Selly beranjak mendengar panggilan untuk jadwal pemberangkatan pesawat menuju Bali. Memutuskan meninggalkan Jakarta entah untuk sementara atau selamanya. Setelah kontrak di cabang sudah selesai, ia mengajukan resign dan diserahkan langsung pada Bima.Motor dan mobil yang digunakan selama tinggal di pelosok, dia berikan pada Ibu Yeni dan Eneng. Tentu saja diterima dengan senang hati. Perpisahan mereka sarat dengan isak tangis, meski perjumpaan hanya setahun bagai sudah keluarga dekat.“Tinggal di manapun semoga kamu selalu sehat dan bahagia, ibu doakan kamu dapat pengganti si kakang ganteng.”Ia tersenyum mengingat doa dari Ibu Yeni. Doa dari Eneng lebih lucu, berharap dirinya mendapatkan jodoh lebih tajir dari Jana yang sombong.Menuju pintu pesawat tiketnya diperiksa lalu tersenyum saat pramugari mempersilahkan masuk.“Hah.” Selly menghela nafasnya menatap keluar jendela, kebetulan ia mendapatkan kursi tepat di sisi jendela.Saat ini Anya dan Bima mungkin sudah selesai melaksanakan i
Akad nikah Anya dan Bima dilangsungkan di kediaman mereka berdua, sedangkan resepsi diadakan di salah satu hotel mewah di Jakarta. Pesta yang berlangsung tertutup, hanya mengundang rekan, keluarga dan juga relasi bisnis.Informasi perceraian Anya dan Rama sudah lama diberitakan, karena posisi Rama sebagai putra dari pengusaha. Bahkan berita itu disebarkan jauh sebelum perceraian. Tentu saja ulah Bima. Kedekatan Anya dan Bima juga sudah pernah ter-blow up, lagi-lagi ulah Bima.Hal ini sengaja untuk meredam berita miring tentang Anya dan kabar pernikahan pasangan itu sudah disebar sebelum Anya kembali ke Jakarta. Meski sudah mengantisipasi, masih saja ada media online yang membuat pemberitahuan bahwa Anya seperti piala bergilir keluarga Hardana.“Take down, bagaimanapun caranya,” titah Bima pada Umar di sela pesta pernikahannya.“Baik, dalam satu jam berita itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana dengan media dan ….”“Beri peringatan. Mereka harus tahu berhadapan dengan siapa. Aku tidak ped
Sebenarnya pasangan itu sudah pernah melakukannya, menyentuh satu sama lain. Hanya saja saat itu mereka lakukan dalam keadaan tidak sadar atau mabuk. Kali ini keduanya sadar sesadarnya.Pagutan yang awalnya terasa romantis berubah menjadi pagutan liar dan dalam. Lidah Bima seakan mengabsen rongga mulut pasangannya, bahkan berusaha membelit lidah wanita itu. Nafas Anya mulai terengah karena, Bima pun mengurai pagutannya lalu menatap dengan tatapan sendu.“Bisa kita mulai? Aku inginkan kamu … malam ini,” ujar Bima dan Anya mengangguk pelan.Tangan Bima menuntun Anya untuk berpindah ke atas ranjang dan berbaring disana. Menatap tajam tubuh yang terbalut dengan kain tipis, seakan percuma ditutupi karena menampilkan seluruh isinya.Perlahan Bima menaiki ranjang dan mengungkung tubuh Anya. Memulai sentuhan dari wajah lalu turun ke leher dan berhenti di tengah belahan dada kemudian menarik paksa dan lingerie tersebut akhirnya terkoyak dan dilempar begitu saja.Tangan Anya refleks menutupi ke
