Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam, tapi Carla baru saja keluar dari kamarnya seraya membawa laptop dan buku catatan miliknya. Cewek itu meletakan buku dan laptopnya ke atas meja, lalu ia beranjak ke meja pantry, menyenduh kopi dan mengambil beberapa cemilan untuk menemaninya belajar.
Carla kembali belajar di ruang tengah lagi karena Kristal sudah tertidur di kamarnya. Kristal tertidur dengan lampu yang harus di padamkan, membuat Carla mau tak mau mengalah dan harus keluar dari kamar jika ingin belajar.
Decitan pintu kamar yang terbuka spontan membuat Carla menoleh, cewek itu mengangkat sebelah alisnya melihat Savian yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Sudah tahu besok masih ulangan, kenapa tadi pulang larut malam?" omel Savian seraya berjalan menuju Carla yang sedang mengaduk kopi. Aroma khas kopi itu menyeruak, menggelitik indra penciuman Savian dan Carla.
"Sekarang udah wa
Carla berjalan keluar dari kelas dengan pandangan menunduk, menatap tungkainya yang menginjak lantai dan berjalan entah mau mengarah kemana. Ulangan telah selesai hari ini, besok seluruh mahasiswa di liburkan dan masuk kembali pada hari senin.Langkah Carla berhenti di tikungan lorong. Gadis itu terdiam sejenak, sedang berpikir kemana kaki ini akan ia bawa melangkah. Carla menoleh ke arah kanan, ke arah kiri lalu ke arah depan."Chaka..." Gadis itu bergumam dengan pandangan lurus ke depan. Ia bertemu Chaka lagi, pemuda itu masih berpenampilan sama seperti tadi pagi. Topi hitam masih menutupi rambutnya, dan tas punggung masih tersampir di pundaknya."Chaka!" suara Carla memanggil dengan lantang hingga menggema di lorong dan menarik perhatian mahasiswa lain. Tapi Carla tidak perduli, ia langsung berlari menghampiri Chaka yang kali ini diam di tempat."Kamu kenapa gak balas pesan aku?" cici
"Aku gak paham sama bapak."Pergerakan tubuh Savian praktis terhenti, pria yang hendak keluar dari mobilnya itu segera menoleh ke Carla yang barusan buka suara."Bapak peluk aku, cium aku, ngelarang aku buat deket sama cowok lain, tapi kenapa bapak gak mau pacarin aku?" Pandangan Carla yang lurus ke depan perlahan-lahan menoleh ke arah kanan, menatap Savian yang tampak terkejut mendengar pertanyaan darinya.Savian menghela napas pelan, kedua tangannya bergerak naik memegang bahu merosot Carla. "Kita bahas ini nanti, sekarang kita turun dulu-"Carla menyetak tangan Savian dari kedua bahunya secara kasar, mendengar respon Savian yang demikian membuatnya sudah mengerti apa maksud pria itu mendekatinya tanpa berniat untuk memacari.Savian menghembuskan napas berat melihat Carla yang turun lebih dulu dengan ekspresi kusutnya, sebelum memutuskan untuk menyusul cewek itu Savian berdecak kesal lebih dulu."Tal, Ital!" S
Savian sampai di Bandung jam delapan malam. Sepanjang perjalanan menuju kota kembang pikiran Savian tidak berhenti bekerja, ada banyak hal rumit yang ia pikirkan. Bahkan ketika mobilnya sudah terparkir di garasi rumahnya pun Savian masih ragu untuk turun. "Vi, gak turun?" Kristal bertanya, tangannya menyentuh lengan Savian bermaksud menyadarkan pria itu dari lamunan. Savian mengangguk tanpa suara, ia lantas melepas seatbelt yang melilit tubuhnya kemudian turun dari mobil. Seraya beriringan dengan Kristal Savian berjalan menuju pintu utama, tanpa menekan bel lebih dulu Savian langsung masuk ke dalam kediaman besar berlantai tiga milik orang tuanya. "Mas Savian sudah pulang..." Mbok Sumi yang sedang membersihkan pajangan di lemari menjadi orang pertama yang menyadari kedatangan Savian dengan seorang gadis di sebelahnya. Wanita paruh baya itu segera berjalan mendekat dengan ekspresi senang.
