Sebuah kamar hotel bernuansa putih menjadi tempat singgah sementara. Anea meletakkan koper di sisi ranjang dan merebahkan tubuh yang lelah dari pesawat. Sebenarnya masalah utamanya adalah karena ia kurang tidur semalam. Ditambah harus bangun pagi untuk menyiapkan pakaian ganti, bertambah ribet lah aktivitasnya.
Jan menyusul dengan koper ditangan kanan, dan sekantong makanan ringan ditangan kiri. Beberapa minuman juga ia tambahkan dalam kantong plastik itu. Sedangkan Mitha memasuki kamar sebelah bersama Reno. Mereka semua tiba pukul sebelas, belum terlalu siang untuk pergi makan, jadi menggunakan waktu untuk istirahat dulu.
Hotel yang mereka sewa lumayan bagus dan bersih, namun bukan hotel mahal yang mewah. Harga sewa untuk hotel begini pun sudah lumayan mahal jika berada di kawasan wisata. Apalagi jika hotel mewah, pasti harganya fantantis! Maka dari itu Anea memilih hotel yang biasa saja asalkan masih layak disebut hotel.
Celana hotpants mocca
Jan melambaikan tangan, sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka. Anea membuka pintu dan masuk duluan sementara Jan membawa koper menuju bagasi dan dibantu sopir memasukkannya. Lain halnya dengan Mitha Ia memilih langsung pulang ke rumahnya sendiri dengan taksi yang berbeda bersama Reno.Anea teringat ponsel yang dimatikannya. Ia ingin liburannya tidak terganggu sehingga memilih tidak menghidupkan benda pipih itu. Mungkin ia harus menghidupkan lagi gawai di tangannya karena liburan kali ini sudah selesai.Tangannya memencet tombol power di sisi gawai, tak lama setelahnya layar mulai menampilkan gambar. Anea mendiamkannya beberapa saat. Taksi mulai melaju membelah jalanan. Jan duduk menyender di jok penumpang dengan membawa ukulele yang kemarin.“Aku lapar, Apakah kita bisa ke restaurant dulu untuk makan, sayang?”“Mungkin sebaiknya kita drive thrue saja. Makan dirumah sepertinya lebih nyaman.”“Baiklah.&rdq
Tanpa pikir panjang Anea segera menolak panggilan itu. Namun beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. Anea kesal dan kembali menolak panggilan telepon itu. Panggilan terus berulang hingga beberapa kali dan Anea selalu menolak telepon itu. Hingga beberapa waktu kemudian Anea menerima pesan dari nomor yang sama. [Kau bersembunyi cukup baik wanita rendahan! Tapi tunggulah aku akan memukanmu] Anea semakin resah, ia memilih me-nonaktivkan ponsel. Berusaha tenang dan tidak memikirkan ancaman itu Anea kembali membereskan rumah agar dapat beristirahat dengan nyaman. Ia berfikir apakah ini ada hubungannya dengan pekerjaannya karena wanita tadi terus mengatainya wanita jalang, pelacur atau apalah itu. Jika benar ini masalah dengan pekerjaan, maka Anea bersiap akan mengadukan hal ini pada Mamy Han. Semua anak buah mamy Han dijaga oleh para bodyguard jika terancam masalah dengan para pelanggan. Seandainya benar wanita tadi istri dari salah sat
Anea mengambil gawainya, segera mencari kontak Mamy Han. menekan tombol panggil dan menunggu wanita itu menjawab teleponnya.Tuuut... Tuuttt.. Tuuuttt...(Halo. Ada apa Anea?)(Tolong aku mam, istri om Pram baru saja melabrakku. Dia galak sekali seperti macan yang habis beranak.)(Apa? Pram?? Kenapa bisa?)(Entahlah mam, dia mendapatkan bukti foto di villa.)(Kalau begitu datang kesini sekarang, kita bicarakan disini.)(Tidak mam, aku sedang lelah. Mungkin aku akan bersembunyi saja dulu untuk sementara waktu.)(Baiklah terserah kau.)(Tapi tolong jangan sampai dia menemukanku, rahasiakan keberadaan diriku dari siapapun.)(Baiklah, mamy setuju.)(Ya sudah mam, terima kasih. Bye!)Jan mendengar sedikit obrolan Anea dengan bosnya itu. Ia mencoba bertanya beberapa hal tentangnya."Apa kau jadi ikut tinggal dengan ku?" Jan bertanya memastikan."Tentu saja. Apa kau mau aku jadi bulan-bulanan