Belum lebih dari dua puluh empat jam menikmati pernikahannya bersama Anya, Bima merasa sangat luar biasa. Bukan hanya meraih kebahagiaan berkeluarga dengan wanita itu juga anak mereka, tapi bisa melakukan hal menyenangkan saling melengkapi seperti yang sudah dia lakukan semalam.Bukan hanya sekali, bahkan Bima tega mengganggu tidur Anya dan mengajaknya kembali bergerak di atas ranjang mereka. Mendapati sang istri mendesah nikmat membuat gelora dan merasa ia begitu perkasa.Sudah hampir jam sembilan pagi, tapi Anya masih terlelap di bawah selimut. Bima sudah membersihkan diri dan berganti pakaian. Bahkan membawa Dewa ke kamar mereka setelah Ira mengantarkannya.“Boy, mama kamu kecapekan karena ulah papa. Wajar kamu hadir, karena papa memang perkasa,” seru Bima dan Dewa yang hanya bisa menggeliat dan sibuk mencicipi ibu jarinya belum paham apa yang disampaikan oleh Bima.Sarapan mereka sudah diantar ke kamar dan mungkin sudah dingin. Bima meletakan Dewa di atas ranjang tepat di samping
Anya tersenyum saat security membuka pintu dan menyapanya. Sambil mendorong stroller di mana Dewa berada dan Ira mengekor membawakan tas berisi perlengkapan milik bocah itu.Padahal ia hanya berkunjung ke kantor pusat untuk menemui Bima dan akan makan siang bersama, tapi membawa Dewa ikut serta sama saja dengan membawa banyak barang kebutuhan bayi itu.Itulah mengapa Anya malas bepergian jauh, karena perlengkapan bayinya lebih banyak dari pada perlengkapan miliknya.“Selamat datang Ibu Anya,” sapa Umar.“Hm. Apa kami datang terlalu awal?” tanya Anya lalu Umar mengarahkan menuju lift khusus petinggi di perusahaan.“Tidak, rapatnya sudah selesai. Pak Bima sudah kembali ke ruangannya,” jawab Umar lalu menekan tombol dan pintu lift terbuka.Semuanya sudah berada di kotak persegi yang membawa mereka menuju lantai di mana Bima berada. Ada hela lega dari Anya karena sempat menjadi perhatian pada karyawan yang bertemu di lobby,Wajahnya sudah tidak asing di Hardana Company, hanya saja sekaran
Ira keluar dari ruang kerja Bima, sepertinya ada aroma perdebatan. Meski kecil kemungkinan Bima akan marah, lebih tepatnya Anya yang cemburu. Solusinya adalah mencari Umar.“Kemana dia, perasaan tadi di sini.”Saat ia dan Anya memasuki ruang Bima, Umar masih berada tidak jauh dari lift berbincang dengan seseorang, tapi kini sudah tidak terlihat. Bahkan Ira berbelok ke arah kiri koridor lain, tidak juga terlihat ada Umar.“Ibu Anya kayaknya marah dan cemburu dengan perempuan tadi. Nggak tahu malu juga, bukannya pergi ngeliat istri bosnya datang malah asyik aja jadi patung.”Meja sekretaris Bima masih kosong, entah kemana perginya orang itu. Padahal masih jam kerja dan jam sibuk meski sebentar lagi waktu makan siang.Kalau masalah melindungi Anya, Ira bisa gesit dan tidak perlu lagi masukan dari orang lain. Namun, masalah pertengkaran dan selisih paham dalam rumah tangga dia angkat tangan. Pengalamannya belum cukup untuk membantu menyelesaikan masalah itu.Berusaha menghubungi Umar, Ira
Di kantor, Bima masih memikirkan keanehan Anya. Bukan hanya drama masalah yogurt, Anya pun mengatakan kalau Dewa bau dirinya. Entah bau apa yang dimaksud, padahal kalau dicium Dewa wangi khas bayi dengan aroma minyak telon.Belum lama Bima menghubungi Anya dan tidak ada jawaban, saat menghubungi Ira ternyata istrinya sedang tidur. Setelah Bima berangkat, Anya pamit untuk tidur matanya seperti lengket karena begadang.“Anya sakit apa ya?” gumam Bima sambil mengusap dagunya.“Ada apa bos?” tanya Umar karena Bima terlihat tidak fokus.“Oh, tidak. Tidak ada masalah,” seru Bima lalu fokus lagi dengan layar laptop dan mendengarkan penjelasan Umar karena mereka sedang berdiskusi.“Tunggu,” ucap Bima karena masalah dengan Anya masih berseliweran di pikirannya. Bukan masalah, lebih tepatnya ada hal yang mengganjal. “Gue tahu lo belum pengalaman dengan pernikahan, tapi gue butuh saran. Anya dari kemarin kayaknya aneh. Ucapan dan permintaannya nggak biasa dan dia bilang lagi kurang sehat dan sek
Tidak menduga kalau Bima akan pulang malam itu juga, padahal sudah mempersiapkan rencana kejutan untuk pria itu. Sayangnya Bima sudah menemukan bukti kalau Anya sedang mengandung, tanpa sengaja.Terlalu bahagia, Bima bahkan meneteskan air mata memandang ketiga stik itu. Berjanji akan selalu mensupport dan siaga untuk Anya selama kehamilannya. Tidak seperti waktu Dewa masih dalam kandungan, ia tidak bisa mendampingi.“Anya, terima kasih sudah mengandung anak-anakku.”Membiarkan begitu saja tespek di dekat wastafel, Bima mengeringkan rambutnya dan gegas meninggalkan toilet.“Sikap aneh kamu ternyata karena hormon kehamilan, aku harus bersiap dengan drama ngidam lainnya.”Bima menaiki ranjang dengan pelan lalu memeluk Anya sangat hati-hati, khawatir kalau ia akan diusir karena gerah atau bau tidak sedap. Nyatanya Anya malah berbalik ke arahnya dan langsung memeluk.“Hm, nyaman.”“Aku juga nyaman tidur dalam pelukanmu.”Rasa kantuk masih luar biasa, tapi kesadaran Bima muncul ketika mende
Meski dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan kalau Selly hanya akan mengakhiri kontrak kerjanya sampai akhir tahun. Setelah itu ia akan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.Rama masih tinggal di Bali, dalam beberapa bulan ke depan akan bolak-balik Jakarta Bali masalah pekerjaan. Resepsi pernikahan akan mereka laksanakan di Bali. Bahkan Rama setuju usulan Selly untuk menetap di sana.Mulai tahun depan Bima akan memimpin kantor cabang yang ada di Bali, Umar yang akan menggantikan posisi Rama. Bahkan rumah untuk tempat tinggal, sudah mereka dapatkan.“Aku suka tinggal di sini, banyak tempat indah.”“Tapi biaya hidup di sini mahal.”“Kamu ‘kan yang kerja, aku diminta di rumah saja. Aku tidak boros kok,” jelas Selly dan Rama sudah meyakini itu. Kehidupan Selly berubah dari sebelumnya, jarang menggunakan barang branded kecuali di acara tertentu.Bahkan tidak jarang ia tidur menggunakan daster yang dibeli secara online dua ratus ribu dapat tiga pcs.“Ayo tidur,” ucap Selly menjauhkan
“Rama, kamu yakin?” Selly menarik tangan Rama yang akan membuka pintu.“Tentu saja aku yakin, memang kamu mau sembunyi di mana. Mama pasti tinggal di sini untuk beberapa hari. Semenjak papa tiada, dia posesif padaku. Hari ini aku akan berikan apa yang dituntut selama ini?”“Apa?” tanya Selly masih berbisik sedangkan ketukan pintu dan suara bel bagai bersahutan.“Calon istri,” jawab Rama lalu membuka pintu.“Lama sekali, kamu ngapain sih. Makanya jangan begadang, mama mulai diabaikan. Pasti … ini siapa? Kenapa kalian berdua ada di … kamu bukannya … Selly.” Malika mencecar setelah melihat Selly dari balik tubuh putranya.Sambil bersedekap, Malika menarik nafasnya memandang Rama dan Selly duduk berdampingan berseberangan dengannya di sofa. Dari penampilan mereka bisa dipastikan aktivitas dewasa. Kemeja Rama berantakan, apalagi rambutnya. Sama halnya dengan Selly dengan rambut berantakan dan dress dilapisi blazer.“Hah, jadi ini yang kamu lakukan di sini?”“Mah, dengar penjelasanku dulu.
Seharusnya pagi itu Selly mandi dulu, bukan terlihat berantakan. Meski Rama terlihat tidak masalah, tapi ia sesali. Sarapannya berakhir di warung tenda samping gedung apartemen, tidak mungkin Selly makan di resto bersama penghuni lain.Saat perbaikan unit tempat Rama, Selly memastikan sendiri semua sudah oke. Bahkan ia mencuri pandangan melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan barang milik perempuan.“Seharusnya aku tidak boleh begini, tapi penasaran.”Berkali-kali menghubungi unit Rama saat malam dan pagi, nyatanya tidak dijawab. Kontaknya Selly tidak punya, hanya sekedar menyampaikan kalau semua sudah beres. Berharap bisa lanjut komunikasi.“Hah.” Selly tertelungkup di meja resepsionis pojok. Harapannya pupus, menduga Rama kecewa dan ilfil dengannya saat pertemuan terakhir dan itu sudah berlalu seminggu yang lalu.Sudah mendapatkan kontak Rama dari data penyewa, tapi urung menghubungi karena tidak ada alasan untuk sekedar basa basi. Hari ini Selly kembali shift dua dan tidak lam
“Lantai tujuh?” tanya Rama saat Selly menekan angka lantai yang mereka tuju.“Unitku di lantai tujuh,” jawab Selly.Rama terkekeh lalu menyugar rambutnya, membuat Selly bingung. Ia merasa semesta memang mendukung pertemuannya. Dari sekian banyak apartemen rumah kosan, kantor memilihkan apartemen itu untuk dirinya dan dari banyaknya lantai dan kamar nyatanya mereka malah sangat dekat.“Kenapa?”“Tujuh satu dua,” jawab Rama.“Hah, kamu di … aku tujuh kosong delapan.”Sudah kuduga, perempuan yang aku lihat malam itu memang Selly. Astaga, aku harus bagaimana Tuhan. Kenapa sedekat ini, bagaimana kalau … statusnya. Aku harus cari tahu statusnya, batin Rama.Masih dengan kecanggungan akhirnya hening, Selly mengulum senyum menyadari mereka berada dalam satu lantai. Mungkinkah mereka akan sering bertemu. Pekerjaannya hanya mengecek mana unit yang habis waktu sewa dan sewa baru, tidak berurusan dengan database penyewa atau pemilik. Kecuali sedang ada masalah seperti di unit delapan satu lima.R
Hampir subuh, Rama masih berada di balkon. Setelah menikmati makan malam di pagi buta, tidak mungkin langsung tidur. Berada di balkon kamarnya sambil fokus pada ponsel.Hari ini rencananya ia akan langsung menuju lokasi proyek. Kendaraan dan supir yang akan mengantar selama ia berada di Bali sudah dihubungi dan standy setiap jam setengah delapan pagi.Rama mengusap kasar wajahnya, antara ngantuk dan pusing. Tidur pun tidak mungkin, dia akan kesiangan.“Sepertinya mandi air hangat saja,” gumam Rama lalu menutup pintu balkon dan menuju toilet.Berada di bawah guyuran shower, air hangat mengalir menyiram tubuhnya. Benar saja ia merasa lebih segar. Saat akan membilas busa dari sabun, mendadak air yang mengguyur tubuhnya terasa dingin. Memutar kran pengatur air hangat, nyatanya yang keluar tetap dingin.“Rusak atau ….”Berkali-kali memutar kran pengatur suhu, nyatanya tidak berfungsi. Rama mengakhiri mandinya. Kecewa karena berakhir dengan kedinginan. Baru saja memakai kemeja dan celana pa