"Kali ini Papa gak boleh lepas dari tanggung jawab Papa begitu aja."Saat ini Savian sedang berbicara empat mata dengan Miko di balkon lantai dua rumahnya. Jelas mereka butuh ruang untuk saling tukar pikiran, dan Savian juga harus mendengar penjelasan yang selama ini Miko sembunyikan dari keluarganya.Selama ini, meskipun Miko selalu kerja di luar kota dan kadang dalam waktu yang cukup lama, tapi tidak pernah terbesit di pikiran Savian kalau Papa nya itu akan selingkuh dengan wanita lain, apa lagi sampai menikah dan memiliki anak. Savian sempat tidak percaya dan hampir hilang akal saat menemukan foto pernikahan Miko dengan wanita bule yang di pajang di bupet kosan Kristal, dan yang lebih mengejutkan lagi bahwa wanita di foto itu adalah ibunya Kristal yang sudah kembali ke Amerika tanpa membawa Kristal, alias Kristal di tinggal begitu saja saat gadis itu duduk di bangku SMA kelas 2.
"Lo gak ada niat buat laporin pacarnya Kristal ke pihak berwajib, Kak?" Savian yang sedang menikmati angin malam di balkon kamarnya spontan menoleh, mendapati Deica yang datang bersama dua cangkir kopi di tangannya. Savian menerima kopi dari adiknya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan yang barusan di ajukan, "Percuma. Pacarnya Kristal anak Menteri." jawab Savian membuat rahang Deica terjatuh. "Tapi memang Kristal cantik, sih." ujar Deica tidak heran. Ya, melihat paras cantik yang Kristal miliki, pria dengan jabatan tinggi sepertinya bisa dibuat jatuh cinta oleh gadis itu. "Gue tadi udah ngobrol sama Kristal, dia mau buat tinggal di sini sama mama." kata Deica mengubah topik pembicaraan mereka. Sejauh ini Deica juga masih bersikap baik dengan Kristal, ia tidak dendam atau merasa benci karena Kristal anak dari selingkuhan p
Tubuh Savian langsung lemas saat sampai di flat dan mendapati banyak darah yang bercucuran di lantai kamar Carla. Kamar gadis itu juga berantakan, sepertinya Carla benar-benar kacau tadi.Savian menghembuskan napas pelan, ia duduk di tepi ranjang Carla. Matanya menggerilya, menatap buku dan barang-barang lainnya yang bertebaran di lantai kamar. Savian tidak menemukan Carla sejak tungkainya menginjak lantai flat, tapi ia tahu dimana gadis itu berada saat ini.Misel yang memberitahunya kalau Carla sudah di bawa ke rumah Alvero dan akan menginap di sana. Misel juga mengatakan kepada Savian untuk tidak bertemu dengan Carla dulu sebelum gadis itu tenang. Karena saat ini mental dan pikiran gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Melihat banyaknya darah di lantai kamar Carla, Savian jadi percaya dengan ucapan Misel kalau kondisi mental Carla memang seserius itu.Savian mengusap kasar wajahnya. Sisi tubuhnya terkepal
"Bapak pulang sama Kristal semalam?" Setelah menghabiskan roti dan kopinya, Carla membuka suara dan bertanya. Membuat Savian yang sedang fokus menyetir menoleh sesaat ke arah gadis yang pergelangan tangannya di perban itu. "Nggak, saya pulang sendiri. Kristal masih di Bandung." jawab Savian membuat Carla terdiam dan membuang pandangan ke luar jendela. Pikiran Carla berkecamuk lagi. Bertanya-tanya apa mereka sudah seserius itu dan apa Kristal sudah sangat akrab sampai Savian bisa tenang meninggalkan Kristal di rumahnya? Carla menahan napas, ia menolehkan pandangannya ke Savian. Ia tidak bisa terus menahan diri dan membuat pikirannya berperang sendiri. "Bapak mau nikah sama Kristal?" tanya Carla dengan nada serius. Dengan cepat Savian menoleh, di tatapnya mata Carla
"Kamu tahu ini kesalahan fatal yang kamu lakukan? Apa pernah mama mengajari kamu untuk berbohong?" Carla mendongakkan wajahnya, membalas tatapan tajam Mirda tanpa sungkan. Ada yang perlu gadis itu koreksi dari perkataan yang keluar dari bibir merah mamanya. "Aku memang salah. Tapi aku gak pernah bohong sama mama. Selama ini aku gak pernah bilang ke mama kalau aku tinggal sendiri di flat, dan mama juga gak pernah nanya aku tinggal sama siapa." ujar Carla mencari pembelaan yang mutlak dan bukan sekedar omong kosong. Selama Carla pergi dari rumah, Mirda memang jarang memperhatikannya. Mungkin mamanya itu lebih fokus mengurus Genta dari pada dirinya yang tidak berguna ini. Meski komunikasi terus berjalan, tapi semua hanya basa-basi, sekedar bertanya sudah makan atau belum, atau Mirda akan mengabari jika sudah mengirim uang bulanan untuknya. Dan Carla juga sama masa bodohnya. Sejak mamanya lebih mempercayai Genta, ia jadi malas untu
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub