Zia berjalan sambil menunduk untuk menyembunyikan tangis. Ia bertanya kepada salah satu temannya yang kebetulan melintas. “Lihat Fariz, nggak, Mbak?” tanya Zia dengan suara parau. “Tadi sama temanmu dikasih ke Mbak Yuli. Sekarang ada di kamar mungkin. Kamu nangis, Mbak Zi?” Zia mengangguk. “Biasa, aku lebay, Mbak. Pisah sama temenku tadi kayak nggak rela." Ia berbohong. "Ya udah, aku ke kamar dulu. Makasih, Mbak." Wanita itu langsung menuju kamar. Di ranjang, ada Fariz yang terlelap. Zia ikut merebahkan diri di sana sambil mendekap sang buah hati. Diciumi pipi gembil Fariz dengan air mata yang seolah-olah enggan mengering. “Apa kita nggak pantas bahagia, Nak? Kenapa selalu saja ada yang nggak suka sama kita. Nggak di Yogya, nggak di sini. Sama saja,” ucap Zia lirih. “Apa kita terlalu hina untuk ada di dunia ini? Apa kita nggak pantas hidup? Entah dosa apa yang Ibu perbuat hingga banyak yang menghujat. Ibu lelah, Sayang?” lanjutnya sambil terpajam. Yuli masuk kamar sambil membaw
“Oh, alhamdulillah.” Hanya itu yang terucap dari bibir Zia. Wanita itu lantas melangkah dengan masih menggendong Fariz. Sesekali ia mengajak sang putra bercanda. Zia sengaja mencari jalan lain untuk menghindari agar tidak bertemu atau berpapasan dengan Faruq. Bara kebencian di hati Zia masih belum padam. Zia langsung ke kamar, tanpa pernah berniat keluar sampai acara kelar. Ia tidak tertarik dengan keramaian di depan. “Ini untuk Fariz.” Saat antara tidur dan terjaga, sebuah suara membuat mata Zia kembali terbuka. Ada Yuli yang berdiri menyerahkan sesuatu. Zia menggeleng. “Fariz belum makan makanan kayak gitu, Mbak. Buat anak Mbak Yuli aja.” “Fariz dari tadi dicari sama Pak Faruq. Nyuruh aku buat ambil.” Zia yang sudah berpenampilan tanpa cadar, tersenyum masam. “Buat apa? Nggak usah. Biar dia di sini aja. Mbak Yuli tahu sendiri kelakuan Latifa kemarin kayak apa. Aku dan Fariz nggak mau disalahkan lagi, difitnah jadi pelakor lagi.” “Apa aku bilang aja kelakuan busuk Bu Latifa kem
Zia lantas berlari mendekat dan mengambil alih Fariz yang terus menangis dari gendongan Latifa kasar.“Kamu ini nggak sopan banget main ambil gitu aja! Dia bayi!” bentak Latifa.“Dia anak saya. Saya khawatir dengan dia dan bisa mengira-ngira batas bahaya.” Zia meninggalkan Latifa tanpa pamit ataupun berterima kasih.“Heh, kamu ini benar-benar, ya! Dasar wanita kasar!” teriak Latifa.Faruq keluar kamar sambil membawa tas medis yang biasa dibawa ke mana-mana. Ia berpapasan dengan Zia. Pria itu benar-benar ingin memeriksa Fariz dan menitipkan sebentar bayi tersebut kepada Latifa karena masih mengambil tas.“Ada apa ini?” tanya Faruq keheranan karena teriakan Latifa.“Wanita itu nggak punya sopan santun, Mas. Anaknya saya gendong, main ambil aja seenaknya. Nanti kalo anaknya kenapa-napa gimana? Habis itu pergi gitu aja tanpa pamit atau terima kasih.” Latifa menunjuk Zia.Zia mengabaikan aduan Latifa dan terus berjalan dengan Fariz yang masih menangis.“Bu Zia,” panggil Faruq.Zia tidak pe
Sejak mengintip dan melihat wajah Zia tanpa penutup, hari-hari Faruq tidak tenang. Semacam ada rasa bersalah karena merasa mencuri pandang, tetapi di satu sisi rasa ingin memiliki makin kuat. Akan tetapi, apalah daya. Keinginan itu terhalang keadaan. Wanita yang sudah dalam khitbah pria lain, haram dilamar.Sesuai rencana, setelah klinik pribadinya tutup dan membersihkan diri, Faruq melajukan mobilnya menuju yayasan. Seperti biasa, bayang-bayang wajah Zia saat menunduk, ketika ujung kerudung lebarnya tertiup angin, saat tersenyum saat disapa temannya, terus mengusik.“Astagfirullah. Aku kenapa, Ya Allah? Jauhkan atau bahkan hilangkan perasaan ini jika aku benar-benar tidak bisa memilikinya,” gumam Faruq sambil mengemudi.Tidak dipungkiri, saat mengingat wajah ayu Zia, perutnya seperti tergelitik rasa aneh yang bahkan tidak dirasakan saat bersama almarhumah istrinya.Tiba di yayasan, Faruq memarkirkan mobil. Ia berjalan masuk rumah Dewi. Lebih masuk lagi, ia mendengar tangis Fariz. Ras
“Dia suka sama kamu. Dia cemburu saat kamu dilamar teman priamu yang kapan hari ke sini itu.” Perkataan Dewi membuat mata Zia membola. Zia menggeleng kuat. “Nggak. Nggak mungkin, Bu. Beliaunya saja yang terlampau benci sama saya. Itu cuma alasan.” “Zi, saya sudah seperti kakak baginya. Tadi malam dia sendiri yang bicara sama saya. Selama tiga tahun ini, dia tertutup masalah perasaan setelah istrinya meninggal. Saya tahu betul perubahan sikapnya. Saat memperlakukanmu dan Fariz memang terlihat beda. Perkataan pedas yang terucap, semata-mata karena dia kecewa pada diri sendiri kenapa sampai keduluan orang lain dan jalannya dengan mencoba membenci kamu agar perasaannya memudar.” Zia sudah sering mendengar ucapan serupa dari Yuli. Namun, ia tidak menyangka kalau perkataan itu juga terucap dari ketua yayasan. Ia juga selalu menampik akan hal itu, tetapi melihat kedekatan Faruq dan Fariz, memang terasa beda. “Bu, demi Allah saya di sini niat mencari perlindungan, tidak ada niat terselubun
Dengan sungkan, Zia masuk. Ia merasa tidak enak sebab seorang Farah sampai mau membukakan pintu untuknya.“Kita mau ke mana, Bu?” Zia kembali bertanya setelah Farah duduk sempurna. Di dekapannya, Fariz tertidur pulas.“Ada. Nanti kamu juga bakal tahu.”Mobil pun mulai melaju, membelah jalanan malam.“Kebetulan bertemu Bu Farah. Saya mau pamit dari yayasan, Bu. Terima kasih banyak atas pertolongan dan tempat tinggal yang diberikan untuk saya dan Fariz. Saat ini, saya hanya bisa berterima kasih. Untuk yang lain-lain, maaf saya belum bisa. Tapi saya janji, kalau saya sudah ada uang banyak nanti, akan saya cicil berapa uang untuk pengobatan saya dan Fariz.”“Zi, kamu bilang cicil mencicil lagi, saya pukul kamu. Saya tegaskan sekali lagi, ya, kalau pertolongan saya dan Faruq itu murni pertolongan, ikhlas, bukan meminta ganti,” timpal Farah sambil fokus mengemudi.Zia menunduk. “Maaf, Bu. Saya hanya tidak enak. Sudah ditolong, tapi malah pergi.”“Kalau begitu, nggak usah pergi. Simpel, ‘kan
Dengan jari jempol, Zia meraba cincin yang tersemat di jari manisnya. Itu bukan cincin pemberian dari Lukman, tetapi cincin imitasi dari anak bungsu Yuli. “Tante Zi, aku tadi beli cincin di sekolah. Katanya Tante mau pergi dari sini. Ini buat kenang-kenangan,” ujar bocah itu. “Wah, terima kasih, Cantik.” Tentu saja dengan senang hati Zia menerima dan meminta anak itu memasangkan sendiri di jarinya langsung. Saat dipasangkan di jari tengah, tidak muat. Alhasil, cincin itu bertengger di jari manisnya dan itu membuat Faruq salah paham. Zia terduduk di ayunan bekas Faruq duduk. Aroma parfum pria itu masih tertinggal di sana. Air mata wanita itu terus berderai. Entah mengapa untuk saat ini ia hanya ingin menangis. Farah tidak kalah syok. Meski sudah mencium aroma merah jambu di diri adiknya dan dari cerita Dewi, ia tidak menyangka kalau Faruq akan senekat itu menyatakan perasaan. Jika ditembak seorang pria, wanita akan merasa bahagia. Namun, tidak demikian dengan Zia. Ia justru takut.
“Pantas Faruq sampai tergila-gila sama kamu,” ucap Farah lagi. Sementara Faruq memilih melarikan diri agar tidak tertangkap basah mencuri pandang wajah yang biasanya tertutup rapat. Zia kembali memakai cadarnya. “Pak Faruq tidak pernah melihat wajah saya, Bu. Kalau sampai lihat, pasti menyesal sudah bilang suka sama saya karena saya sangat jelek.” “Ish, kamu itu si paling insecure. Nggak boleh kayak gitu. Jadi wanita itu harus punya rasa percaya diri yang tinggi." Zia menggeleng. Ia sudah telanjur tidak percaya diri dan itu sulit dihilangkan. Ia merasa dibuang dan itu membentuk doktrin di otaknya kalau ia sungguh tidak berarti. Wanita bergamis maroon tersebut pun menceritakan sedikit kisah kelamnya kenapa sampai bisa memakai penutup wajah itu. “Kamu memang benar-benar wanita pilihan, Zi. Itulah kenapa Allah selalu menguji sekaligus melindungimu dalam satu waktu.” “Dan salah satu pelindung saya itu Bu Farah. Saya beruntung dipertemukan dengan Ibu.” “Dengan Faruq juga?” Kali ini
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z