"Sayang.. kenapa kau melamun?"Anea terkejut karena tiba-tiba Jan sudah pulang dan masuk tanpa Anea sadari."Sayang, kau sudah pulang?""Ya, apa kau tidak melihatku masuk?" Jan memang membawa kunci sendiri.Anea hanya menggeleng pelan, beberapa saat kemudian ia tersenyum."Apa ada yang mengganggu pikiranmu?""Tidak ada, aku hanya kesepian. Apa yang bisa kulakukan selain melamun?""Itu tidak baik, sayang.""Aku tahu itu ""Emm.. Jadi lihatlah apa yang ku bawa untukmu."Jan mengangkat sesuatu di tangannya. Ekor mata Anea bergerak mengikuti gerakan tangan Jan. Sebuah kantung plastik yang menggembung tampak menutupi isinya, Anea tak bisa menebak benda apakah itu."Apa yang kau bawa sayang? Apakah makanan favoritku?""Bukan." Jan menggeleng."Lalu?" Anea menjadi penasaran."Bukalah, kau akan senang mendapatnya."Anea mengambil langkah dan meraih bungkusan plastik itu dari tangan Jan. Ma
Anea menenteng highheels ditangan kirinya. Dengan wajahnya yang terlihat kuyu ia berjalan lemah. Begitu sampai di kamar ia langsung menjatuhkan diri diatas kasur.Para lady bar baru saja ditebus oleh Mamy Han setelah semalam di razia petugas kepolisian. Memang terasa mudah segala sesuatunya jika menggunakan uang.Namun Mamy Han geram mengingat insiden yang di sebabkan istri salah satu pelanggannya itu ternyata berasal dari Clara. Ia tak menyangka anak buah kesayangannya itu melakukan hal bodoh yang membuat dirinya harus merugi ratusan juta. Mamy Han memarahi Clara habis-habisan atas kecerobohannya itu.Lewat kejadian ini Anea pun jadi tahu kalau selama ini yang sering iri hingga kerap melaporkan apa pun kepada Mamy Han adalah Clara. Meskipun ia sendiri sempat heran padahal tak pernah sekalipun ia berseteru dengan primadona bar itu.Apa yang membuat Clara iri dengan Anea? Rasanya hampir tak ada yang
Hari ini apartment Anea resmi terjual. Ia menggunakan uang penjualan untuk melunasi kompensasi kepada Mamy Han. Padahal dirinya dulu yang di jebak dan dipaksa bekerja di bar, sekarang saat akan keluar pun malah harus membayar.Seharusnya si keparat Indra lah yang harus membayar segalanya atas hidup Anea. Dia yang menyebabkan Anea berada dalam garis hidup yang salah.Sayang sekali, kabar terakhir yang Anea dengar Indra telah melarikan diri ke luar negeri sehingga dirinya tidak menemukan keberadaannya sampai sekarang. Padahal ia sudah geram sekali dengan bajingan itu. Mereka hanya sebatas kekasih, pun belum terlalu lama. Berani-beraninya menjual Anea kepada Mamy Han.Andai Anea bisa menemukan jejaknya, maka akan ia pastikan bajingan itu tidak akan selamat!Waktu berlalu. Ketika hutang Indra telah dinyatakan lunas karena pekerjaannya, apa yang harus dilakukan Anea selanjutnya? Mamy Han sudah bersedia melepaskan diri
Berhari-hari Anea jalani tanpa kesibukan yang berarti. Sudah mencoba mencari pekerjaan namun tak kunjung dapat.Ia tak bisa bekerja menjadi pembantu seperti dahulu. Jelas ia akan malu kepada Jan. Padahal lowongan pembantu banyak infonya, tapi ia menampik mentah-mentah pekerjaan itu. Bukan merendahkan pekerjaan, namun alasan sebenarnya adalah ia trauma dengan masa lalu.Itu adalah masa lalu, tak perlu di ulangi!Paling tidak ia berencana melamar pekerjaan sebagai pegawai toko. Mungkin itu terlihat sedikit berkelas dari pada harus kembali menjadi jongos.Bagaimana dengan pegawai kantor, apa ia tidak berminat? Bukan tak minat, namun karena ia tak memenuhi syarat. Benar, itu karena Anea tidak sekolah tinggi!Ia tak mempunyai ijazah, bagaimana mau menjadi orang kantoran? Membayangkan saja rasanya mustahil. Hal ini sekaligus menjadi pacuannya untuk menyekolahkan adiknya setinggi mungkin, agar tak bernasib sama s
Anea menengadahkan kepalanya ke atas, kemudian menarik kecil rambut lurusnya yang tergerai.“Bagaimana sayang, iya kan?” Jan mengejar jawaban.“Emm.. sepertinya malam ini aku tidak bisa, badanku sedang butuh istirahat. Maaf sayang, mungkin lain kali ya.”“Istirahat? Apa kau sakit?”“Tidak sayang, bukan begitu.”“Lalu?”“Sudah kukatakan, lain kali saja ya.”“Kau terlihat berbeda.”“Tidak begitu. Emm.. sudah dulu ya, taksiku datang. Bye sayang!”Anea mematikan sambungan telepon ketika sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Tak menunggu lama, ia segera menaiki kendaraan itu.Sementara di lain tempat, Jan merasa kesal dengan kekasihnya. Tidak biasanya Anea menolak keinginannya. Sudah beberapa hari ini ia tidak menyalurkan hasrat lelakinya, tentu saja ada yang menggebu di dalam sana.Ia sedang stres memikirkan peker
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta