidak bisa membedakan antara benci dan cinta. Rindu dan sakit hadir bersamaan. Shinta membenci hatinya yang masih memiliki rasa, juga benci akan ingatannya yang masih menyimpan luka.Udin menyetir dengan kecepatan sedang. Mungkin perjalanan tinggal satu jam lagi kini mereka sudah memasuki k
Bagian 35 "Ya!" "Apa yang kamu rasakan setelah bertemu dengan dirinya?" "Marah, dan juga sedih. Dia banyak berbohong kepadaku." Shinta merebahkan kepalanya di pangkuan Fatma. Pangkuan renta nan rapuh, namun terasa nyaman dan nampu menguatkan hati Shinta. Bangku panjang itu kini berubah menjadi saksi dimana Shinta menumpahkan kesedihannya. "Seorang yang marah, kecewa dan merasa dikhianati, adalah hal yang membuat jiwa kita semakin dewasa. Semua itu adalah proses pendewasaan yang membuat kita bisa semakin bijak dalam menentukan keputusan yang tepat. Meninggalkan segala sesuatu yang baik, dan tetap berdamai dengan kebaikan." "Apa di hatimu tidak ada niat untuk kembali kepadanya?" "Tidak!" "Kenapa?" "Karena sebuah janji yang pernah aku ucapkan kepada seseorang. Aku pernah mengatakan, akan hidup demi masa depan. Aku tidak akan memikirkan pria itu lagi, sehingga menjadi beban yang tidak berkesu
Bagian 36 Aby dan Anin bermain dengan lincah di halaman. Mirna berlari kesana-kemari mengikuti langkah kecil Anin, sedangkan Aby yang masih merangkak, mengikuti kemanapun Anin melangkahkan kaki kecilnya. "Hati-hati Anin, jangan diinjak jari adeknya!" teriak Mirna memperingati, walaupun tahu jika anak kecil itu tidak akan mengerti. Mirna dengan setia mengambilkan bola yang menggelinding untuk Aby. Dan sesekali mengejar Anin yang hampir terjatuh. Ina datang setelah pulang dari les menjahit. "Halo twins, apa kabar kalian hemmh?" Baru datang langsung melemparkan tasnya ke bangku dan ikut bergabung dengan si kembar. Duduk di rerumputan yang hijau. Ina merebahkan tubuhnya di sana, disusul oleh Aby dengan begitu antusias. "Ma ma ma." suara imut itu membuat Ina terkekeh. "Tahu saja kamu, kalau gadis cantik ini merindukan dirimu. Gantengnya adik kakak." Ina mencium pipi gembul Aby. Anin yang tadinya ingin berjalan lagi, akhirnya putar
Bagian 37"CK. Dia tidak akan membicarakan ketampanan ku yang paripurna ini kepada orang lain. Secara kan dia ingin memiliki diriku hanya seorang saja." yah pedenya si Ari."Berani sekali kau berkata begitu!"DegShinta yang baru saja pulang dari tempat kerja, dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang terhubung ke bagian halaman samping rumah Fatma, tanpa mereka sadari telah mencuri dengar perdebatan Ina dan Ari."Kenapa tidak berani, memang itu kenyataannya, bukan?" Ari tersenyum miring, seakan mengatakan bahwa Shinta memang selalu terjebak oleh pesonanya. Terlihat jelas dari cara Shinta yang tidak lagi bisa mengeluarkan kata-kata."Sombong sekali." Shinta mencebik. Tangannya terulur untuk mengambil Anin dari Ari. Bukannya senang, tapi anak itu seketika mengeratkan tangannya yang bergelantungan di leher Ari. Respon yang ditunjukkan oleh Anin, membuat Mirna melebarkan bibirnya. Dugaannya semakin kuat, jika Anin dan A