“Selamat sore, mbak. Saya mau ambil kunci kamar, booking atas nama Rama. Rama Hardana.”Resepsionis yang sedang bertugas menatap Rama tanpa berkedip, beberapa saat masih saja diam mematung. Tidak menjawab salam dan permintaan pria di hadapannya.Rama sampai berdeham.“Mbak, saya mau ambil kunci,” ujar Rama lagi.“Eh, iya, maaf mas.” Resepsionis itu terlihat canggung. “Namanya … siapa?”“Rama Hardana,” jawab Rama kembali tersenyum.“Ah. Iya, sebentar.” Mengambil kunci access kamar sekaligus id card dan form yang harus diparaf oleh Rama. “Ini tolong ditanda tangani, boleh dibaca dulu. Kami isi berdasarkan data yang dikirim saat booking ya.”Rama membaca sekilas isian biodatanya tentang perjanjian sewa, tidak ada yang aneh dan semua terlihat aturan biasa yang berlaku untuk sewa menyewa apartemen atau gedung. Ia membubuhkan tanda tangan lalu menyerahkan kembali formulir tersebut.“Ini kartu aksesnya, selamat datang semoga nyaman tinggal di sini. Kalau ada saran atau membutuhkan sesuatu si
“Halo.” Selly menjawab telepon sambil menguap dengan suara parau.“Mbak, ada masalah. Bisa turun dulu nggak, please!”“Astaga, kalian nggak bisa kasih saya istirahat tenang. Tengah malam saya baru naik ke kamar, ini jam berapa saya harus turun lagi,” keluh Selly mendengar permintaan dari ujung sana.“Tolong, mbak! Aku tidak ngerti, ini bule marah-marah nggak jelas.”“Tunggu, aku turun sekarang.”Panggilan berakhir, Selly gegas menuju toilet untuk memeriksa penampilannya. Tidak mungkin harus mandi dulu, akan semakin lama. Menyisir rambutnya, beruntung rambut lurusnya tidak sulit diatur. Menggunakan liptint agar tidak pucat dan terlihat belum mandi.“Oke, nggak mungkin pake piyama.” Selly melepaskan dan membiarkan piyamanya teronggok di lantai lalu mengambil dress putih dan blazer hitam. Tidak lupa ponselnya aman di dalam saku.Masih jam empat pagi, suasana apartemen masih lenggang. Tentu saja aktivitas lift bisa cepat digunakan.“Halo.”“Mbak ….”“Ini sudah di lift. Bentar lagi sampe.
Anya merasakan keseruan mengasuh ketiga anaknya, meski masih dibantu oleh Ira dan seorang baby sitter bernama Emi. Rencana memiliki banyak anak, minimal empat atau lima harus ditunda untuk sementara. Paling tidak menunggu si kembar berumur empat tahun.Bima agak trauma saat Anya melahirkan anak kedua mereka karena pecah ketuban di umur kehamilan delapan bulan dan pembukaan yang sangat cepat dan harus rela persalinan darurat dengan jalan operasi.“Mbak, anak-anak sudah tidur?” tanya Anya memastikan hidangan makan malam sudah siap dan tinggal di sajikan.“si kembar sudah bu, tapi Dewa belum. Ini saya mau buat susunya dulu.”Anya hanya mengangguk mendengar laporan dari Emi. Malam ini Bima mengundang makan malam keluarganya, Rama serta Malika juga keluarga Anya.“Anak-anak kemana?” tanya Citra yang baru datang bersama Alya. Bagas tidak hadir karena ada pertemuan mendadak dengan klien bisnisnya.“Di kamar Bun, sudah tidur, tapi Dewa belum.”“Hm, Alya kamu bantu temani anak-anak,” titah Cit
Saat Anya dan Bima kembali ke rumah, sudah ada Citra dan Alya di sana. Menyambut kedatangan mereka yang membawa kabar gembira. Bukan hanya pasangan itu yang antusias dengan kehamilan Anya, tapi keluarga besar Anya juga para pekerja di rumah.Kebahagiaan seakan berkali lipat manakala hasil pemeriksaan ditemukan ada dua kantung janin, artinya Anya mengandung anak kembar. Usia kehamilan sudah hampir sepuluh minggu. Tidak menyadari cukup lama periodenya terlewat.“Dewa, mama sama papa datang,” seru Citra.Anya langsung menghempaskan tubuhnya di sofa, Bima yang tadi merangkul Anya memaksa wanita itu untuk membersihkan diri sebelum menyentuh Dewa.“Bik, tolong turunkan belanjaan di bagasi,” titah Bima. “Lalu buatkan salad, istriku mau makan salad. Yogurtnya yang di kulkas.”“Nah gitu, mau makan sesuatu lebih baik minta bibik yang buatkan. Jangan beli, apalagi yang di pinggir jalan. Mana tahu ada debu masuk ke makanan,” nasehat Citra.Kalau Citra bahagia karena akan mendapatkan cucu lagi, be