"Maaf Tuan, kami akan membawanya ke ruangan khusus bayi."
"Tidak bisakah saya menggendongnya dulu, Suster?"
"Belum bisa Tuan, keadaannya belum memungkinkan." Kilah sang suster.
Dari kejauhan Jan melihat Mitha. Sahabat Anea itu berlari kecil menghampiri ke arah mereka.
Mitha menatap Anea yang terbaring di ranjang, ia hendak dipindahkan ke ruang perawatan.
"Anea, kau baik-baik saja?" Mitha bertanya meski masih tergopoh-gopoh. "Jangan ganggu pasien dulu, Nona! Kondisinya masih sangat lemah." Seorang perawat memarahinya.
Mitha menyeka wajah, ia hanya mengiringi Anea dari belakang setelah mendapat teguran. Kini giliran Jan yang ia desak, "sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah usia kandungan belum mencapai sembilan bulan? Bagaimana bisa melahirkan sekarang? Emm.. lalu di mana bayinya saat ini? Ia baik-baik saja, kan?"
Satu telunjuk Jan letakkan di atas bibirnya,"Stttt...! Diam dulu, kau membuatku bertambah pusing dengan rentetan pertanyaanm
Nama? Benar.. Bahkan Anea belum mendapatkan nama yang pas untuk sang bayi."Sayang, apa kau sudah memilih salah satu nama?" Jan bertanya pada Anea yang juga masih belum fix."Aku belum ada yang cocok." Jawabnya sambil tersenyum geli sendiri. "Bagaimana denganmu?"Bagaimana dengan Jan? Apalagi dirinya, terlalu banyak pekerjaan membuatnya tak sempat sekedar memikirkan sebuah nama. Ia pun sama dengan Anea, menggaruk tengkuk yang tak gatal sambil menggeleng."Dasar orang tua payah!" Celetuk Mitha kepada mereka berdua."Ok.. biarkan aku berpikir sejenak..."Anea mencoba merangkai berbagai huruf agar menjadi sebuah nama."Kalian ingin nama Indonesia atau Korea?" Mitha mulai mengupas satu apel yang terletak di depannya."Bagaimana menurutmu, Jan?" Giliran Anea yang bertanya."Aku terserah kau saja, hehe." Lagi-lagi Jan hanya dapat meringis menanggapinya.Hening beberapa saat, hanya terdengar kunyahan apel oleh Mitha yang nam
Sepuluh hari setelah perawatan instensif di Rumah Sakit, kini Albian telah sampai di istana kecil keluarga hangatnya. Haru dan bahagia menyeruak memenuhi rongga dada.Kini setiap hari Anea bisa memeluk dan menimang bayi tampannya.Sang nenek pun telah tidak sabar menunggu cucu pertama, dan ketika malaikat kecil itu hadir di tengah-tengah, bahagialah semua orang yang mengelilingi.Segala kesusahan semua ibu yang memiliki bayi, kini dirasakan oleh Anea. Dari begadang malam, mengganti popok, memandikan, memakai baju, dan lainnya seolah menjadi rutinitas yang tiada terputus. Beruntung ibunya ada di sini dan dengan sigap mengajari Anea banyak hal tentang mengurus anak. Dua minggu ibunya berada di kota. Ia merasa sudah cukup dan ingin kembali ke kampung. "Kasihan adik-adikmu, Anea. Ibu sudah lama disini. Sawah dan ladang juga tidak ada yang mengurus." Begitu kata-katanya ketika mengutarakan isi kalbu.Dengan berat hati, akhirnya A
"Bisakah kita punya pengasuh bayi?"Setelah satu minggu mengurus Albian seorang diri, Anea benar-benar tidak sanggup dengan rutinitas ini.Kunyahan di mulut Jan terhenti. Melihat sorot mata yang lemah dimata suaminya, Anea merasa bersalah."Aku masih punya tanggungan hutang di kantor. Biaya Rumah Sakit kemarin sangat menguras tabungan bahkan.. kurang." Berat bagi Jan mengatakan ini. Sejujurnya ia tidak ingin Anea mengetahui masalah hutang yang ia tanggung, namun jika seperti ini situasinya, Anea harus mengerti keadaan sebenarnya."Maaf.." Akhirnya kata itu yang terucap dari bibir Anea. Jujur saja dirinya pun terkejut mengetahui berita ini."Apa salahmu? Bukankah memang semua itu tanggung jawabku?""Aku banyak menuntut terhadapmu.""Tidak. Tapi aku mohon pengertianmu kali ini. Aku tahu kesusahanmu, namun dengan berat hati kukatakan jika keuangan kita sedang krisis."Anea memeluk Jan, ia merasa tidak enak karena begitu menyus
Berminggu-minggu di kampung, Anea hidup dengan damai meski minim fasilitas. Ibu dan kedua adiknya senantiasa bergantian mengurus Albian kecil sehingga Anea mempunyai cukup waktu untuk beristirahat.Jan pun dengan rutin mengirimkan biaya bagi bayi mereka. Anea cukup bersyukur dengan keadaannya saat ini.Memang terkadang rindu menggebu di hati ingin berkumpul bersama suami, namun sekali lagi biaya menjadi kendala mereka. Sementara Jan di kota, ia selalu terngiang suara bayi Albian. Rindu menyiksa batin, ingin menghubungi via Video Call namun jaringan di kampung tidak mendukung.Stress memikirkan masalah hidupnya, lagi-lagi Jan melampiaskan dengan pergi ke bar. Mungkin saja beberapa gelas minuman mampu menutupi kekosongan hati dan pikirannya.Berbeda dengan bar yang biasa ia kunjungi, kali ini Jan menapaki bar yang lebih besar. Alasannya simpel, karena tidak ingin Mitha melihatnya dan melapor kepada Anea.
"Ya"Sedikit lesu Jan mengatakannya. Antara nafsu dan kesetiaan teruji lagi seperti dulu.Dua tangan Hara menangkup wajah lesu Jan. "Kenapa kau begitu murung?" Cecarnya merasa aneh."Aku rasa kau begitu mahal.." Jan menjawab asal."Aku kira kau tidak semiskin itu, Tuan tampan.""Ya, tapi bagaimana bisa aku menyewamu setiap hari jika begitu mahal?" Kini Jan berganti merayunya. Kepalang tanggung mengatakan akan menyewa, bukankah seharusnya Jan menikmati?"Kau gila!" Ujarnya dengan manja. Gadis sintal itu membimbing Jan ke sebuah ruang. Tepat sekali dugaan Jan, bar mewah ini punya ⁰ruang servis yang teramat nyaman.Pantas saja harga gadis-gadisnya mahal. Kecupan di tangan kiri mengawali perang gairah mereka. Hara begitu berselera dengan pekerjaannya kali ini. Begitu pun dengan Jan, ia belum pernah mencicipi gadis semuda Hara. Sedari tadi matanya tak lepas dari pergerakan tubuh gadis i
Rasa yang begitu puas membuat Jan bagai terbang ke langit. Ini di luar dugaannya. Dengan lunglai ia mencoba meraih jemari Hara yang sama-sama terkulai di sisinya.Cup.Satu kecupan mendarat di atas jemari halus itu. Hara tersenyum, ia masih saja mengagumi ketampanan Jan."Aku puas.." bisik Jan tepat di samping telinga Hara.Ternyata Hara malah tertawa. Sangking renyahnya tawa itu hingga terbahak-bahak."Apa ada yang lucu?" Tanya Jan tak mengerti."Senjatamu terlalu besar untuk pemula sepertiku. Tapi tak masalah, aku pun menikmati pertempuran tadi." Kerlingan nakal ia tambahkan di belakang."Hey.. Organmu yang terlalu sempit, kau tahu?" Balas Jan memujinya."Hahaha.. yang sempit itu perawan!"Jan melebarkan mata, "perawan?" ia mengulangi kata-kata Hara."Ada apa dengan ekspresi lucu itu? Ooh.. jangan bilang kau belum pernah merasakan perawan?" cibir Hara.Jan tak membalas lagi ucapan Hara. Hal itu semakin memb
"Hara.. bawa aku kepada wanita yang kau sebut mamy Retta itu!"Satu pekan setelah malam penuh kenikmatan itu, Jan kembali mengunjungi bar. Otaknya tak pernah bisa lepas dari ingatan -ingatan kesenangan di tempat baru itu.Jan merindukan gadis-gadis elegannya, tempat mewahnya, bahkan musik yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan bar lain.Sebenarnya satu yang selalu mengganggu otaknya sepanjang hari, yaitu tawaran Hara malam itu."Kau benar-benar ingin membeli seorang perawan? Hahaha.." tangan ringan Hara mendarat tepat di dada bidang Jan disertai tawa yang melengking. "Sepertinya uangmu cukup banyak." Lanjutnya lagi.Banyak uang? Jan bahkan membohongi Anea dengan mengatakan mobilnya baru saja masuk bengkel dan harus direparasi. Jan bahkan harus tega tidak mengirim jatah bulanan Anea, ia berdalih membutuhkan banyak biaya untul hal tersebut."Bisa, tapi butuh waktu."Seseorang yang dipanggil mamy oleh banyak wanita malam itu berkata
"Aku akan bawa dia ke apartmen." Seringai buas terlihat di wajah Jan."Ok, terserah kau saja mau bawa dia kemana.. yang penting serahkan padaku besok." Mamy Retta tersenyum senang.Sementara itu, di belakangnya seorang gadis belia, ah.. Jan rasa gadis itu terlalu belia untuk menampung nafsunya. Mungkinkah ia sanggup?Ish, tentu saja harus sanggup! Jan sudah membayar 20 juta untuknya, meskipun Jan yakin tidak semua uang itu diberikan kepadanya, melainkan dipotong oleh mamy Retta.Gadis itu tersenyum canggung. Meski begitu nampak gayanya yang tidak sepolos Anea. Aduh, Anea lagi? Haruskah di saat seperti ini, Jan masih memikirkan Anea?"Adelia, ikuti lelaki ini. Kau akan mendapatkan uang setelah tugasmu selesai. Mudah bukan?" Mamy Retta menaikkan alisnya."Ok, Mam.." Dua jari, telunjuk dan jempol, ia satukan membentuk lingkaran kecil.Jan tidak suka gayanya yang centil. Parasnya pun tidak terlalu cantik, bahkan terkesan tidak kinclon
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta