"Sini Dina!" Nada kembali melambaikan tangan. "Jangan-jangan mereka mau menjebak kita. Hati-hati, Dek."Baiklah. Aku menganggukkan kepala pada Bang Fino. Kami memang harus hati-hati dari pada kena jebakan dari Mas Guntur atau pun Weni. Entah kenapa si Ratih ada di situ. "Halo, Dina." Ratih tersenyum padaku. Aku sama sekali tidak menjawab sapaannya. Hanya melirik wanita itu sinis, kemudian ikut duduk di sebelah Bang Fino. Ada keterkejutan di wajah Ratih, dia langsung menoleh ke Nada yang tampak langsung menenagkan wanita itu. "Apa mau kalian? Langsung bilang aja, saya gak punya banyak waktu buat basa-basi." Aku melipat kedua tangan di depan dada, menatap mereka. Ratih menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf dulu sebelum menyampaikan apa maksud dan tujuan kami di sini, Din."Untuk apa? Untuk apa lagi meminta maaf? Aku sudah muak sekali mendengar semua ini. Aku menghela napas pelan, menunggu Ratih untuk melanjutkan kalimatnya. "Aku di sini mau minta bantuan kamu untuk bantuin Weni,
2 tahun kemudian ...."Ma, tadi aku diejekin di sekolah.""Oh ya? Kenapa, Sayang? Ada yang nakal? Kamu gak papa kan? Langsung bilang ke guru?" tanyaku sambil mengusap kepala Putra. Putra baru saja kembali dari sekolahan. Aku menatap nya yang tampak sedih, sementara aku juga sedang kerepotan mengurus Putri yang sudah berusia satu tahun lebih. Pembantu yang biasa membantuku sedang pulang kampung, besok baru kembali dari kampung. Aku juga agak kerepotan kalau mengurus anak-anak sendirian sementara aku juga harus bekerja. "Putra diapain tadi, Nak? Bilang aja ke Mama. Nanti biar Mama yang bilang ke guru kalau Putra dinakalin." Aku menatapnya yang menggelengkan kepala. "Mereka bilang Putra gak punya Papa lagi. Kan Putra jadi sedih. Memang nya kenapa kalau gak punya Papa lagi, hampir aja Putra ajak berantem dia tadi, tapi nanti Mama sedih." Putra menundukkan kepalanya. Astaga. Aku menelan ludah mendengar cerita dari Putra, kemudian langsung memeluk anak sulungku. "Makasih, Nak. Jangan
"Kalian saling mengenal?"Kami langsung menoleh ke Pak Alvin. Aku menelan ludah, kemudian menggigit bibir, apa yang harus aku jawab?"Ah enggak, Vin. Saya memang pernah mengenal Dina, jadi nya ya kaget karena gak pernah ketemu lagi akhir-akhir ini. Udah lama banget gitu.""Oh gitu." Meskipun menganggukkan kepala dengan apa yang dikatakan oleh Reyza, Pak Alvin tetap saja menyipitkan mata, masih tidak percaya. "Maaf Vin saya agak terlambat, karena memang tadi masih ada kesibukan di rumah sakit. Lagi ramai sekali, Vin.""No problem Rey, saya agak penasaran aja soalnya kalian tadi saling nyebutin nama masing-masing. Saya kira kalian saling mengenal atau punya hubungan begitu?""Ah, tentu saja tidak. Saya juga belum mengenal siapa Ibu yang sedang duduk itu kok. Boleh saya duduk?" tanya Reyza membuat Pak Alvin menganggukkan kepala. Aku menghela napas pelan, sedikit karena ragu, sedikit juga karena penasaran dengan respon dari Reyza. Apa kah benar dia tidak peduli lagi? Atau bagaimana kons
"Jadi semua nya masih gara-gara saya, Om?" tanyaku agak sedikit tidak percaya dengan perkataan Papa Reyza. "Masih gara-gara kamu?" tanya Papa Reyza agak sedikit tidak mengerti dengan pertanyaanku barusan. Aku menganggukkan kepala, bukan kah masalah ketika Reyza belum menikah kemarin itu juga gara-gara aku?"Oh itu." Papa Reyza menganggukkan kepala nya. "Iya begitu lah, Din, tapi tolong kamu jangan jadi merasa bersalah karena semua ini. Semua nya udah tertulis di takdir."Aku menghela napas pelan, tetap saja, masa iya si Reyza tidak menikah gara-gara aku sih. "Kamu udah ketemu lagi sama Reyza, Din?" Mendnegar pertanyaan Papa Reyza, aku terdiam sejenak. Apa yang harus aku katakan? Apa kah aku harus berbicara yang sejujurnya?"Kamu tenang aja, Om gak bakalan ngasih tau ke Reyza soal Om yang ketemu sama kamu. Ya, mau bagaimana pun juga kamu punya kehidupan yang bakalan lebih baik lagi, jadi untuk apa mengingat masa lalu dan harus sama Reyza? Cinta juga gak bisa dipaksain meskipun kamu
"Menikah? Kamu melamarku?" tanyaku pelan. Pria itu menganggukkan kepala, dia tersenyum tipis, membuka kotak yang berisi cincin. "Udah lama banget cincin ini mau aku kasih ke kamu sejak dulu, Din. Aku selalu jagain cincin ini, sampai akhir nya aku ketemu kamu lagi di sini. Takdir memang gak pernah salah ya, Din."Aku menelan ludah, sebenarnya masih kaget dan aku juga tidak punya pikiran untuk ini semua. "Bagaimana dengan pacar kamu? Bukan kah kamu kata nya akan menikah dengan dia?" tanyaku pelan. "Kamu percaya? Kamu tau, dia cuma teman dekatku, Din. Bukan pacar dan gak lebih. Aku hanya berharap memiliki istri seperti kamu."Sungguh, aku kaget sekali. Aku menatap wajah pria yang selalu menemaniku di masa lalu. Dia tersenyum, menatapku menunggu jawaban dari aku. "Kamu mau menikah denganku?" tanya nya mengulang pertanyaannya kembali. "Ta—tapi aku masih trauma dengan semuanya. Aku gak mau kejadian itu terulang lagi—""Sstt ..." Dia berdiri, meletakkan telunjuknya ke bibirku, kemudian
"Oh ya? Guntur? Lagi mungut sampah? Dia jadi pemulung atau bagaimana? Di mana tadi?" Bang Fino juga langsung menoleh ke belakang. "Tadi di belakang, Bang. Udah lumayan jauh juga. Aku yakin banget itu Mas Guntur.""Kita coba ke sana deh." Bang Fino memundurkan mobil. Ketika sampai di tempat tumpukan sampah tadi, aku langsung mengernyitkan dahi, tidak ada siapa pun di sini. Kemana tadi Mas Guntur? Aku yakin sekali kok. "Mana? Gak ada tuh." Bang Fino bahkan sampai keluar dari mobil. Aku juga ikut turun, memang tidak ada, tapi tadi aku yakin sekali kalau ada Mas Guntur. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kenapa cepat sekali dia pergi?"Tadi ada di sini kok, Bang.""Halusinasi kamu itu, jangan bilang kalau kamu justru lagi kangen sama suami kamu yang gak punya hati itu? Astaga, apa yang lagi kamu pikirin, Dina? Udah deh, jangan aneh-aneh. Hidup kamu sekarang udah bahagia banget." Bang Fino menatapku kesal. Bukan begitu juga maksudnya, kan aku juga tadi kaget melihat Mas Guntur, bu
"Ti—tidak!" Dia menggelengkan kepala, pandangan nya tertuju ke Putra, kemudian langsung mengambil kantong sampah miliknya. "Mas!" Aku berusaha untuk menahan nya, tetapi aku juga bingung. "Tidak mau!" Dia langsung berlari begitu saja. Hei? Dia kenapa sih? Aku yakin sekali kalau itu adalah Mas Guntur, meskipun wajahnya benar-benar penuh dengan noda berwarna hitam. Aku tidak bisa mengejarnya lagi, barang belanjaan ku juga berat. Aku juga membawa Putra sekarang. "Itu tadi Papa kan, Ma?" tanya Putra membuatku menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Itu tadi Papa. Maaf ya Mama gak bisa nahan Papa juga." Entah kenapa Mas Guntur justru ketakutan dan langsung pergi setelah melihat kami. Akhir nya, aku masuk lagi ke dalam minimarket karena masih penasaran dengan Mas Guntur yang tadi mengambil sampah di sini. "Tadi saya lihat ada pemulung yang ngambil sampah di sini, Mbak. Biasa nya memang ngambil sampah di sini ya?" tanyaku pelan. "Oh itu Bu. Kayaknya itu pertama kali dia ke sini deh Bu buat
"Kamu mengenal pencopet ini?" tanya Ibu itu dengan kesal. Dia sepertinya masih kesal sekali dengan barang yang dicopet oleh Weni. Aku tidak salah lihat, kan? Aku menoleh ke Rumi, apakah dia melihat orang yang sama? Siapa tau aku hanya berhalusinasi. "Sebenarnya apa yang terjadi sama mantan suami Mbak dan keluarganya? Kenapa keliatan kacau begini?Entahlah. Aku juga tidak tau. Aku tidak berani berkomentar lebih. Ibu yang dicopet ini terlihat marah sekali. Reyza juga sudah memberikan kode padaku untuk jangan terlalu jauh. Weni sejak tadi sudah menunduk. Dia sepertinya tidak berani untuk berbicara. Bahkan tadi, warga hendak menghakiminya. Aku menatap wajah Weni, banyak lebam di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?Sungguh, aku penasaran sekali dengan keluarga Mas Guntur sekarang. Mereka kenapa sih? Mulai dari Mas Guntur yang sedang mengambil sampah, bahkan tidak mau melihatku. Ini juga si Weni malah mencopet. "Aku penasaran deh, Mbak," bisik Rumi membuatku menganggukkan kepala. Aku ju
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me